Tambang Galian C di DIY dan Sekitarnya Banyak Ditolak Masyarakat

Tambang Galian C di DIY dan Sekitarnya Banyak Ditolak Masyarakat

Basuni Mochtar bisa bernapas lega, setidaknya untuk saat ini. Dia adalah Wakil Ketua Paguyuban Sindu Tolak Asat (PSTA). PSTA merupakan paguyuban yang menolak keras adanya tambang batuan atau tambang galian C di Desa Sindumartani, Ngemplak, Sleman.

Pada 12 Desember 2019, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sleman mengeluarkan surat yang intinya berisi tidak akan mengeluarkan izin pertambangan di Desa Sindumartani sebelum CV Kayon menyelesaikan persoalannya dengan PSTA. CV Kayon adalah perusahaan yang tengah mengajukan izin untuk melakukan aktivitas pertambangan di daerah tersebut.

“Jadi kita agak tentram, agak tenang sedikit,” Basuni menceritakan kisahnya dalam konferensi pers terkait persoalan tambang di DIY dan sekitarnya di kantor WALHI Yogyakarta, pekan ini.

Penolakan itu bermula pada 13 Februari 2019, ketika Lurah Sindumartani memberikan persetujuan aktivitas pertambangan di wilayahnya kepada CV Kayon. Setahun sebelumnya, CV Kayon sebenarnya telah melakukan sosialisasi terkait rencananya menambang di Sindumartani.

“Tetapi itu ditolak mentah-mentah oleh masyarakat,” lanjutnya.

Persoalan serupa terjadi juga di Manukan, Pajangan, Bantul. Widayat adalah salah seorang warga yang menolak keras aktivitas penambangan di Manukan. Memang sampai sekarang sekarang belum ada aktivitas penambangan, namun kabarnya proses perizinan hanya tinggal menunggu rekomendasi teknis (rekomtek) dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSO).

Sebenarnya pihak penambang telah melakukan sosialisasi, namun menurut Widayat masyarakat yang hadir dalam sosialisasi tersebut sangat sedikit. Bahkan ada indikasi, bahwa orang yang hadir merupakan hasil tunjukkan dari perusahaan calon penambang.

Dalam sosialisasi, Widayat dan beberapa warga lain yang menolak rencana penambangan tersebut turut hadir dan menolak keras.

“Tapi karena jumlah yang hadir itu lebih banyak yang pro, maka penolakan kami kalah,” ujar Widayat.

Pantang menyerah, Widayat dan sejumlah warga penolak tambang bergerak dengan mendata dan mengumpulkan fotokopi KTP warga yang menolak penambangan. Setelah masa terkumpul, Widayat mengajukan gugatan kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (DPMPT) Bantul. Audiensi kembali dilakukan, namun kejelasan tak kunjung diperoleh.

Penolakan aktivitas penambangan juga terjadi di sejumlah wilayah di sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). WALHI Yogyakarta mencatat ada lima kasus terkait tambang galian C lain yang juga sedang mereka dampingi. Wilayah itu di antaranya di Keposong Kabupaten Boyolali, Kaliworo Kabupaten Klaten, Keningar Kabupaten Magelang, Gondosili Kabupaten Magelang, serta Karang Kabupaten Bantul.

Menyusutnya Air Tanah Sampai Konflik Antarmasyarakat

Ada beberapa alasan yang membuat aktivitas pertambangan mendapatkan penolakan dari masyarakat. Masalah yang paling umum terjadi adalah rusaknya lingkungan. Basuni mengatakan, kondisi sungai Gendol di Sindumartani, yang akan ditambang, kondisinya sudah normal dan dalam. Penambangan dikhawatirkan justru akan merusak kondisi sungai tersebut.

“Jadi seandainya sungai itu ditambang, itu akan membuat masyarakat kita kesusahan air minum, kesusahan pengairan untuk sawah, padahal sungai Gendol itu dipakai untuk pengairan semua dusun di Sindumartani,” jelasnya.

Keadaan seperti ini terjadi di Kaliworo, Klaten. Ketika daerah itu ditambang, sumur-sumur warga di sekitar area pertambangan mengalami penurunan muka air tanah, bahkan tidak sedikit yang mengering.

“Dulu pernah diambil materialnya secara manual, dan sumur-sumur warga itu semua asat tidak ada airnya,” ujar Nakiran, salah seorang warga yang menolak penambangan di Kaliworo, Klaten.

Selain penurunan muka air tanah, rusaknya lingkungan akibat pertambangan juga dikhawatirkan memicu bencana alam lain seperti banjir maupun tanah longsor. Tak hanya masalah lingkungan, adanya tambang juga menciptakan polarisasi di tengah masyarakat. Masyarakat menjadi terpecah dan terkotak-kotak, antara yang menolak tambang, mendukung, serta yang tidak mau tahu dengan adanya tambang.

“Jadi antarwarga juga sudah konflik,” lanjut Nakiran.

Mengapa Tambang Kerap Ditolak Masyarakat

Masyarakat penolak tambang memaparkan kisah di kantor walhi yogyakarta
Masyarakat penolak tambang memaparkan kisahnya kepada wartawan di kantor Walhi Yogyakarta tengah pekan ini. Foto : Widi Erha Pradana

Direktur WALHI Yogyakarta, Halik Sandera, menjelaskan beberapa hal yang menyebabkan tambang kerap kali mendapat penolakan dari masyarakat. Salah satunya adalah masalah perizinan yang kerap bermasalah. Pemangku kebijakan, tak jarang juga memberikan izin kepada perusahaan untuk melakukan aktivitas pertambangan tanpa tahu seperti apa kondisi di lapangan yang sebenarnya.

“Permasalahan lain kadang daftar hadir pertemuan (sosialisasi) itu kadang sebagian besar ada manipulasi. Jadi kadang daftar hadir biasa itu dijadikan sebagai persetujuan warga,” ujar Halik.

Halik juga mengatakan rusaknya lingkungan menjadi salah satu faktor utama mengapa aktivitas tambang kerap mendapatkan penolakan warga. Misalnya penurunan muka air tanah, rusaknya infrastruktur jalan akibat dilewati kendaraan berat, dan sebagainya.

Berdasarkan PP No 23 tahun 2010, aktivitas pertambangan sebenarnya dapat diberhentikan jika kondisi daya dukung lingkungan sudah tidak layak. Penghentian itu bisa dilakukan oleh menteri, gubernur, maupun walikota atau bupati berdasarkan permohonan masyarakat.

“Kan di tambang gitu ada yang namanya inspektorat tambang, yang itu seharusnya melakukan pengawasan praktik penambangan yang sudah diberikan izin,” lanjut Halik.

Agar Tambang Seiring dengan Lingkungan

Pada dasarnya, sebelum ditambang, suatu daerah merupakan potensi sumber daya alam. Ketika daerah itu ditambang, tentu ada konsekuensi yang akan ditimbulkan.

“Dalam konteks di wilayah sungai, kalau itu sedimen kan memang harus diambil. Karena itu bisa berdampak pada pendangkalan dan banjir yang meluap,” ujar Halik.

Namun pemegang hak prioritas untuk mengelola potensi sumber daya alam tersebut adalah masyarakat, alih-alih investor. Kalaupun ada investor yang akan melakukan pertambangan dengan skala besar, potensi yang ada harus dihitung. Berapa yang bisa diambil, ya hanya sebatas itu yang diambil.

“Jadi tidak eksploitatif, artinya potensi yang ada itulah yang boleh diambil,” tegasnya.

Pembangunan yang ada seharusnya juga melihat ketersediaan bahan baku. Hal ini nantinya akan berkaitan dengan izin pembangunan. Misalnya sebuah proyek pembangunan suplai bahan bakunya dari mana, jika tidak tersedia maka seharusnya izin pembangunan itu juga tidak diberikan.

“Sebenarnya Balai Besar (BBWSO) itu kan punya data tentang morfologi sungai. Berapa kedalaman normalnya, kanan kiri, sedimennya sudah di ketinggian berapa, itu kan seharusnya sudah ada,” kata Halik. (Widi Erha Pradana / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *