Aminah, 45 tahun, tampak serius menggoreskancantingnya untuk membuat pola di atas kain mori. Tangannya sangat lihai menggambar motif batik tulis nitik, motif batik tertua asli Yogyakarta. Sepertinya pekerjaan yang mudah, tampak tak lebih sulit dari menulis menggunakan spidol di permukaan white board.
Saya langsung meminta izin untuk ikut membatik menggunakan kain yang disediakan untuk belajar para pengunjung. Ketika ujung canting bahkan belum menyentuh kain, malam cair di dalamnya sudah menetes ke mana-mana, membuat noda tak beraturan di permukaan kain. Melihat kegagalan saya, Aminah hanya tersenyum tipis.
Tak patah semangat, saya tetap melanjutkan membatik, meski bercak malam di kain sudah semakin tak beraturan. Tapi ketika saya goreskan ujung canting ke kain, tak ada motif yang membekas di permukaan kain. Padahal, saya ingin sekali menggambar motif batik mega mendung, satu-satunya motif yang saya ingat dari pelajaran seni budaya saat SMP dulu.
“Itu canting untuk bikin batik titik mas, nggak bisa untuk nggambar,” kata Aminah.
Saya baru tahu, ternyata canting yang digunakan untuk membuat batik tulis nitik dengan batik biasanya yang saya kenal, berbeda. Dasar pada motif batik titik memang berbeda, motifnya terbentuk dari ribuan titik, berbeda dengan batik lainnya yang motif dasarnya dari garis.
Untuk membuat motif batik nitik, canting yang digunakan adalah canting cawang, yakni canting yang bagian cucuk atau ujungnya dibelah menjadi empat.
Aminah kemudian memberikan canting yang biasa digunakan untuk membuat motif garis. Akhirnya, saya bisa membuat motif mega mendung, pikir saya. Tapi ternyata membuat motif di kain menggunakan canting dan malam tak semudah membuat motif di atas kertas gambar memakai pensil. Meski sudah berganti canting, hasilnya masih saja jauh dari sekadar jelek.
Masih ada saja malam-malam yang menetes tak beraturan. Ketebalan garis yang saya buat juga tidak seimbang, ada yang sangat tebal, ada yang terlampau tipis, bahkan tidak sedikit garis yang terputus.
“Cantingnya jangan tegak mas, agak miring,” kata Aminah mengajari.
“Nyerah saya bu,” kata saya disambut tawa Aminah.
Aminah mulai cerita bagaiman batik tulis nitik sudah mulai dibuat pada era Sultan Hamengku Buwono VII atau akhir abad ke-18. Ada yang menduga batik tulis nitik merupakan adaptasi dari kain patola yang merupakan kain tradisional India yang pada akhir tahun 1700-an mengalami penurunan penjualan. Dari teknik nitik ini lahir puluhan motif batik yang terus mengada sampai hari ini.
“Total ada 90-an motif, hampir semua bunga-bungaan. Ada motif sekar kenanga, sekar tanjung, sekar manggis, kembang jeruk, kembang randu. Sekar itu artinya bunga,” ujar Aminah.
Kata dia, selain melambangkan keindahan, motif-motif pada batik nitik juga melambangkan keseimbangan antara alam, manusia, dan Tuhan sebagai pencipta semesta. Batik nitik memiliki warna dominan cokelat, melambangkan kesederhanaan dan kejujuran manusia Jawa.
Di selembar batik nitik juga tertera kesabaran dan keuletan pembuatnya. Untuk menyelesaikan satu helai kain batik nitik, biasanya Aminah membutuhkan waktu paling sedikit satu bulan.
Matematika di Tenun Pahudu Sumba

Aminah merupakan salah seorang perajin kain tradisional yang diundang daam acara Asean Traditional Textile Symposium (ATTS) yang ke-7 pada 5 sampai 8 November 2019 di The Royal Ambarukmo, Yogyakarta. Lebih dari 22 negara, terdiri dari 12 negara ASEAN dan negara mitra Asia seperti Cina, Jepang, Inggris, Kanada, Australia, Korea, dan lain-lain, terlibat di gelaran ini.
Tak jauh dari tempat Aminah membatik, ParanggiMahabar alias Frangky, 45 tahun, tampak sangat serius menenun sulam membuat lau pahudu, kain tenun asli Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Satu persatu benang dia sulam dengan sangat telaten pada motif yang sudah dibuat sebelumnya.
“Paling cepat enam bulan, kadang bisa sampai delapan bulan. Tergantung motif, semakin rumit semakin lama,” kata Frangky.
Proses pembuatan kain tenun pahudu cukup panjang. Kata Frangky, langkah pertama adalah mencari ide, motif seperti apa yang akan dibuat. Itu kenapa, setiap kain pahudu yang dibuat selalu berbeda dengan pahudu lainnya meski dibuat oleh orang yang sama.
Bagaimana orang harus berimajinasi, menggabungkan pikiran dengan perasaan agar bisa menciptakan motif yang keren menjadi tugas pertama penenun kain pahudu.
“Jadi di awal sudah harus menggunakan daya pikir dari hati dan pikiran, berimajinasi membuat motif seperti apa,” ujar Frangky.
Berbeda dengan membuat batik yang sudah ada pakem-pakem motifnya, membuat motif kain pahudu benar-benar bersumber dari imajinasi si penenun. Ini yang membuat proses pembuatan tenun pahudu menjadi begitu lama.
Setelah menemukan ide, proses berikutnya adalah mewarnai benang dengan warna-warna alam yang diperlukan. Pewarna yang digunakan 100 persen warna alam, seperti akar mengkudu, daun nila, kayu kuning, kulit mangga, dan banyak lainnya.
Setelah proses pewarnaan selesai, tibalah di proses yang menurut Frangky paling sulit : membuat motif. Pembuatan motif pada kain tenun dilakukan secara manual dengan cara menyulam menggunakan lidi. Ada ratusan lidi yang disulam agar membentuk motif yang diinginkan.
“Satu lidi itu paling cepat satu menit,” kata Frangky.
Motif yang paling banyak dibuat dalam kain pahudu adalah motif binatang, seperti kuda, ayam, sapi.
Dalam membuat motif, kata Frangky diperlukan kemampuan matematis yang ekstra tinggi. Karena menggunakan teknik sulam, untuk membuat satu bentuk kecil saja harus benar-benar memperhatikan penempatan tiap helai benang. Penenun harus benar-benar jeli, kapan benang harus naik, kapan turun, kapan di depan, kapan di belakang, dan sebagainya.
“Misal kita mau bikin bentuk wajik kecil saja, kita harus menghitung berapa kali dia (benang) naik, berapa kali turun. Berapa lembar dia dibagi, berapa dikali, sehingga menjadi wajik. Kalau salah satu saja, salah semua,” lanjut Frangky.
Awalnya saya juga berniat mencoba menenun, tapi setelah mendengar penjelasan Frangky saya mengurungkan niat itu. Saya sangat menyadari bahwa kemampuan matematika saya amatlah payah.
Setelah motif selesai dibuat, baru proses penenunan dapat dimulai. Proses penenunan ternyata sama sekali tak bisa disebut mudah. Ketelatenanmenyulan helai demi helai benang menjadi pertaruhan.
“Tidak semua orang bisa menenun, harus benar-benar sabar dan tekun. Orang-orang di kampung saya saja tidak semua bisa menenun,” kata Frangky.
Industri Kain Tradisional di Hadapan Mesin
Selain kain-kain tradisional nusantara, dalam ATTS ketujuh ini juga dipamerkan berbagai kain tradisional dari negara-negara ASEAN lainnya. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah kain tadisional Filipina. Berbeda dengan kain-kain tradisional dari negara Asia Tenggara lainnya, kain tradisional Filipina kental dengan nuansa Eropa.
“Karena Filipina kan bekas jajahan Spanyol, sehingga banyak pengaruh dari budaya mereka,” ujar pemandu pameran ATTS yang juga Sekretaris APIP’S Kerajinan Batik Yogyakarta, Julius Wicaksono.
Kain tradisional khas Filipina ini bernama Raqhuel’s Pina, berupa kain tenun transparan namun menunjukkan kesan elegan dan anggun ketika sudah menjadi pakaian, sebuah akulturasi antara budaya Asia Tenggara dengan Eropa.
“Jadi orang Filipina ini mengutamakan keanggunan,” kata Julius.
Semua kain yang dipamerkan di ATTS adalah kain-kain tradisional yang dibuat secara manual. Julius menyadari, perkembangan teknologi membuat keberadaan kain-kain tradisional ini terancam keberadaannya. Terlebih semakin sulit ditemui perajin-perajin kain tradisional, misalnya perajin batik tulis.
“Bahkan kita harus mencari pembatik dari Pekalongan untuk membuat motif batik Yogyakarta. Itu sama sekali tidak lucu menurut saya,” ujarnya.
Meski sudah ada teknologi yang barangkali bisa membuat batik-batik dan berbagai jenis kerajinan kain secara lebih efisien, tapi menurut Julius mesin tetap tidak bisa menggantikan kerja-kerja manusia dalam konteks seni.
“Mungkin diprint bagus, tapi keagungan batik hasil mesin jelas kalah dengan batik tulis,” kata Julius.
Mesin menurutnya tidak melibatkan hati dan perasaan ketika membuat karya seni seperti batik. Dia mengibaratkan lukisan tangan yang secara nilai tak bisa digantikan meski sudah ada mesin printing.
Senada, menurut Franky, mesin tak bisa mewakili imajinasi dan semua perasaan tiap penenun. Kain tenun pahudu menurutnya akan kehilangan esensi seninya jika tidak lagi dibuat oleh pikiran dan tangan manusia. Mesin tak bisa menggantikan buah pikir, rasa, juga keringat manusia.
“Mesin kan tidak bisa berimajinasi seperti manusia. Dia tidak menggunakan daya pikir dan rasa ketika membuat karya seni tenun. Padahal esensi seni itu kan rasa,” ujar Frangky.
(Widi Erha Pradana / YK-1)