Test, tracing dan treat. Tes, lacak, dan rawat. Ini panduan dasar yang coba dilakukan untuk memperlambat penyebaran virus dan mengurangi dampaknya. Semuanya dimulai dengan melakukan pengujian. Semakin banyak pengujian dilakukan, semakin banyak data yang kita ketahui mengenai persebaran virus dan jumlah orang yang terinfeksi.
Ourwordindata memaparkan bagaimana strategi tes yang tepat untuk menyusun data yang akurat di sebuah wilayah. Data ini penting untuk menyusun strategi yang akan digunakan untuk melawan Covid-19, daerah mana yang harus dikarantina dan daerah mana yang sudah cukup dengan pemberlakuan pembatasan jarak aman sosial saja. Data ini juga penting untuk mengukur keefektifan kerja strategi penanganan dan menyusun program penanganan lanjutan.
Sayangnya, tidak ada satupun negara yang mengetahui jumlah pasti penderita COVID-19. Yang kita ketahui hanyalah angka infeksi berdasar hasil tes yang dilakukan, itu yang membentuk jumlah angka kasus yang dikonfirmasi. Jumlah infeksi sebenarnya bisa jauh di atas jumlah yang terkonfirmasi. Hingga saat ini masih belum ada cara untuk mengambil kesimpulan jumlah infeksi sebenarnya dari data tes.
Secara umum, semakin banyak tes dilakukan berarti semakin sahih data yang didapatkan karena tingkat tes yang lebih luas memberi kita angka sampel pada jumlah populasi yang lebih besar untuk mengetahui tingkat infeksi mereka.
Namun, negara dengan kapasitas tes rendah, mungkin akan memprioritaskan pengujian pada kelompok populasi beresiko tinggi saja, bahkan jika negara tersebut mampu untuk melakukan pengujian dalam skala besar. Misalnya, kecuali jika statusnya ODP atau PDP, kita tidak perlu melakukan pengujian pada penduduk desa pelosok yang belum terpapar virus. Penjatahan tes tepat sasaran semacam inilah alasan yang mempengaruhi rasio jumlah tes per populasi.
Perbedaan Model Tes
Sebagian negara melaporkan data tes dari banyaknya orang yang diuji dan sebagian lagi melaporkan jumlah tes yang dilakukan. Perbedaan dua model perhitungan disini penting, satu orang bisa menjalani tes berkali-kali (memunculkan hasil negatif lebih banyak), sedangkan jumlah tes per populasi bisa sangat berbeda di setiap negara.
Sederhananya, semakin sedikit jumlah penderita, semakin sedikit pula jumlah tes yang diperlukan untuk menemukan jumlah infeksi. Semakin banyak infeksi ditemukan, semakin banyak pula tes yang harus dilakukan untuk menemukan luas persebaran virus.
Sebagai contoh, Islandia melakukan tes pada seratus dari seribu penduduknya, jauh lebih banyak dari negara manapun saat ini. Sedangkan di Indonesia sendiri sangat rendah, dengan melakukan pengujian pada 0.1 per seribu jiwa.
Di beberapa negara, jumlah tes yang dilakukan jauh lebih banyak dari jumlah kasus yang dikonfirmasi. Hingga 11 April, di Vietnam lebih dari 400 tes dilakukan untuk setiap kasus terkonfirmasi. Di Taiwan dan Rusia, sekitar seribu tes dilakukan untuk setiap kasus terkonfirmasi.
Namun negara lain melakukan tes yang relatif sangat sedikit dibandingkan jumlah kasus yang dikonfirmasi. AS, UK, dan Ekuador melakukan sekitar 5 tes atau kurang untuk setiap kasus terkonfirmasi.
Masalah lain yang bisa timbul dengan menggunakan cakupan tes sebagai indikator adalah bahwa jumlah tes yang diperlukan untuk mendapatkan gambaran akurat tentang penyebaran virus bervariasi selama wabah.
Kita bisa melihat perbedaannya dari pendekatan yang dilakukan tiga negara ini: UK, Australia dan Taiwan.
Dalam hal cakupan pengujian, UK unggul di atas Taiwan, dengan sekurang-kurangnya dua kali dari jumlah orang yang di tes per seribu, hingga 11 April.
Namun di tanggal yang sama, tercatat 1.035 kasus per juta jiwa di Inggris sedangkan di Taiwan hanya 16 kasus per juta jiwa. Itu artinya jumlah kasus di Inggris 60 kali lebih banyak ketimbang Taiwan.
Ukuran pengujian berdasar ukuran populasi lebih tinggi di UK, sedangkan pengujian berdasar ukuran wabah jauh lebih banyak di Taiwan.
Hingga 11 April, di Taiwan setiap satu kasus muncul dari 120 tes. Di UK, setiap empat tes memunculkan satu kasus.
Di Australia, cakupan tes lebih tinggi dari Taiwan. Namun dalam term jumlah tes per kasus terkonfirmasi, dua negara ini tidak jauh berbeda –satu kasus terkonfirmasi dari setiap 55 tes di Australia hingga 11 April.
Namun perbedaan paling besar di antara ketiganya –seperti yang terlihat dari Taiwan, Australia dan UK— menjelaskan sesuatu yang penting tentang kualitas data.
Jumlah Tes per Kasus untuk Kualitas Data Lebih Baik
Sebuah negara yang melakukan sedikit tes per kasus terkonfirmasi adalah tidak melakukan tes yang cukup luas untuk mengetahui gambaran sebenarnya dari penyebaran virus.
Pengujian di UK tidak dapat mengimbangi kecepatan penyebaran virus. Jumlah orang yang di tes per kasus terkonfirmasi berkurang selama Maret hingga April awal –dari 400 lebih, ke 4 pengujian saja setiap 1 kasus. Level pengujian yang kurang dibanding luas persebaran wabah, menyiratkan bahwa jumlah orang yang terinfeksi sebenarnya di UK jauh lebih besar daripada jumlah kasus yang dikonfirmasi.
Banyaknya tes per kasus terkonfirmasi di Taiwan dan Australia menyiratkan bahwa angka kasus terkonfirmasi menggambarkan angka yang mendekati sebenarnya dari jumlah infeksi yang terjadi di negara tersebut.
Baik model besaran cakupan pengujian atau jumlah pengujian per kasus terkonfirmasi, sama-sama membantu kita untuk memahami tentang penyebaran virus yang sebenarnya dari data kasus terkonfirmasi. Namun, tingkat pengujian per kasus memberi kita cara lain yang berguna untuk mendekati pertanyaan yang sama, dengan melihat tingkat pengujian relatif terhadap jumlah kasus secara langsung. (Anasiyah Kiblatovski/YK-1)