Upaya Peneliti UGM Menyelematkan Ikan Wader dari Kepunahan

Upaya Peneliti UGM Menyelematkan Ikan Wader dari Kepunahan

Krreezzzz….

Bunyi itu terdengar ketika keripik ikan wader mulai saya kunyah. Rasa gurih dan sedikit asin seketika menyeruak, menguasai lidah saya. Rasa itu semakin lengkap, ketika saya mencocol keripik wader itu dengan sambal pedas manis yang juga terbuat dari ikan wader.

Entah kapan terakhir saya makan ikan wader, pada gigitan pertama saya merasa seperti kembali ke masa lalu. Waktu kecil, saya sering memancing ikan wader di sungai kecil belakang rumah. Di kampung saya, Banyumas, ikan ini lebih dikenal dengan nama ikan lunjar.

Ikan itu hidup di sungai-sungai kecil, bersama teman-teman semasa kecil, biasanya saya menangkapi ikan-ikan wader dengan pancing atau jaring. Masa-masa yang sepertinya menyenangkan sekali jika dikenang sekarang.

“Ikan wader pari itu di sungai mengalami kemerosotan populasi atau jumlah,” kata Bambang Retnoaji membuyarkan lamunan saya, Selasa (4/2).

Bambang Retnoaji merupakan Ketua Tim Aquatic Research Group dari Laboratorium Struktur dan Pengembangan Hewan Fakultas Biologi UGM. Sudah sejak 2013 silam, dia dan timnya memulai penelitian tentang ikan wader pari. Ketertarikan itu bermula ketika dia menemukan fakta bahwa populasi ikan wader di sungai semakin hari semakin menurun.

Rusaknya Lingkungan sampai Infansi Spesies

pemijahan ikan wader
Pemijahan ikan wader. Foto : Istimewa

Bagas Lantip Prakasa, salah seorang peneliti di Tim Aquatic Research Group tersebut menjelaskan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan ikan wader pari mengalami penurunan populasi di ekosistem aslinya. Masalah pertama adalah kerusakan lingkungan, khususnya tercemarnya air sungai karena limbah pabrik maupun rumah tangga.

“Terus penangkapan ikan yang luar biasa banyak, eksploitasi yang terlalu berlebihan pakai alat setrum, obat, dan sebagainya. Itu juga jadi masalah, apalagi reproduksi ikan wader pari ini hanya berlangsung sekali dalam semusim,” ujar Bagas.

Invasi spesies juga menjadi salah satu penyebab penurunan ikan wader pari di sungai. Bambang menjelaskan, ikan-ikan yang mendominasi di sungai-sungai yang diteliti, yakni Code, Winongo, dan Opak, justru ikan yang tidak berasal dari sungai tersebut.

“Ikan-ikan yang ada di sungai, itu ternyata didominasi oleh ikan yang aslinya bukan berasal dari Indonesia,” ujarnya.

Ikan-ikan invasif ini membuat bahan makanan wader pari berkurang, bahkan beberapa jenis ikan invasif juga menjadi predator bagi wader pari, sehingga populasinya terganggu. Jika situasi seperti ini terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin ikan-ikan asli, termasuk wader pari akan mengalami kepunahan.

Pertama di Yogyakarta

Dari segi ekonomi, ikan wader pari memiliki potensi ekonomi yang tinggi karena rasanya banyak disukai dan biasanya dijadikan kuliner eksotik. Kebutuhan akan wader pari dari usaha-usaha kuliner juga terus meningkat. Celakanya, sampai sekarang belum ada budidaya ikan wader di Yogyakarta.

“Di DIY selama ini belum ada pembudidayaan. Selama ini mengandalkan dari produksi alam,” ujar Bambang.

Untuk kuliner saja, kebutuhan ikan wader pari belum bisa tercukupi. Dalam sehari, permintaan wader pari di Yogyakarta bisa mencapai 100 kilogram untuk bahan olahan. Sementara budidaya yang dilakukan baru bisa menghasilkan ikan wader sekitar 30 kilogram, itupun belum bisa setiap hari.

“Selama ini dari rekanan kami untuk bahan keripik itu masih didatangkan dari Kalimantan,” lanjutnya.

Selain untuk memenuhi kebutuhan ikan wader di bidang usaha, alat ini juga diharapkan dapat membantu mengembalikan populasi ikan wader yang sudah semakin terancam itu.

Mengembalikan Populasi Ikan Wader

Selain untuk memenuhi kebutuhan di sektor kuliner, budidaya ikan wader yang dilakukan oleh Bambang dan timnya juga ditujukan untuk konservasi ikan wader. Satu-satunya jalan untuk mengembalikan populasi ikan wader tersebut kata Bambang adalah dengan membudidayakannya di laboratorium untuk kemudian dikembangkan secara massal di masyarakat.

Sampel ikan wader diambil dari beberapa sungai di Yogyakarta, salah satunya sungan Baros di Bantul. Ikan tersebut kemudian dibawa ke laboratorium untuk mendapat perlakuan agar bisa beradaptasi dengan kondisi laboratorium.

“Adaptasi yang kami lakukan selama dua tahun, 2014 sampai 2015. Kita mulai merekayasa untuk bisa melakukan pembudidayaan untuk menghasilkan telur,” ujar Bambang.

Awal 2015, mereka menemukan teknologi dengan alat sederhana yang kemudian diberi nama alat pemijah ikan wader pari. Di akhir tahun itu, Bambang menemukan sebuah teknik yang efektif agar indukan wader dapat bertelur dengan jumlah yang optimal.

Dalam satu kali pemijahan, satu indukan wader pari dapat menghasilkan 500 butir telur. Ikan wader pari yang sudah bisa dipijah yakni yang usianya minimal enam bulan. Proses pemijahan dapat dilakukan dua minggu sekali.

“Untuk pemeliharaan dan penyediaan ikan siap panen usianya dua sampai tiga bulan,” lanjutnya.

Alat pemijahan ikan wader dirancang dapat digunakan di dalam maupun di luar ruangan dengan kondisi yang bisa diatur. Hal ini memungkinkan proses pemijahan dapat dilakukan kapanpun tanpa bergantung musim.

Proses budidaya ikan wader pari membutuhkan perlakuan yang cukup spesifik. Terlebih, ikan wader pari ini pada dasarnya adalah ikan liar, sehingga diperlukan treatment khusus dalam proses budidayanya.

Ada beberapa bagian utama dari alat pemijah ikan wader pari ini, di antaranya rak pemijah, akuarium utama, akuarium pemijahan, akuarium filter, serta sistem sirkulasi debir air yang dicirikan dengan akuarium pemijahan dengan ijuk sebagai media ikan bertelur.

Proses pemijahan juga harus dilakukan di ruangan tertutup, dengan suhu ruang antara 25 sampai 30 derajat celcius. Intensitas cahanya juga perlu diperhatikan, periode cahaya yang digunakan 14 terang dan 10 gelap dengan kualitas oksigen terlarut pada kisaran enam sampai delapan. Selain itu, pH air juga perlu dijaga di kisaran 6,5 sampai 8 dengan sirkulasi air yang dilakukan secara terus menerus.

“Pemijahan dilakukan mulai jam 16.00 sampai dengan jam 07.00 keesokan harinya pada saat telur dipanen,” lanjut Bambang.

Satu unit alat pemijahan ikan wader ini menghabiskan biaya sekitar Rp 6 juta. Ke depan, targetnya alat ini bisa diproduksi secara massal untuk mendukung usaha budidaya ikan wader di Indonesia.

Sebagai upaya konservasi, Bambang dan timnya juga telah menjalin kerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) DIY. Sebagian ikan yang telah dipijah, nantinya akan dilepasliarkan ke sungai-sungai di Yogyakarta.

“Jadi untuk restoking juga, harapannya bisa mengembalikan stok di alam. Tentunya harus disertai dengan kesadaran masyarakat, bahwa kalau mau mengambil ya di daerah tertentu, tidak boleh semuanya diambil,” tegas Bambang. (Widi Erha Pradana / YK-1)i

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *