Meski telah mengerahkan segala cara, bahkan sudah dibantu oleh pakar reptil dari Australia, Matthew Nicholas Wright dan Chris Wilson, upaya penyelamatan buaya berkalung ban di Palu masih buntu.
Seorang pakar biologi satwa liar yang juga presenter Animal Planet, ForrestGalante, bersama timnya sedang mengurus perizinan untuk turun tangan menolong buaya malang itu. Media Palu Poso @ Kumparan memberitakan Farid Mekki (35), warga asal Prancis dan salah seorang rekannya Thibaut Thomas Olivier (24) tiba di Palu, Sabtu (22/2) dan telah mengurus perizinan ke BKSDA Sulawesi Tengah pada Senin (24/2).
Terakhir, Matthew Nicholas Wright datang kembali ke Poso pada Kamis (27/2) dan berusaha mengumpulkan dana public melalui situs crowdfunding Gofundme untuk membantu kebutuhan logistic BKSDA Palu untuk proses evakuasi buaya terlilit ban.
Pertama kali, buaya berkalung ban di Palu diketahui pada 2016 silam. Saat itu, upaya penyelamatan oleh warga setempat sebenarnya sudah dilakukan. Namun karena minimnya keahlian, hasil upaya itu nihil. Dua tahun berselang, giliran Panji, yang terkenal sebagai presenter sebuah acara Panji Sang Penakluk, mencoba untuk melepaskan ban dari tubuh si buaya. Namun usaha itu juga belum mencapai hasil yang menggembirakan.
Kepala Seksi Pengawetan Institut Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Krismanko Padang, mengatakan setidaknya ada dua faktor utama yang mengakibatkan sulitnya proses penyelamatan buaya.
“Karena kondisi medan yang tidak menentu dan tingginya atensi warga untuk melihat secara langsung proses penyelamatan ini sehingga petugas kesulitan untuk melakukan penyelamatan,” ujar Krismanko, akhir pekan kemarin di Yogyakarta.
Banyaknya orang yang melihat proses penyelamatan akan membuat buaya enggan muncul dan menjadi lebih agresif. Hal ini juga dikuatkan oleh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY, Muhammad Wahyudi. Banyaknya orang yang menonton proses penyelamatan buaya tersebut juga menjadi persoalan tersendiri.
“Banyak manusia yang menonton juga, jadi dia (buaya) takut untuk muncul ke permukaan,” jelas Wahyudi.
Perlu Kehati-hatian
Muhammad Wahyudi mengatakan upaya penyelamatan buaya berkalung ban di Palu tersebut memang perlu kehati-hatian ekstra. Pasalnya, ban yang melilit buaya tersebut sudah cukup lama, yakni empat tahun. Dalam jangka waktu selama itu, kemungkinan tubuh buaya sudah semakin membesar dan membuat ban akan semakin sulit dilepas.
“Sehingga memang situasinya mempersulit tim BKSDA Palu yang akan melepaskan bannya. Karena itu diperlukan penanganan khusus untuk melepaskan ban itu,” ujar Wahyudi.
Kondisi arus sungai yang deras juga semakin mempersulit proses penyelamatan. Apalagi warna air sungai di sana juga mirip dengan warna buaya yang akan diselamatkan, sehingga mempersulit proses identifikasi.
“Selain itu buaya yang ada di kali tersebut kan banyak, tidak hanya buaya berkalung ban itu. Itu yang membuat semakin sulit proses penyelamatannya,” lanjutnya.
Satwa Liar Semestinya Hidup di Alam Liar
Muhammad Wahyudi mengatakan ada pelajaran yang dapat diambil dari kasus buaya berkalung ban di Palu. Menurutnya, setiap jenis satwa liar, entah itu buaya, ular, elang, dan lain sebagainya, sudah semestinya hidup di alam liar. Ban pada leher buaya menunjukkan kemungkinan persentuhan antara buaya dan manusia saat buaya masih kecil.
“Jadi mungkin saja dulu dipelihara di rumah sehingga ada iseng atau insiden pengalungan ban di lehernya itu. Kan jadinya seperti sekarang menyiksa satwa liar namanya,” ujarnya.
Ketika masih kecil mungkin hewan itu terlihat menggemaskan, sehingga memeliharanya akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Namun ketika hewan itu beranjak besar, dia akan membahayakan manusia.
Cara paling bijak untuk hidup berdampingan dengan mereka menurut Wahyudi adalah dengan membiarkannya hidup bebas di alamnya, seperti halnya manusia yang bebas menikmati kehidupan yang sudah Tuhan ciptakan untuk semua makhluk hidup.
“Saling menghargai sesama makhluk, itu utamanya,” tegasnya.
Data Buaya di Indonesia

Krismanko mengatakan buaya tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan habitat alaminya adalah area perairan sehingga tidak langsung bersinggungan dengan area yang diokupasi oleh manusia.
“Secara umum kondisi habitat buaya di Indonesia cukup baik,” ujarnya.
Di Indonesia, setidaknya ada empat jenis buaya yang semuanya berstatus dilindungi. Empat jenis buaya itu di antaranya buaya irian, buaya muara, buaya siam, dan buaya sinyulong. Namun karena sebarannya begitu luas, jumlah populasi buaya di Indonesia belum diketahui secara spesifik.
Namun setidaknya menurut Krismanko, di beberapa daerah yang memiliki populasi buaya sebenarnya telah mempunyai estimasi populasi dari perjumpaan dan pengamatan secara langsung.
“Namun memang hingga saat ini belum ada peneliti yang benar-benar melakukan penghitungan populasi secara scientific,” lanjut Krismanko. (Widi Erha Pradana / YK-1)