Virus Corona Mengingatkan Pentingnya Peran UKS dan Dokter Kecil di Sekolah

Virus Corona Mengingatkan Pentingnya Peran UKS dan Dokter Kecil di Sekolah

Bagaimanapun wabah virus novel corona atau Covid-19 telah mengingatkan pada kita lagi betapa pentingnya cuci tangan. Wabah mengerikan ini juga telah memberikan banyak pelajaran kepada kita, seperti bagaimana sikap kita ketika sakit, atau yang paling sederhana bagaimana menggunakan masker yang benar.

Orang-orang jadi begitu peduli dengan kesehatan. Tapi apakah perlu menunggu wabah dulu agar kita mau peduli? Tentu tidak, begitu kata Nur Zuhaida, Analis Pendidikan di Dinas Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Menurut Zuhaida, urusan cuci tangan, etika batuk ketika sakit, dan urusan-urusan kesehatan lainnya semestinya sudah tertanam dalam diri seseorang sedini mungkin.

“Ketika SD, bahkan TK, seharusnya memang sudah selesai ya, sudah tertanam,” ujar Zuhaida di Yogyakarta pekan ini.

Dosen Psikologi UGM yang juga Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Novi Poespita Candra juga mengatakan kebiasaan-kebiasaan yang menyangkut keterampilan dalam menjaga diri seperti cuci tangan dan etika ketika sakit, harus diajarkan benar di sekolah.

“Apalagi kalau sakit atau kondisi seperti saat ini, ada endemi sakit seperti flu, demam berdarah, typus, atau corona. Sekolah harus menjadi tempat anak berempati baik pada mereka yang sakit maupun yang sehat,” ujar Candra.

Membangun Kesadaran

Virus Corona Mengingatkan Pentingnya Peran UKS dan Dokter Kecil di Sekolah
Ilustrasi dokter kecil. (dok.istimewa)

Untuk dapat membangun kesadaran akan etika kesehatan, perlu adanya proses pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus sejak usia dini. Keluarga, kata Zuhaida memegang peran sangat vital untuk membangun kesadaran anak secara konsisten.

Zuhaida mencontohkan bagaimana ketika dia kecil, nyaris setiap rumah memiliki padasan, sehingga sebelum masuk rumah setiap anak harus cuci tangan dan kaki dulu.

“Itu perlu kita segarkan lagi ke masyarakat,” ujarnya.

Tapi keluarga tidak bisa berdiri sendiri, lingkungan sosial di tengah masyarakat juga harus mendukung proses pembangunan kesadaran ini. Perlu adanya tokoh atau figur yang bisa dijadikan teladan di tengah masyarakat tentang bagaimana pola hidup sehat secara terus menerus.

Sebab, neburut Zuhaida pembelajaran akan lebih efektif jika dilakukan dengan memberikan contoh dan keteladanan, ketimbang dengan perintah apalagi paksaan. Dia juga tidak menampik bahwa peran sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak bisa dikesampingkan.

“Jadi memang harus sejalan antara sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat. Kalau salah satunya saja tidak mendukung, akan sangat susah,” tegasnya.

Dibutuhkan Provokasi Guru

Di dalam kelas, guru sebenarnya bisa memprovokasi dalam rangka membangun kesadaran perilaku hidup bersih dan sehat. Misalnya dengan menyajikan video tentang penyakit-penyakit tertentu, katakanlah Covid-19.

“Anak-anak disajikan data valid bisa melalui video, artikel, buku, dan lain-lain,” ujar Novi Poespita Candra.

Setelah itu, guru menstimulasi diskusi mengenai apa yang dilihat, didengarkan, dirasakan, dan dipikirkan oleh anak-anaknya. Anak kemudian diminta membuat pemikiran atau ide untuk mencegah semakin luasnya penyebaran virus corona. Mereka diminta mendiskusikan dalam kelompok tentang cara sederhana yang dapat mereka lakukan dan dipraktikkan menggunakan role play.

“Misal jika mereka berpikir harus rajin membasuh tangan, lalu praktik basuh tangan dengan benar. Kalau harus menutup mulut saat batuk, maka latihan dengan benar juga,” lanjutnya.

Agar anak-anak tidak hanya mempraktikkan, tetapi juga meresapinya, maka perlu merefleksi bersama dengan komitmen. Contohnya apa yang mereka rasakan saat role play tadi, mudah atau tidak dipraktikkan, kapan mereka akan mulai melakukan, serta bagaimana jika mereka melihat ada temannya yang lupa.

Ketika mulai praktik, banyak strategi untuk menguatkan perilaku siswa agar olah pikir dan rasanya tadi bisa menjadi olah laku. Guru juga bisa memasang papan bertuliskan, “Sudahkah basuh tangan hari ini?”.

“Maka anak-anak yang sudah membasuh tangan boleh menempelkan bintang pada kotak namanya,” lanjutnya.

Eksperimen-eksperimen ilmiah juga bisa dilakukan, yakni dengan menunjukkan efek tangan yang kotor ketika memegang roti. Siswa diminta melihat perbedaan roti yang sudah dipegang dengan tangan bersih dan tangan yang penuh kuman. Dengan melihat dampaknya secara langsung, maka akan muncul kesadaran pada diri mereka tentang peningnya menjaga kebersihan.

Mengubah Paradigma Pendidikan

Namun dengan paradigma pendidikan sekarang yang hanya fokus pada nilai akademis dan literasi membuat praktik-praktik provokasi guru menjadi kurang leluasa. Candra mengatakan paradigma pendidikan, khususnya di tingkat pendidikan dasar harus diubah menjadi wellbeing yang mencakup kesehatan fisik dan mental.

“Sehingga fokus pendidikan adalah pada membekali anak-anak keterampilan hidup dan didekatkan pada persoalan nyata,” kata Candra.

Sehingga hal-hal keterampilan sederhana seperti cuci tangan, budaya antre, membereskan perlengkapan pribadi, membuang sampah, adalah hal utama yang dilatih dalam pendidikan dan tidak rebut dengan nilai akademik saja.

Perubahan paradigma ini bisa dimulai dari guru dan kepala sekolah yang memiliki kemandirian dan kemerdekaan berpikir untuk mengubah haluan bahwa kultur yang diciptakan di sekolahnya bukan persaingan akademik melainkan sebuah lingkungan rumah kedua yang saling menghargai.

Meski sistem yang ada sekarang belum mendukung, namun jika guru dan kepala sekolah menyadari arti penting karakter maka paradigma baru ini tetap bisa dijalankan.

“Sebab anak-anak yang sehat fisik dan mentalnya, akhirnya memiliki kemauan dan motivasi belajar tinggi dan berdampak pada nilai mereka yang naik juga,” tegas Candra.

Dokter Kecil Sebagai Kader Kesehatan di Sekolah

Supaya pendidikan tentang perilaku hidup bersih dan sehat dapat meresap ke dalam diri anak, perlu adanya kampanye secara terus menerus. Di tingkat SD, ada program yang bernama dokter kecil. Program itu menurut Zuhaida juga merupakan upaya mempercepat proses pembangunan kesadaran di lingkungan sekolah.

“Dokter-dokter kecil itu adalah kader bagi teman-teman sebayanya, seharusnya seperti itu,” kata Zuhaida.

Namun tak jarang dokter kecil hanya ditugaskan sebagai tim P3K saat upacara bendera untuk menangani peserta upacara yang sakit. Atau lebih parahnya, dokter-dokter kecil hanya disiapkan untuk mengikuti perlombaan.

Padahal menurut Zuhaida, lomba-lomba yang diadakan itu tak lebih dari sekadar katalisator untuk mempercepat pembangunan kesadaran, alih-alih tujuan utama yang harus dicapai.

“Jadi harus ada keberlanjutannya, dokter kecil itu harus bisa jadi agen-agen untuk mewujudkan perilaku hidup sehat dan bersih di sekolah,” tegas Zuhaida.

Optimalisasi UKS

Selain dokter kecil, ada juga program unit kesehatan sekolah (UKS). Menurut Zuhaida, UKS memegang peran penting dalam membangun kesadaran perilaku hidup sehat dan bersih di sekolah. Ada tiga program pokok UKS, dikenal dengan Trias UKS yang mencakup pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan, serta pembinaan lingkungan sekolah sehat.

“Jadi semuanya, termasuk cuci tangan pakai sabun, itu sudah masuk ke program UKS,” kata Zuhaida.

Dalam panduan UKS memuat bagaimana standar lingkungan fisik di sekolah seperti ruang UKS, ventilasi dan pencahayaan ruangan, kantin sekolah, sarana olah raga, kondisi tempat sampah, toilet, kebisingan, kepadatan, sarana air bersih dan westafel.

Soal westafel atau fasilitas mencuci tangan, idealnya satu kelas dilengkapi satu buah westafel dengan air yang mengalir, sabun cuci tangan, serta sistem pembuangan yang rapi sehingga tidak menimbulkan genangan.

“Masing-masing sekolah kan punya program UKS, dari SD sampai SMA. Bahkan sekarang TK pun sudah menggunakan itu,” jelasnya.

Pembelajaran soal pola hidup bersih dan sehat semestinya juga diajarkan di dalam kelas, Zuhaida materi-materi ini bisa disisipkan di mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (Penjasorkes). Misalnya pelajaran-pelajaran tentang pentingnya cuci tangan, menyiram toilet setelah menggunakan, buang sampah pada tempatnya, hingga bagaimana etika yang seharusnya dilakukan ketika sakit.

Untuk memastikan program UKS di sekolah berjalan sesuai rencana, maka perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara ketat dan berkala. Monitoring dilakukan dengan mengisi kuisioner dan wawancara dengan setiap komponen sekolah mulai dari siswa, penjaga sekolah, guru, sampai sekolah.

“Wawancaranya kita juga sambil jalan, tidak duduk hadap-hadapan di ruangan, dan yang mendampingi siswa, kita ndak mau didampingi guru untuk menghindari setingan,” jelasnya.

Pada 2017 sampai 2019, Disdikpora DIY juga telah melakukan pemantauan ke setiap sekolah untuk memastikan apakah program UKS masih dilaksanakan dengan baik.

“Alhamdulillah kalau di Jogja masih terjaga. Karena ternyata sekolah juga sudah merasakan manfaatnya,” ujar Zuhaida. (Widi Erha Pradana)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *