Putra Suku Maybrat Papua yang Camlaude Doktoral Ilmu Kehutanan UGM

Putra Suku Maybrat Papua yang Camlaude Doktoral Ilmu Kehutanan UGM

Seperti janji yang sudah disepakati sebelumnya, sebelum pukul 09.30 WIB saya sudah sampai di Fakultas Kehutanan UGM. Sejak pagi langit agak memuram mendung, menahan air hujan yang tampaknya sudah semakin berat di tengah Oktober ini. Mahasiswa tampak lalu lalang, sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Saya memilih salah satu gazebo di kantin Fakultas Kehutanan untuk duduk menunggu. Saya buka aplikasi pesan singkat WhatsApp untuk memberitahu bahwa saya sudah sampai di tempat janjian kami. Berselang sekitar 10 menit, sebuah mobil hitam datang dan berhenti tepat di depan kantin. Pintu belakang terbuka, seorang pria berkemeja putih bergaris lengan pendek keluar. Pandangannya langsung tertuju ke arah kantin.

Dia lambaikan tangan ke arah saya sambil memastikan benarkah saya wartawan yang telah membuat janji dengannya. Saya pun berdiri dan mengiyakan, kami berjabat tangan. Senyumnya mengembang ramah. Dialah Sepus Marten Fatem, mahasiswa S3 di Fakultas Kehutanan UGM yang baru saja meraih gelar doktornya dengan predikat cumlaude pada Senin (14/10).

“Tunggu sebentar ya, saya ngurus berkas-berkas dulu,” kata Sepus meminta izin karena tidak bisa langsung melakukan wawancara, Rabu (16/10).

Dia kemudian bergegas ke Gedung D. Cukup lama, dia kemudian berjalan ke gedung sebelah barat dan kembali lagi ke Gedung D sebanyak beberapa kali. Setiap lewat depan saya, Sepus selalu mengatakan agar saya bersabar. Setelah setengah jam lewat, urusannya selesai. Sepus ternyata memang sedang sibuk-sibuknya. Selain mengurus administrasi kelulusannya, dia juga sedang menyiapkan kepulangan keluarganya ke Papua. Setelah dia memesan segelas kecil kopi susu, kami memulai obrolan di pagi menjelang siang itu.

Makan Nasi Kosong

serpus makan nasi kosong
Sepus Martin berfoto seusai wawancara pada Rabu (16/10). Foto oleh : Widi Erha Pradana

Sepus adalah anak kedua dari enam bersaudara. Dari enam bersaudara itu, hanya satu yang tidak mengenyam bangku kuliah karena harus menjaga rumah. Ibunya hanya lulusan sekolah dasar yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Sementara sang ayah lulusan SMP yang bekerja sebagai paramedis. Sebagai seorang paramedis, sang ayah menghabiskan hampir setengah hidupnya di daerah pedalaman untuk melayani masyarakat di Distrik Kebar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat yang cukup terpencil.

“Saya lahir di pedalaman, dibesarkan dalam situasi keluarga yang dididik untuk hidup ini perjuangan,” kata Sepus mengawali ceritanya.

Dia dan saudara-saudaranya dididik untuk selalu bekerja keras di dalam hidupnya. Ayahnya selalu mengajarkan kepadanya untuk hidup dari keringat sendiri. Karena didikan itulah, Sepus menjadi punya prinsip bahwa hidup adalah sebuah perjuangan panjang. Sejak kecil, tidak ada kata bersantai dalam kamus kehidupannya.

“Pulang sekolah, satu jam istirahat ke kebun. Atau pagi-pagi jam enam harus gembalakan ternak. Jam tujuh mandi, setengah delapan sudah harus ke sekolah. Pulang lagi sampai sore seperti itu,” kata Sepus mengenang masa kecilnya.

Selain dididik oleh keluarga yang menekankan kedisiplinan, keteguhan perjuangannya juga tidak lepas dari pengaruh suku Maybrat, suku asli Sepus. Menurutnya, kemampuan suku Maybrat dalam bertahan hidup sangat luar biasa karena pengaruh faktor alam. Masyarakat suku Maybrat dipaksa untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sebenarnya bukan tempat untuk bermukim.

“Itu tebing semua, batu (tempat tinggal suku Maybrat). Bagaimana mengelola batu menjadi lahan pertanian, itulah tugas mereka. Sehingga dibentuk dengan lingkungan seperti itu membuat perilakunya harus survive,” ujarnya.

Gaji seorang paramedis tentu tidak cukup untuk membiayai pendidikan Sepus dan kelima saudaranya. Karena itu, sang ayah harus bercocok tanam dan beternak untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Dulu, keluarganya memiliki sapi 60 ekor. Dari situlah biaya pendidikan Sepus dan saudara-saudaranya bisa terpenuhi.

Pendidikan menjadi hal penting dalam keluarga Sepus Marten. Orangtuanya selalu mendorong agar anak-anaknya lebih sukses dari mereka, terutama dalam pendidikan. Dorongan itu yang kemudian mejadi cambuk bagi Sepus dan saudaranya untuk selalu berjuang.

“Kalau bapak hanya bisa makan singkong bakar, pisang bakar, itu kamu harus makan minimal roti bakar. It’s mean, kalau saya cuman tamat SMP, kamu minimal S1,” kata Sepus mengulangi nasihat ayahnya. “Budaya saya orang Maybrat, itu kami tidak makan, kami makan nasi kosong, nasi tanpa lauk, yang penting anak-anak sekolah. Yang penting mereka punya SPP dibayar. Mau makan apapun, tidur di kasur tidak, di bantal tidak, di tikar, yang penting mereka sekolah.”

Tak Lebih Baik, Berpikir Sistematis

berpikir secara sistematis
Sepus Martin saat melayani wawancara di Kantin Fakultas Kehutanan UGM Rabu (16/10). Foto oleh : Widi Erha Pradana.

Meski sudah berhasil meraih gelar doktor yang tidak banyak orang Papua bisa capai, Sepus merasa tak lebih baik dari masyarakat asli Papua. Sepus mengaku belajar dari filosofi orang Jawa tentang padi. Bahwa semakin berisi padi, maka dia akan semakin merunduk.

“Bahwa semakin berpendidikan tinggi, pengetahuan yang banyak, semakin mendapat apresiasi dari banyak orang, semakin itu juga kerendahan kita diturunkan terus,” ujar Sepus setelah menyeruput kopinya.

Ketika pulang ke kampung halamannya di Tambrauw, Sepus tidak pernah ingin menjadi orang lain. Dia tetap membaur dan melakukan aktivitas-aktivitas seperti masyarakat setempat juga di tengah kesibukannya sebagai pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Papua dan Staf Ahli Bupati Tambrauw. Di rumahnya, Sepus aktif bercocok tanam dan beternak. Berbagai macam pohon buah mulai dari pisang, rambutan, sampai durian dia tanam di kebunnya.

“Hanya saja kalau memanjat pohon sekarang sudah nggak bisa, tapi dulu waktu kecil tentu saja bisa,” katanya diikuti tertawa kecil.

Meski begitu, dalam beberapa konteks Sepus mengakui adanya perbedaan antara dirinya dengan masyarakat asli Papua yang belum tersentuh pendidikan modern seperti dirinya. Perbedaan itu terutama terletak pada sikap hidup dan cara berpikir.

“Sikap hidup itu harus berubah. Kemudian bagaimana berpikir secara sistematis. Menyelesaikan masalah,” kata Sepus.

Stigma Buruk Papua

Sepus Marten mengamini bahwa stigma buruk tentang Papua masih sangat kuat berkembang di tengah masyarakat non Papua, sampai sekarang. Misalnya, stigma soal terbelakangnya pendidikan di Papua atau kebiasaan-kebiasaan buruk yang kerap distempelkan kepada masyarakat Papua seperti suka mabuk, suka main perempuan, dan dekat dengan kekerasan. Stigma itulah yang ingin dibongkar oleh Sepus.

“Ada filosofi kalau orang lain tidak mau berubah, biarkan kita yang berubah lebih awal to? Sehingga itu akan menjadi teladan untuk mereka,” kata Sepus.

Menurut Sepus masyarakat Papua tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas stigma negatif itu. Ada dua faktor utama yang menyebabkan munculnya stigma itu terhadap Papua; kurangnya kesempatan yang diberikan negara kepada masyarakat Papua dan perilaku birokrasi yang kurang berpihak pada mereka.

Soal kesempatan, masyarakat Papua harus diberikan kesempatan lebih besar terutama dalam memperoleh pendidikan yang layak. Sepus yakin, masyarakat Papua bisa membuktikan kemampuan mereka yang sebenarnya jika negara memberikan kesempatan itu.

“Saya bisa buktikan, saya salah satu anak orang asli Papua yang bisa menyelesaikan S3 di UGM dan saya bisa cumlaude. Itu cuma faktor kesempatan. Kami kurang dikasih kesempatan oleh negara,” kata Sepus.

Kemudian masalah kedua terletak pada tataran sistem birokrasi di Papua. Di sana, banyak kebijakan-kebijakan yang tidak memperhatikan dan tidak berpihak kepada masyarakat Papua. Hal inilah yang semakin membuat perkembangan pendidikan di Papua menjadi sangat lambat.

“Kalau dikasih kesempatan, orang Papua pasti bisa,” tegas Sepus.

Sepus punya tekad, dua tahun lagi dia harus bisa meraih gelar profesor atau guru besar. Sebab, menurutnya itu menjadi tanggung jawab moril yang harus dia lakukan agar dapat mengembangkan sains demi kesejahteraan rakyat Papua. (Widi Erha Pradana / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *