Ada pemandangan berbeda di kawasan titik nol kilometer Yogyakarta. Beberapa patung tampak belum lama menghiasi titik-titik tertentu. Salah satu patung yang paling menarik perhatian saya adalah patung Spider-Man yang sedang dikerok oleh Petruk di samping Gedung BNI.
Beberapa pengunjung yang melewati lokasi itu menyempatkan diri untuk swafoto atau sekadar mengabadikan patung itu menggunakan gawai mereka. Ternyata di bagian bawah terdapat penjelasan mengenai patung itu: Persahabatan.
Persahabatan adalah patung karya seniman asal Yogyakarta yang tergabung dalam kelompok AmboroLiring. Karya itu bermakna bahwa persahabatan sejatinya tidak mengenal batas, mengaburkan perbedaan warna kulit, budaya, dan suku bangsa.
Perbedaan itu digambarkan secara kontras melalui dua tokoh patung tersebut. Petruk adalah salah seorang tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, sementara Spider-Man adalah sosok superhero dari belahan bumi yang berbeda.
Karya “Persahabatan” mengisahkan Spider-Man yang sedang sakit masuk angin datang ke rumah sahabatnya; Petruk. Karena Petruk hanya mengenal kerokan sebagai “penyembuh sakit”, maka Spider-Man harus rela punggungnya dikerok agar masuk anginnya sembuh.
Di sepanjang trotoar sebelah selatan dan timur, beberapa patung juga sudah terpasang rapi. Ada patung GolongGilig Tekad Bulat yang melambangkan kebersamaan dan kegotongroyongan, Pink Forest mencoba mengolah tentang bentuk dan isi, Long Journey menggambarkan tahapan perjalanan hidup manusia, Nostalgia Udara Kota akan mengingatkan kita saat ruang-ruang hijau masih lestari, serta andong, becak, dan sepeda masih jadi moda transportasi utama, dan masih ada sejumlah karya lainnya.
Dari sedikit keterangan pada setiap karya, saya tahu bahwa patung-patung itu ternyata sedang dipamerkan dalam Jogja Street Sculpture Project (JSSP). Tak puas dengan penjelasan yang sedikit itu saya mencoba mencari panitia pameran. Namun tak terlihat ada satu pun panitia yang berjaga di sana, seorang petugas keamanan yang saya tanya bahkan tak tahu menahu tentang pameran patung itu. Begitu pun dengan seorang polisi yang sedang bertugas di pos keamanan di sudut simpang empat nol kilometer.
“Wah, maaf mas, saya juga ndak tahu,” kata polisi sembari tersenyum sungkan.
Ketika matahari semakin terik, saya hampir putus asa sebelum teringat ada kontak media sosial Instagram penyelenggara dalam penjelasan singkat setiap karya. Saya buka aplikasi Instagram di gawai untuk mencari akun penyelenggara seperti yang tertera dalam keterangan karya: @jogjastreetsculpture. Saya bernapas lega ketika pihak penyelenggara membalas pesan saya dan menjanjikan untuk bisa ngobrol lebih banyak soal pameran patung itu selepas asar.
Arti Penting Seni untuk Sebuah Kota
Menjelang magrib, rombongan dalam satu bus baru sampai di Dinas Kebudayaan Provinsi DIY. Di antara orang-orang yang turun, ada Soewardi, 70 tahun, salah seorang kurator yang menyeleksi karya-karya yang ditampilkan dalam JSSP ketiga ini.
Soewardi dan panitia penyelenggara JSSP #3 serta beberapa pejabat pemerintahan baru saja pulang dari kaki Gunung Merapi, tepatnya di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Ternyata karya-karya patung tidak hanya ditampilkan di nol kilometer saja, tapi juga di Cangkringan dan Gumuk Pasir, Parangtritis, Bantul.
“Tadi itu agendanya kunjungan, staf dinas (Dinas Kebudayaan DIY) meninjau lokasi penempatan karya. Jadi ngecek ke lapangan,” ujar Soewardi, Kamis (21/11/2019).
Kota Budaya Minim Ruang Seni Publik

Sebagai kota dengan branding budaya yang sangat kuat, Soewardi menilai ruang-ruang seni publik yang ada di Jogja sekarang sangat terbatas. Penataan ruang yang sudah terlalu padat membuat seniman kesulitan menampilkan karyanya di ruang publik.
Selain itu, Jogja juga sudah mempunyai banyak obyek-obyek bangunan atau arsitektural yang secara nilai arsitekturnya sangat ketat.
“Sehingga kita harus melihat ruang-ruang yang dianggap mempunyai peluang untuk ditempati suatu karya sekaligus juga respons masyarakat terhadap itu,” ujar Soewardi.
Hal itu berimbas pada masalah perizinan yang juga menjadi salah satu kendala utama penyelenggaraan pameran JSSP kali ini. Meski ada beberapa tempat yang netral sehingga bisa diletakkan patung di sana, namun menurut Soewardi tidak mungkin mereka meletakkan sebuah karya berjauhan dengan karya lainnya.
“Karena kita sebetulnya membutuhkan suatu kontinuitas kenikmatan antara satu karya dengan karya yang lain. Agar orang bisa nyaman melihat dan menyambung dari satu karya ke karya lain,” kata Soewardi setelah membakar batang rokoknya yang ke sekian.
Menurut Soewardi, karya seni tak hanya soal unsur estetika atau keindahan. Sebuah karya seni publik juga bisa memiliki fungsi fisik, misal sebagai tempat duduk dan sebagainya. Karya seni menurutnya juga berfungsi untuk memperkaya lingkungan atau mengartikulasikan ruang-ruang arsitektural yang sudah ada.
“Padahal Jogja ini punya potensi seniman-seniman dengan kreativitas yang luar biasa,” kata Soewardi.
Senada dengan Soewardi, Ketua OrganizingComiteeJSSP #3, Rosanto Bima Pratama juga mengatakan bahwa imbas minimnya ruang publik yang masih netral membuat proses perizinan menjadi lebih sulit. Di Merapi misalnya, panitia harus pindah lokasi hingga tiga kali karena persoalan perizinan.
“Karena ternyata ada tanah warga, ada tanah Sultan Ground dan sebagainya. Sehingga kita perlu pelan-pelan dan berhati-hati supaya nyaman untuk semuanya, baik event-nya, desanya, maupun masyarakatnya,” ujar Bimo.
Bagaimana Karya Seni Dapat Ditampilkan di Ruang Publik
Dari sekitar 40 peserta yang mengusulkan karyanya untuk dipamerkan, ada 33 karya yang berhasil lolos proses kurasi. Ada beberapa aspek yang menjadi pertimbangan kurator untuk menyeleksi tiap karya, mulai dari aspek kebentukan, kesesuaian dengan tema, pemilihan material. Ada juga pertimbangan-pertimbangan estetis yang jadi kriteria apakah sebuah karya layak untuk ditampilkan.
Pemilihan material menurut Soewardi menjadi aspek penting, mengingat karya-karya itu akan ditampilkan di ruang terbuka hingga 10 Desember 2019.
“Karena ini berada di luar ruang, jadi apakah materialnya itu cukup untuk mengantisipasi iklim yang akan berlangsung selama pameran ini berjalan,” kata Soewardi.
Selain itu, bagaimana seorang seniman merespons ruang yang dipilih baik ruang secara fisik, historis, mitologi, dan lain sebagainya ke dalam karya yang dia buat juga menjadi penilaian tersendiri. Seniman juga harus memperhitungkan respons sosial, bagaimana dia mempertanggungjawabkan karyanya seperti yang diinginkan oleh publik.
Soewardi mencontohkan adanya patung-patung yang dipindahkan karena dinilai sudah tidak relevan dengan ruang yang ada. Itu baru ruang, belum jika ada kelompok yang menafsirkan berbeda karya seni yang dibuat. Nah, seniman menurut Soewardi harus memperhitungkan aspek-aspek itu juga.
“Jadi kompleks sekali, belum jika dikaitkan dengan kepercayaan. Itu sulitnya outdoor sculpture, tidak hanya soal ruang, tapi juga respons sosial, bagaimana agar tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat,” ujar Soewardi.
Mendekatkan Seni Patung Kepada Masyarakat

Berbeda dengan JSSP sebelumnya yang hanya bertempat di kota, JSSP #3 mulai merambah ke pedesaan di ujung utara dan selatan wilayah Yogyakarta. Ketua OrganizingComiteeJSSP #3, Rosanto Bima Pratama mengatakan hal itu bertujuan agar masyarakat desa bisa lebih mengenal patung dan perkembangannya.
Karya-karya yang dipamerkan juga diharapkan dapat memberikan dampak positif untuk masyarakat terutama yang ada di Gumuk Pasir dan Merapi. Misalnya bagaimana patung yang dipamerkan dapat menginspirasi masyarakat setempat untuk membuat sesuatu agar menjadi daya tarik wisata baru.
“Seperti waktu di Merapi tadi, masyarakat tertarik untuk membuat karya seperti Pak Agung Tato, batu yang ditumpuk-tumpuk. Nah mereka terinspirasi buat seperti itu agar wisatanya semakin berkembang,” ujar Bima.
Semua masyarakat memiliki sudut pandang berbeda mengenai patung maupun seni instalasi, karena itu pendekatannya pun harus berbeda. Ke depan, JSSP akan lebih mengarah pada bagaimana sebuah patung bukan hanya sekadar ego seorang seniman, tapi bagaimana seniman itu juga bisa menjadi inspirator masyarakat sekitar.
Sehingga seniman tidak hanya sekadar melihat ruang dan berkarya di situ, tapi bagaimana efek patung yang dibuatnya bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya. Melalui JSSP, seniman ingin menyapa masyarakat secara langsung di ruang publik dengan karya-karya mereka.
“Jadi bukan hanya semangat seniman berpameran, tetapi kita mencari agar senimannya membuat project sosial untuk masyarakat, jadi ada sisi edukasinya juga. Jadi senimannya harus jemput bola, kita yang mendekatkan seni pada masyarakat,” lanjut Bimo.
Melalui JSSP, seniman juga diharapkan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk melakukan eksplorasi terhadap ruang-ruang publik dan menampilkan hal-hal baru, sehingga dapat membuka kemungkinan-kemungkinan kreatif baru.
Cuaca dan Tangan Manusia Jadi Ancaman Utama
Soewardi mengatakan ada dua ancaman utama keberadaan karya-karya yang dipajang, yakni, cuaca dan tangan manusia. Menurut Soewardi memang itulah problem utama patung-patung outdoor, terlebih saat ini sudah mulai memasuki musim penghujan.
Untuk masalah edukasi masyarakat, untuk warga asli Yogyakarta menurutnya sudah mengerti bagaimana menjaga dan menghargai sebuah karya seni. Tapi untuk pendatang-pendatang dari luar kota yang memiliki perbedaan budaya, pemahaman akan hal tersebut dinilai masih kurang.
“Mereka juga mungkin baru pertama melihat karya seperti itu ya, bagaimana mereka mengapresiasi karya publik. Apalagi di nol kilometer itu kan pengunjung dari mana saja, kemudian memusat di situ,” ujar Soewardi.
Untuk mengatasi ancaman-ancaman tersebut, panitia bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk menjaga karya-karya yang dipamerkan.
“Kan susah juga kalau panitia harus standby di Gumuk Pasir dan Merapi, sedangkan kita juga harus standby di pusat,” kata Bima.
Merespons Garis Imajiner Yogyakarta
Tema yang dipilih utuk JSSP #3 adalah “Pasir BawonoWukir”. Karena itu, dipilihlah gumuk pasir untuk mewakili unsur pasir, nol kilometer sebagai bawono, dan Merapi sebagai Wukir. Tema itu dipilih untuk merespons garis imajiner Yogyakarta yang merepresentasikan Pantai Selatan, Kraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi.
“Kita tidak melihat garis imajiner itu hanya sebatas garis yang memiliki dimensi kecil, tapi sebagai ruang yang memiliki dimensi lebih lebar, lebih luas, sejauh dia masih berada di wilayah administratif Provinsi DIY,” ujar Soewardi.
Bagi Bima, JSSP seharusnya menjadi event yang mengejutkan masyarakat, sebab tiba-tiba ada patung di titik-titik tertentu. Terlebih pameran JSSP digelar di outdoor, bukan indoor seperti pameran pada umumnya.
“Karena JSSP diadakan dua tahun sekali, harusnya masyarakat menunggu. Kemarin ada patung di sini, kok selesai event nggak ada. Nah mereka menunggu ada di mana lagi nih patung-patung selanjutnya,” kata Bimo.
Total ada 13 karya yang dipamerkan di area Gumuk Pasir, di nol kilometer ada 12 karya, sedangkan di kaki Merapi ada 8 karya. Karya-karya tersebut diharapkan dapat menelusuri kembali kemungkinan poros-poros baru serta dapat menjembatani keterbatasan dan kepedulian sosial dalam merespons ruang. Yang tidak kalah penting tentunya dapat merangsang seniman dalam mengeksplorasi gagasan, material, serta karakteristik ruang sehingga dapat memberi harapan akan kebaruan dari partisipan bagi seni patung Indonesia.
Saya berharap pak polisi di pos polisi nol kilometer membaca laporan ini. (Widi Erha Pradana / YK-1)