Kabut beracun menggelayuti langit Soho, menghantui orang-orang dalam dalam kengerian yang membikin sakit perut. Akhir Agustus tahun 1854 wabah Kolera kembali ke London, kali ini datang dengan lebih ganas, lima ratusan orang meninggal dalam 10 hari. Ini bukan kali pertama wabah kolera menghampiri dataran Inggris. Wabah Cholera masuk pertama kali melalui Sunderland, pada 26 Oktober 1831. Pada saat itu Inggris sedang menuai indahnya Revolusi Industri.
Di sebuah sore yang mencurigakan, John Snow duduk di kantornya yang pengap sambil memegangi peta kota London. Dia menandai lokasi rumah korban yang meninggal. Dia sudah menghadapi kolera sejak wabah itu pertama kali datang, saat dia masih menjadi asisten dokter. Penanda di peta membawanya pada suatu daerah yang bernama Golden Square. Petunjuknya jelas, daerah tersebut memiliki jumlah kematian yang tinggi.
Dari pengalamannya terdahulu, Snow berpendapat bahwa kolera adalah penyakit usus yang terlokalisir dan gejala penyakit kolera sepenuhnya merupakan akibat dari kehilangan cairan. Sumber penyakit, dibawa oleh air yang mengandung racun kolera dan masuk melalui mulut lalu berkembang biak dalam usus. Dalam benaknya, Snow hanya perlu mengikuti aliran air untuk menemukan sumber masalah.
Pompa Air di Braod Street
Dari pengalaman itu, Snow memfokuskan pencariannya pada suplai air di Golden Square. Hipotesanya dari penyelidikan terdahulu menyingkat waktunya untuk langsung menyimpulkan bahwa wabah kali ini yang sangat bersifat regional pasti berasal dari sumur pompa yang terkontaminasi daripada suplai air dari perusahaan yang secara umum melayani London. Kini Snow memiliki 5 pompa air yang dicurigainya sebagai sumber penyakit di Golden Square.
Bahkan dengan mata telanjang, dia bisa melihat adanya kotoran di sebagian sumber air umum itu. Namun dalam peta yang digambarkannya, Snow menemukan hampir semua kasus berada dalam jarak yang dekat dengan pompa air di Broad Street. Padahal, saat penyelidikannya ke lokasi air di pompa ini sangat jernih.

Dalam peta yang dibuatnya, Snow bisa melihat 500 kasus terjadi dalam radius 250 yard, dengan pompa air Broad Street berada di pusatnya. Seorang warga yang ditemui Snow mengungkapkan bahwa pompa air tersebut sehari sebelumnya berbau menyengat. Kecurigaan muncul. Pompa air ini mungkin terkontaminasi racun kolera. Baiklah, Broad Street adalah zona merah.
“Hanya ada 10 kasus kematian yang terjadi berada di dekat pompa air yang lainnya. 5 kasus diantaranya berasal dari rumah tangga yang selalu dikirimi air dari pompa Broad Street dan tiga kasus lainnya berasal dari anak-anak yang tiap berangkat sekolah melewati area Broad Street,” tulis Snow dalam laporannya seperti ditulis ulang oleh Globalhealthearning.
Snow mendapat pengakuan dari seorang anak salah satu korban, bahwa ibunya sudah berbulan-bulan tidak tinggal di Broad Street lagi. Si anak mengatakan pada dokter Snow bahwa ibunya sangat menyukai rasa air dari sumur tersebut, dan dia membawa air sumur Broad Street pada ibunya pada 31 Agustus, hari dimana wabah bermula di Soho. Ibunya meninggal 3 hari setelahnya. Jelas sudah.
Informasi dari lapangan juga menyebutkan bahwa sebuah rumah kerja di daerah tersebut memiliki sumur pribadi sendiri, dan hanya tercatat 5 kematian akibat kolera dari 535 orang yang menempati rumah tersebut.
Sedangkan pabrik pembuatan bir yang berada dua blok dari sumur bahkan tidak memiliki satu kasus pun dari 70 pekerjanya. Usut punya usut, pekerja di pabrik ini hanya minum bir yang diproduksinya. Jelas mereka bisa selamat dari kolera.
“Berkenaan dengan kematian yang terjadi di wilayah tersebut. Ada 61 contoh dimana saya diberitahu bahwa orang yang meninggal biasa minum dari dari pompa tersebut sesekali atau terus menerus,” tulis Snow.
Peta Sebaran dan Sumber Masalah
Penelitian yang dilakukan Snow memudahkannya untuk menentukan sumber masalah. Hipotesanya sudah terbangun dari epidemi sebelumnya, dan peta yang dibuatnya berguna untuk secara tepat menemukan titik masalah. Laporannya dibawa ke paroki St. James dan memintanya untuk melepas gagang pompa Broad Street. Hasilnya telihat dengan segera, kasus kolera baru berkurang drastis.
Pakar Epidemologi UGM yang juga Ketua Satgas COVID-19 UGM, Riries Andono Ahmad menyebut apa yang dikerjakan John Snow menaklukkan kolera bisa dicontoh untuk menaklukkan sebaran virus corona pada hari-hari ini. Tanpa alat diagnosis dan tanpa mengetahui penyebab kolera John Snow mengandalkan rute transmisi yang diamati secara kasat mata. Ya, sampai hari ini keberadaan reagen sebagai alat baca utama RNA COVID-19 di pasaran dunia sangat terbatas.
“Prinsip yang sama bisa kita lakukan sekarang. Kita sudah tahu pasti rute transmisinya. Kita sudah tahu pasti cara pencegahan infeksinya,” kata Doni.
Rute transmisi utama COVID-19 yang utama adalah dari Jabodetabek yang memang lebih dulu mengalami outbreak sebelum daerah-daerah yang lain. Maka pengawasan terhadap OTG, ODP, dan PDP terutama dari daerah yang lebih dulu outbreak, menurut Doni, harus sangat tegas.
“Memisahkan antara yang sakit dan yang sehat, melokalisir cluster lokal sebaran COVID, melacak kontak, dan melakukan social distancing yang ketat di masyarakat luas maka akan memperlambat atau menghentikan transmisi,” kata Doni.
Atas usaha kerasnya menaklukkan kolera John Snow kemudian dinobatkan sebagai salah satu bapak epidemologi yakni ilmu yang mempelajari tentang pola penyebaran penyakit atau kejadian yang berhubungan dengan kesehatan, serta faktor-faktor yang dapat memengaruhi keadaan tersebut.
Lama setelahnya, penelitian Snow terkait Kolera disempurnakan oleh Louis Pasteur dengan teori kumannya dan Robert Koch yang menemukan basil Kolera. Pemerintah Inggris meminta perusahaan penyuplai air untuk menyaring air yang mereka miliki sebelum dialirkan. Pemerintah juga menindaklanjutinya dengan memperbaiki sistem sanitasi dan pengairan kota. Sementara peta tematik bikinannya adalah salah satu contoh peta tematik terbaik yang bisa kita dapatkan untuk mengatasi suatu pandemi. (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)