Satwa Liar dan Pasar Basah: Kombinasi Mematikan Munculnya Virus Corona

Satwa Liar dan Pasar Basah: Kombinasi Mematikan Munculnya Virus Corona

Sampai hari ini, Minggu (26/1), sementara otoritas China berjibaku menangani pasien yang terinfeksi virus corona dan mencegah penyebaran ke tempat yang lebih luas, para pakar dan media di seluruh dunia terus memperdebatkan darimana kemungkinan virus corona jenis baru ini menginfeksi manusia. Kelelawar dan ular menjadi 2 satwa liar yang, sampai saat ini, diduga menjadi sumber virus yang secara resmi disebut sebagai 2019-nCov itu.

Seperti halnya Pandangan Jogja @Kumparan yang menurunkan laporan ‘Pelajaran dari Virus Corona : Manusia Harus Berhenti Makan Hewan Liar,’ sebagian besar media barat juga ramai-ramai menyalahkan kegemaran orang China memakan satwa liar.

Majalah Time dalam laporannya yang diunggah di Time.com pada Jum’at (24/1) menurunkan laporan yang secara halus berusaha untuk meluruskan alur berpikir yang menurut Time cenderung menghakimi praktik budaya (salah satunya budaya makan orang di Republik Rakyat China atau orang Tomohon Sulawesi Utara dalam kasus Indonesia – red). Laporan Time tersebut berjudul ‘The West Blames the Wuhan Coronavirus on China’s Love of Eatng Wild Animals. The Truth is More Complex.

Kegemaran Makan Hewan Eksotik

Satwa Liar dan Pasar Basah: Kombinasi Mematikan Munculnya Virus Corona
Tim Tanggap Darurat Hygiene Wuhan meninggalkan lokasi Pasar Makanan Laut Haunan lokasi terdeksi Virus Corona di Wuhan, Hubei, China. Foto: AFP/NOEL CELIS

Radio NPR, sebuah radio nonprofit yang cukup populer di Amerika pada Rabu (22/1) mewawancara Zhenzhong Si, seorang peneliti di University of Waterloo di Ontario, Kanada yang fokus pada keamanan pangan di Tiongkok.

Dalam paparannya, Zhengzhong mengatakan, bahwa situasi di pasar basah Pasar Makanan Laut Huanan di Provinsi Wuhan di China muncul salah satunya karena masyarakat China begitu gemar memakan hewan liar dan eksotik.

Menurutnya, makan hewan liar di China dianggap sebagai simbol kekayaan karena mereka langka dan harganya mahal. Hewan liar juga dianggap lebih alami dan dengan demikian, lebih bergizi jika dibandingkan dengan daging ternak. Pengobatan tradisional Tiongkok juga percaya bahwa hewan liar bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

“Sangat sulit untuk mengubah pola pikir, bahwa makan hewan liar lebih baik daripada makan hewan ternak. Itu adalah pola pikir yang umum di banyak benak orang China,” katanya.

Hal yang sama dikemukakan oleh Yanzhong Huang, seorang ahli kesehatan publik China dan Asia Tenggara di Dewan Hubungan Luar Negeri Amerika yang dikutip oleh Time di awal artikelnya. “Ini hanya bagian dari budaya Tiongkok. Mereka suka makan apa pun hidup-hidup.”

Hewan liar, tentu saja, terutama bermasalah karena asal-usulnya yang tidak jelas yang membuatnya sulit untuk memastikan mereka bebas dari penyakit. Karena alasan inilah, kampanye kesehatan di Afrika memperingatkan orang-orang terhadap konsumsi “daging semak,” (daging dari hewan liar) yang telah dikaitkan dengan penyebaran penyakit yang tak terhitung jumlahnya, termasuk HIV / AIDS.

Namun, Time mengakhiri artikelnya dengan mengutip Adam Kamradt-Scott, associate professor yang berspesialisasi dalam keamanan kesehatan global di University of Sydney, yang mengatakan bahwa cara berpikir ini sering cacat.

Praktik Budaya

Satwa Liar dan Pasar Basah: Kombinasi Mematikan Munculnya Virus Corona
Suasana salah satu lapak di Pasar Tradisional Kota Manado yang menjual daging anjing (foto: febry kodongan)

Dulu, para ilmuwan berpikir bahwa Ebola dimulai dengan konsumsi daging kelelawar di sebuah desa di tenggara Guinea, tapi sekarang mereka percaya bahwa gadis berusia dua tahun yang dikenal sebagai Child Zero itu kemungkinan terinfeksi melalui kotoran kelelawar yang mencemari sebuah benda atau makanan yang kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya.

MERS-Cov juga terutama disebarkan dari unta hidup ke manusia melalui pergaulan daripada makan daging unta. “Ini bukan semata-mata masalah konsumsi hewan eksotis semata,” kata Kamradt-Scott. “Jadi kita harus berhati-hati memilih atau mengutuk praktik budaya.”

Pada akhirnya, Time lebih memilih untuk memberi perhatian dari “pasar basah” terutama yang juga menjual hewan hidup. Campuran urin, feses, dan cairan tubuh lainnya dari makhluk hidup yang akhirnya bercampur dengan darah dari hewan yang disembelih, memberikan peluang ideal bagi virus dan bakteri untuk berkembang.

Time mengakhiri artikelnya persis dengan kutipan Yanzhong Huang, “selama masih ada pasar basah, kita akan terus melihat wabah ini bermunculan.”

Jadi bagi Time, pasar basah adalah masalah utama dari merebaknya virus corona.

Perdagangan Satwa Liar

Satwa Liar dan Pasar Basah: Kombinasi Mematikan Munculnya Virus Corona
Satwa langka yang diamankan oleh polisi pada konferensi pers penangkapan sindikat penjualan satwa langka jaringan internasional. Foto: Yuana Fatwalloh/kumparan

Pada 2005, Dr. Karesh, direktur Program Veteriner Lapangan Pelestarian Satwa Liar dan juga menjabat sebagai ketua bersama Kelompok Spesialis Kedokteran Hewan Persatuan Konservasi Dunia menerbitkan artikelnya di US National Library of Medicine National Institute of Health.

Dalam artikel yang berjudul “Wildlife Trade and Global Disease Emergence,” tersebut, ia menyatakan bahwa perdagangan global satwa liar menyediakan mekanisme penularan penyakit yang tidak hanya menyebabkan berjangkitnya penyakit manusia tetapi juga mengancam ternak, perdagangan internasional, mata pencaharian pedesaan, populasi satwa liar asli, dan kesehatan ekosistem. Wabah yang disebabkan oleh perdagangan satwa liar telah menyebabkan kerusakan ekonomi ratusan miliar dolar secara global.

Kata kunci dari artikel Dr. Karesh adalah kontak dengan satwa liar membuat resiko manusia terpapar patogen berbahaya meningkat pesat. Lingkup perdagangan yang semakin global, ditambah dengan transportasi modern yang cepat dan kenyataan bahwa pasar berfungsi sebagai hub jaringan daripada sebagai titik akhir produk, secara dramatis meningkatkan pergerakan dan potensi transmisi lintas spesies dari agen infeksi yang secara alami dimiliki oleh setiap hewan.

“…ada beberapa lipat miliar kontak…sehingga pergerakan agen infeksius yang tidak disengaja akibat perdagangan satwa liar tidak terbatas pada patogen manusia tetapi juga mempengaruhi patogen hewan domestik dan satwa liar asli,” kata pakar yang proyek dan programnya berfokus pada hubungan antara satwa liar, hewan peliharaan, dan kesehatan dan kesejahteraan manusia di negara-negara non-industri di seluruh dunia ini.

Kontak di Pasar Basah

Satwa Liar dan Pasar Basah: Kombinasi Mematikan Munculnya Virus Corona
Tim Tanggap Darurat Hygiene Wuhan melakukan identifikasi di Pasar Makanan Laut Haunan lokasi terdeksi Virus Corona di Wuhan, Hubei, China. Foto: AFP/NOEL CELIS

Guru Besar Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Widya Asmara, dalam konfirmasi melalui telefon pada Sabtu (25/1) mengatakan bahwa kontak dengan satwa liar adalah masalah besar manusia modern. Tidak saja disebabkan oleh perdagangan satwa liar namun juga penggundulan hutan yang membuat satwa liar dan manusia makin berdekatan.

“Kontak dengan satwa liar, apapun jenisnya, mau burung, kera, kelelawar, musang, pasti beresiko bagi manusia. Apalagi kalau kontaknya di pasar seperti di Pasar Wuhan, kontak dengan segala macam kotoran dan darah hewan apa saja jadi satu, apalagi sampai dimakan tentu lebih berbahaya,” paparnya dengan melanjutkan,”maka new emerging disease makin ke sini makin banyak.”

Artinya, argumen Time bahwa pasar basah adalah masalah yang lebih besar ketimbang menyerang praktik budaya, barulah separuh benar. Sebab perdagangan satwa liar telah lama juga menjadi masalah dunia, masalah China.

China adalah salah satu negara yang punya masalah besar dengan perdagangan satwa liar. Secara budaya, untuk makan dan pengobatan, satwa liar begitu digemari di China. Pada akhir 2018 lalu, Pemerintah China hampir saja melegalkan perdagangan cula badak dan tulang harimau meski secara terbatas, kalau tidak mendapat protes dari aktivis lingkungan di seluruh dunia. Angka-angka penyelundupan dan penggagalan satwa liar ke China dari tahun ke tahun juga selalu besar.

Mengenai perbaikan kondisi pasar basah di China, Zhenzhong Si, pakar keamanan China itu mengatakan sejak 2002 (bersamaan dengan munculnya wabah SARS-red) pemerintah China sebenarnya telah berusaha mengubah pasar basah di kota-kota China menjadi supermarket yang kebersihannya bisa distandardkan. Tetapi usaha tersebut gagal karena supermarket tidak bisa bersaing dalam harga sehingga para pelanggan kembali lari ke pasar basar.

Menurut Zhengzhong, pemerintah China perlu menegakkan kebijakan yang lebih baik di pasar basah untuk memastikan tidak ada resiko keamanan pangan terutama dari satwa liar dan unggas hidup.

“Namun, saya ingin menekankan bahwa banyak pemerintah kota Tiongkok sebenarnya mendukung pengembangan pasar basah baru di kota karena ini merupakan sumber penting dari hasil bumi segar dan daging segar bagi mayoritas penduduk kota. Itu juga bagian dari gaya hidup urban. Beberapa orang berpendapat bahwa pasar basah menyediakan ruang untuk sosialisasi, Anda tahu, orang senang berbicara dengan orang lain di pasar sehingga banyak orang menikmati berbelanja di pasar basah dibandingkan dengan supermarket,” papar Zhengzhong.

Pasar basah adalah gerai ritel makanan utama untuk produk dan daging segar di kota-kota China. Kota besar di China biasanya memiliki beberapa ratus pasar basah. Dengan penduduk sebanyak 1,386 miliar yang secara budaya gemar makan satwa liar dan belanja di pasar basah, Pemerintah China perlu membereskan keduanya. Sebab, sejak SARS 2002 dan kini 2019-nCov, kombinasi perdagangan satwa liar dan kondisi pasar basah yang jauh dari higienis adalah kombinasi yang memungkinkan lahirnya virus apapun di kemudian hari yang sangat mematikan bagi manusia, juga bagi kerajaan hewan. (ESP/YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *