Sebuah petisi online yang menyerukan pengunduran diri Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus sudah mengumpulkan lebih dari 700.000 lebih tanda tangan pada awal pekan ini. Petisi yang diposting di Change.org, menambahkan bahwa Tedros “tidak layak” untuk perannya sebagai kepala organisasi kesehatan dunia dan harus segera melepaskan statusnya, menuduh Tedros hanya mengandalkan kata-kata pemerintah China tanpa melakukan penyelidikan sendiri.
Coronavirus menjadi darurat kesehatan dunia setelah WHO mengunjungi China akhir Januari lalu. Lembaga kesehatan dunia ini memuji kesiapsiagaan yang ditunjukkan dan keterbukaan pemerintah China. Langkah China yang melibatkan semua masyarakat dianggap mencegah atau menunda penyebaran, melindungi dunia dengan mengorbankan kota Wuhan.
“Dalam menghadapi virus yang sebelumnya tidak diketahui, China telah meluncurkan mungkin upaya penahanan penyakit yang paling ambisius, gesit dan agresif dalam sejarah,” kata para ahli WHO dalam laporan Februari mereka tentang misi ke China yang dimuat di laman resminya.
Dan setelah China melaporkan hanya ada beberapa kasus baru per harinya, WHO menyatakan virus ini sebagai pandemi pada 11 Maret, meskipun virus telah menyebrangi semua benua.
Pada tanggal 20 Maret, ia memuji rezim Tiongkok, dengan mengatakan, “untuk pertama kalinya, tidak ada kasus baru yang dilaporkan di China. Ini pencapaian luar biasa yang memberikan kita kepastian bahwa coronavirus bisa dikalahkan.”
Tedros Adhanom Ghebreyesus terpilih untuk sebagai Direktur Jendral WHO pada tahun 2017. Dia tidak memiliki pelatihan sebagai dokter medis, juga tidak memiliki pengalaman manajemen kesehatan global dan parahnya membuat beberapa keputusan penting yang dipertanyakan, salah satunya mencoba menunjuk diktator Zimbabwe saat itu Robert Mugabe sebagai duta besar WHO.
Bradley Thayer, seorang profesor politik di Universitas Texas dan Lianchao Han, wakil presiden dari Citizen Power Initiatives for China mengatakan bahwa, “Pandemi virus corona telah menunjukkan bahwa Tedros tidak cocok untuk memimpin WHO.”
“Dunia sekarang sedang berjuang melawan infeksi yang meningkat dan banyak negara memberlakukan pembatasan. Sebagai pemimpin WHO, Tedros harus dimintai pertanggungjawaban atas perannya dalam upaya yang salah untuk mengendalikan penyebaran virus,” lanjut mereka seperti dikutip Foxnews.
Senator Republikan dari Florida juga mengatakan bahwa dalam hal Coronavirus, WHO telah gagal. Sehingga WHO harus bertanggung jawab atas peran mereka dalam mempromosikan informasi yang salah dan membantu Komunis China menutupi pandemi global.
“Kami tahu Komunis China berbohong tentang berapa banyak kasus dan kematian yang mereka miliki, apa yang mereka ketahui dan kapan mereka mengetahuinya – dan WHO tidak pernah repot untuk menyelidiki lebih lanjut,” katanya masih dari Foxnews.
Kasus Tak Bergejala
Pihak berwenang China baru pada awal April mulai mengumumkan jumlah kasus asimptomatik (tak bergejala) yang dikonfirmasi, padahal kasus infeksi tanpa gejala masuk dalam definisi kasus WHO untuk COVID-19. Hal ini yang menguatkan kecurigaan bahwa China selama ini tidak jujur dalam melaporkan kasusnya. Celakanya, negara-negara lain yang sedang menghadapi coronavirus akan menggunakan pendekatan yang didasarkan pada data yang kemudian diamini oleh WHO ini.
Data dari pemerintah China meragukan, China dituduh menurunkan jumlah korban dan kasus resminya, dengan beberapa perkiraan menyatakan bahwa korban jiwa mereka mungkin melebihi 40.000.
Respon awal China juga memunculkan kecurigaan. Dr Li Wenliang, orang pertama yang mengabarkan munculnya virus baru di Wuhan diperlakukan dengan tidak adil. Oleh kesatuan medis dan kepolisian dia dijatuhi sanksi, dipaksa memberikan pernyataan bahwa peringatan yang dia berikan hanyalah kabar bohong yang tidak dapat dipertanggung jawabkan pada awal Januari. Dr Li akhirnya meninggal karena virus yang sudah diperingatkannya pada dunia ini.
Berebut Pengaruh di WHO
Mareike Ohlberg dari Mercator Institute for China Studies Berlin mengatakan, pernyataan WHO jelas sangat dipengaruhi oleh Partai Komunis China. Dia mengatakan bahwa dia terkejut bahwa, sejak awal, banyak pakar mengulangi informasi dari Beijing secara tidak kritis. Laporan WHO dengan tepat menekankan komitmen heroik penduduk Wuhan. “Tetapi penting bahwa WHO tidak menurunkan dirinya menjadi instrumen pemerintah China — yang tidak ingin membuat transparan bagaimana populasi menderita,” katanya seperti dikutip Foreignpolicy.
“Saya pikir kesuksesan terbesar dari partai-negara China adalah membuat WHO untuk terfokus pada sisi positif dari tanggapan China dan mengabaikan sisi negatifnya,” kata Steve Tsang, direktur Institut China di SOAS University of London. “Dengan WHO menghadirkan tanggapan China dalam sudut pandang positif, pemerintah China dapat membuat kampanye propagandanya untuk mengabaikan kesalahan-kesalahan mereka di awal yang tampak kredibel dan mengabaikan korban manusia, sosial, dan ekonomi dari langkah-langkahnya.” Lanjut Tsang.
Osman Dar, pakar kesehatan global di Public Health England dan Royal Institute of International Affairs, mengatakan bahwa China tidak berbeda dengan negara-negara lain yang berusaha untuk memberikan pengaruh. Menurut Dar, masih dari Foreignpolicy, WHO telah berevolusi dari konferensi sanitasi internasional era kolonial yang diadakan oleh kekuatan Eropa dan kebijakan ekspansionis AS. Sejak WHO dikendalikan dan sebagian besar dipengaruhi oleh kepentingan nasional negara-negara Barat sebelumnya, dalam 20 tahun terakhir, negara-negara seperti China “mulai memiliki pengaruh lebih besar dalam ruang kesehatan global.”
Amerika Serikat merupakan donatur terbesar WHO. Memberikan dana antara $ 100 juta dan $ 400 juta lebih banyak per tahun kepada WHO untuk proyek-proyek spesifik pada tahun 2017. Angka itu setara seperempat dari total anggaran tahunan organisasi tersebut. Saat ini AS menjadi epicenter baru coronavirus, jumlah kasus resminya sudah jauh melampaui China.
Pengaruh Beijing tidak hanya tumbuh menguat di WHO, tetapi juga dalam kebijakan kesehatan di banyak negara. Menurut Tankred Stöbe, mantan presiden MSF (Dokter Tanpa Batas) Jerman dan mantan anggota Dewan Internasional MSF Internasional. Pada bulan Februari, ia melakukan perjalanan ke Asia Tenggara (SEA) sebagai koordinator darurat COVID-19 untuk Dokter Tanpa Batas. Negara-negara seperti Laos, Kamboja, dan Thailand “tidak bisa lepas dari pengaruh China,” katanya.
Negara-negara tersebut tidak bisa menolak bisa menolak permintaan dari “sahabat”, terutama karena krisis yang bisa terjadi di negara mereka. Negara-negara seperti Kamboja dan Pakistan terus menerima penerbangan dari China selama wabah.
Perlu diingat juga, Tedros berasal dari Ethiopia, negara yang sangat bergantung pada China belasan tahun terakhir dan belakangan tidak puas dengan hasil investasi mereka di negra tersebut. Konflik kepentingan yang dimiliki Tedros membuat tindakannya selaku pimpinan WHO diawasi dunia. (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)