Tentang Pelonggaran Karantina di Eropa

Tentang Pelonggaran Karantina di Eropa

Musim semi datang di belahan bumi utara. Bunga-bunga mulai bermekaran seiring sinar matahari yang hangat berlangsung lebih lama. Sementara puncak coronavirus di beberapa negara di Eropa belum terlihat, negara-negara lainnya sudah mulai memikirkan langkah-langkah pelonggaran aturan pembatasan mereka.

Negara-negara Eropa seperti halnya negara-negara lain di dunia dihadapkan pada tugas yang berat, bagaimana pemerintahnnya menyeimbangkan antara pemulihan ekonominya dengan melindungi kesehatan warganya. Jika lockdown diberlakukan terlalu lama, maka ekonomi akan semakin hancur, tapi kesehatan warga bisa diselamatkan. Begitupun sebaliknya.

Austria menjadi salah satu negara Eropa pertama yang mengumumkan untuk membuka aturan lockdown di wilayahnya. Pemerintah Austria beralasan bahwa mereka telah mampu melandaikan kurva, menjinakkan penyebaran eksponensial coronavirus untuk tetap berada di bawah batas kemampuan sistem kesehatan negara mereka. Langkah ini yang oleh media diartikan sebagai sebuah sinyal bahwa benua ini mulai mengalahkan virus corona.

Bisnis ‘non esensial’ sudah boleh mulai beroperasi kembali setelah Minggu Paskah. Pelonggaran pembatasan ini dilakukan bertahap. Mulai Rabu ini, toko-toko yang memiliki luas dibawah 400m persegi boleh kembali membuka pintunya untuk mencari rejeki, dengan tetap memberlakukan aturan social distancing yang ketat. Begitu juga dengan toko-toko kerajinan dan perkebunan.

Paling cepat awal Mei nanti, pusat perbelajaan, mall dan salon-salon kembali dibuka. Sedangkan untuk restoran dan hotel masih menunggu hingga pertengahan Mei untuk mendapatkan ijin kembali beroperasi. Sedangkan acara publik sudah bisa kembali diadakan pada akhir Juni nanti dan aturan penggunaan masker masih akan tetap diberlakukan.

Demikian laporan panjang situasi Eropa mutakhir oleh media DW melaporkannya awal pekan ini.

Eropa Barat dan Tengah

Masih dari DW, di UK, Sekretaris Menteri Luar Negeri Domic Raab, yang mewakili Perdana Menteri Boris Johnson yang masih dalam tahap pemulihan dari coronavirus, mengatakan bahwa “ada sinyal positif” yang menandakan UK akan selamat dari krisis, namun mengakui bahwa jalan itu “masih sangat panjang.”

Menteri Kesehatan Irlandia mengatakan bahwa langkah pembatasan jarak aman sosial yang ketat masih akan diberlakukan hingga vaksin yang benar-benar efektif tersedia. Lockdown di Irlandia sudah diperpanjang hingga 5 Mei nanti.

Kanselor Angela Merkel yang memimpin rapat virtual dengan 16 kepala negara bagian mempertimbangkan masukan dari Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional Jerman, Leopoldina. Pembatasan akan berakhir pada Minggu, 19 April ini. Menteri Kesehatan Jens Spahn mengindikasikan minggu lalu bahwa pemerintah berharap dapat untuk melonggarkan beberapa aturan minggu ini.

Leopoldina mengatakan bahwa jika aturan social distancing diberlakukan dengan ketat, pemerintah bisa untuk membuka kembali beberapa sekolah, pasar dan restoran juga bisa dibuka kembali tapi menekankan bahwa perjalanan publik dan individu serta acara publik diberlakukan kembali secara perlahan-lahan. Imbauan untuk terus mengenakan masker di ruang pubik juga harus tetap dijalankan.

Jerman secara konsisten menunjukkan kepatuhan yang tinggi pada aturan pembatasan, dan tindakan penguncian mendapat persetujuan publik secara umum. Namun, menurut survei yang dikeluarkan agensi pemberitaan Jerman DPA, tingkat disiplin sedikit menurun sejak aturan pembatasan diumumkan pada Maret lalu.

Survei tersebut menemukan, 78% dari publik Jerman mengatakan bahwa mereka patuh pada aturan pembatasan secara utuh, 18% patuh pada sebagian aturan, dan 2% tidak sama sekali.

Pada akhir Maret, jumlah kepatuhan meningkat. Menunjukkan angka kepatuhan total mencapai 83%, patuh sebagian 12%, dan tidak patuh sama sekali 2%. Angka-angka ini menyiratkan sebuah modal bagus bagi Jerman sebagai sebuah bangsa untuk bangkit dari krisis.

Rusia Gunakan Militer

Berbeda dengan rekan-rekannya di bagian tengah dan barat Eropa, Rusia sedang memikirkan kemungkinan penggunaan kekuatan militer untuk menekan persebaran virus jika memang dibutuhkan. Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan warganya untuk bersiap pada sebuah krisis luar biasa setelah adanya laporan peningkatan 2,500 kasus dalam sehari. Di Moskow, yang merupakan wilayah yang terparah di Rusia, pengunaan aplikasi digital untuk mengurangi pelanggaran lockdown juga sudah mulai dibahas. Sesuatu yang sudah dilakukan negara-negara Eropa lainnya.

Belarusia adalah satu dari sedikit negara di dunia yang tidak menggunakan mekanisme penguncian untuk menahan laju persebaran coronavirus di negaranya. Negara ini masih membuka perbatasannya, gereja-gereja masih melayani jemaatnya bahkan liga sepakbola masih dipertandingkan di hadapan kerumunan penonton.

Presiden Belarus Alexander Lukashenko mengatakan bahwa Covid-19 yang menghebohkan semua orang di dunia itu adalah “penyakit kejiwaan” dan menyarankan masyarakatnya untuk meminum vodka dan mengunjungi sauna untuk melawan virus tersebut. Menteri Kesehatan Belarus mencatat hampir 3000 kasus terjadi di negaranya dengan 29 jumlah kematian. Namun Lukashenko mengklaim bahwa kematian tersebut diakibatkan oleh kondisi kesehatan pasien sebelumnya.

Tantangan Gelombang Kedua

Austria bersiap untuk menghadapi dampak ekonomi dari pandemik sebelum semuanya bertambah buruk. Seperti kebanyakan negara lainnya, pemberlakuan lockdown di Austria juga membuat pekerja dirumahkan, angka pengangguran bertambah dan usaha-usaha ditutup. Pemerintah Austria mengumumkan bahwa awal April ini ada sekitar 504,000 orang yang menjadi pengangguran, angka itu melonjak drastis pada dua minggu pertama pemberlakuan lockdown di negara tersebut.

Namun ini adalah sebuah perjudian besar. Jika ada orang-orang yang tidak mematuhi imbauan ini, pelonggaran aturan ini bisa menjadi bumerang. Gelombang kedua dari COVID-19 masih terus mengancam.

Pemerintah mengingatkan masyarakat untuk tetap mengenakan masker saat beraktifitas di ruang publik, mencuci tangan dan menerapkan aturan jarak aman sosial. “Sangat mungkin jika orang-orang tidak menjaga aturan ini, kita akan berada di titik yang sama seperti empat minggu lalu, dan semua masalah akan berulang kembali,” Kata Professor Hans-Peter Hutter, wakil kepala Pusat Kesehatan Masyarakat di Universitas Medis Wina.

Sementara itu, Dirjen WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus memperingatkan bahwa tindakan pelonggaran pembatasan yang terlalu cepat bisa sangat berbahaya. (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *