Pada hari ini Rabu (11/12), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim memastikan bahwa Ujian Nasional (UN) tahun 2020 akan menjadi UN terakhir dan penyelenggaraan UN tahun 2021 akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
“Terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerik), dan penguatan pendidikan karakter,” jelas Nadiem saat bertemu kepala Dinas Pendidikan dari seluruh Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (11/12).
Asesmen Kompetensi Minimum yang akan diterapkan oleh Menteri Nadiem sebenarnya mirip dengan Program Penilaian Pelajar Internasional atau Program for International Student Assessment, (PISA). Di mana skor PISA pelajar Indonesia pada tahun ini justru mengalami penurunan.
Organisation for Economic Co-peration and Development (OECD) yang baru saja merilis hasil PISA pada awal Desember lalu menunjukkan penurunan peringkat Indonesia di tiga bidang yang dinilai, matematika, sains, dan kemampuan membaca.
Tak hanya mengalami penurunan dari hasil sebelumnya, hasil yang diraih tahun ini juga menunjukkan kemampuan matematika, sains, dan membaca siswa kita berada jauh di bawah rata-rata siswa dari negara peserta OECD lain.
Skor matematika Indonesia hanya 379, sementara skor rata-rata negara peserta OECD sudah mencapai 489. Untuk sains, Indonesia mendapatkan skor 396, sedangkan rata-rata sudah mencapai skor 489. Skor membaca siswa kita juga tak lebih baik, hanya di angka 371, jauh di bawah rata-rata OECD yang mencapai 487. Padahal kerap kali kita mendengar siswa-siswa kita menjuarai olimpiade sains maupun matematika di tingkat internasional.
“Saya enggak kaget sih mas. Karena saya memang sering berkunjung memberi pelatihan di beberapa kota di Indonesia,” ujar Dosen Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Sanata Dharama (USD) Yogyakarta, Hongki Julie, Senin (9/12).
PISA itu Mengukur Kemampuan Apa?

Kenapa pengukuran PISA penting bahkan dipakai oleh Mendikbud Nadiem Makariem sebagai tolak ukur utama dalam sistem pembelajaran nasional?
Hongki menjelaskan, ada tiga aspek yang dinilai dalam PISA, yakni literasi membaca, literasi sains, dan literasi matematika. Literasi di sini bermakna kemampuan seseorang untuk mengaplikasikan apa yang dia peroleh di dalam kehidupan nyata.
“Bagaimana sebenarnya seseorang itu bisa mengaplikasikan ilmunya untuk menyelesaikan problem, itu pentingnya literasi,” kata Hongki.
Dalam konteks belajar matematika misalnya, literasi ini bermakna bagaimana matematika bisa digunakan atau diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Contoh sederhananya ada sebuah data tentang jumlah pengunjung di suatu perpustakaan dalam waktu satu bulan. Bagi pengelola perpustakaan, data ini menjadi penting untuk menentukan berapa jumlah pegawai yang paling efisien untuk dipekerjakan.
“Misalkan di hari Senin sampai Jumat, itu bagaimana data pengunjungnya? Sehingga ketika perpustakaan tidak punya tenaga tetap, dengan data itu dia bisa memprediksi pada hari mana dan jam-jam jumlah pengunjung itu padat. Sehingga dia bisa menentukan secara efisien berapa dia harus mengontrak pekerja yang dibutuhkan,” papar Hongki.
Dari kasus itu, seorang siswa tidak hanya menerima informasi saja, melainkan juga harus bisa menganalisis sehingga mendapat masukan sebagai bahan pengambilan keputusan dengan informasi tersebut.
PISA Matematika

Dosen matematika Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Ariyadi Wijaya mengatakan kemampuan literasi matematika yang dinilai dalam PISA meliputi tiga aspek. Pertama formulate, artinya bisa membuat model dan menemukan rumus matematika ketika menemui fenomena sehari-hari. Kedua, employe, yakni bisa menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, interpret, artinya bisa menafsirkan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
“Simpelnya bisa menggunakan dan menemukan matematika dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Ariyadi, Jumat (6/12).
Ariyadi menjelaskan bahwa soal-soal PISA berbentuk soal cerita. Misalnya ketika orang mau ke luar negeri dan harus menukar mata uang yang dia miliki dengan mata uang negara tujuannya. Dalam konteks itu, siswa harus paham kapan dia menggunakan konsep perkalian, pembagian, penjumlahan, atau pengurangan.
“Dari sisi soalnya itu tidak ada petunjuk itu perkalian atau penjumlahan, tapi anak yang harus bisa menemukan dan menafsirkan sendiri, oh ini perkalian, ini pembagian,” kata Ariyadi.

Pada 2012, Ariyadi sempat melakukan pengujian terhadap siswa dari 11 SMP dan SMK di DIY menggunakan soal-soal PISA. Ada beberapa kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh siswa-siswa tersebut. Pertama, ketika mereka dihadapkan pada soal cerita, siswa-siswa itu tidak tahu rumus apa yang harus digunakan.
“Yang kedua, mereka cenderung menghitung semua bilangan yang muncul di soal. Padahal faktanya, dalam dunia nyata kita kan harus memilah, oh informasi itu nggak penting, nggak usah dipakai. Dan soal PISA kayak gitu, kadang ada bilangan yang nggak dipakai sebenarnya,” ujar Ariyadi.
Informasi-informasi yang tidak dipakai itu bukan bermaksud untuk menjebak siswa, melainkan untuk menggambarkan konteks dunia nyata secara alami. Sehingga kadang ada ukuran-ukuran bilangan yang muncul dalam soal padahal sebenarnya tidak dipakai dalam penyelesaian masalah.
Kesiapan Guru

Tiga tahun melakukan penelitian tentang cara mengajar guru, Hongki menemukan adanya pola pembelajaran yang belum optimal. Pertama, guru memberikan penjelasan terkait sebuah teori. Siswa kemudian diberikan contoh bagaimana menyelesaikan sebuah soal. Setelah itu, baru siswa diberikan pelatihan soal, pola itu dilakukan berulang kali.
Sayangnya pola pembelajaran seperti itu tidak cukup untuk menyelesaikan soal-soal PISA. Karena apa yang diajarkan oleh guru, di PISA baru mencakup level satu sampai dua. Padahal soal PISA, khususnya matematika terdiri atas enam level.
“Level satu ini soal-soal semua informasi itu ada. Pertanyaan level satu misalnya seperti tadi, ada data pengunjung perpustakaan selama satu minggu. Maka pertanyaannya yang sederhana adalah di hari apakah pengunjung paling banyak,” jelas Hongki.
Siswa kita masih sangat jarang diajari bagaimana menyelesaikan soal-soal level enam. Contoh pertanyaan level enam dengan konteks yang sama misalnya siswa diminta melakukan estimasi berapa jumlah pengunjung perpustakaan di hari Senin yang akan datang melihat data satu minggu sebelumnya.
“Jadi dia harus melihat pola turun-naiknya pengunjung dan sebagainya untuk melakukan estimasi. Nah itu yang hampir tidak pernah dilatihkan di guru-guru matematika kita. Jadi Bagaimana matematika itu bisa diimplikasikan untuk menyelesaikan problem,” lanjut Hongki.
Dari studi Hongki terkait kesiapan guru-guru matematika dalam menerapkan pengajaran sesuai PISA, menurutnya, guru-guru matematika sebenarnya bisa menyelesaikan soal-soal PISA. Hanya saja kemampuan itu tidak bisa mereka implikasikan dalam proses pembelajaran. Kendalanya terletak pada paradigma guru terhadap proses pembelajaran matematika yang hanya sebatas menjelaskan, memberikan pelatihan, dan mengerjakan soal.
“Padahal PISA tidak mengukur seperti itu. PISA itu mengukur bagaimana sih pengetahuan matematika itu bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah. Dari masalah yang paling sederhana sampai masalah yang kompleks,” ujar Hongki.
Paradigma pembelajaran guru menurut Hongki perlu diubah, terutama terkait kepercayaan seorang guru untuk menghantarkan sebuah materi belajar. Guru tak cukup mengajarkan materi sekadar menjelaskan materi dan mengerjakan soal. Menurutnya, guru harus percaya bahwa anak didik mampu melakukan dan mengkonstruksi sesuatu.
“Maka believe itu yang harus dibangun dulu. Ketika believe itu belum terbangun, maka proses yang terjadi tidak akan sampai ke sana,” lanjutnya.
Guru juga harus bisa memerdekakan porses berpikir anak, tidak membatasinya dengan sekat-sekat. Guru tak cukup hanya memberikan contoh bagaimana menyelesaikan soal-soal matematika dan yang lainnya. Siswa menurut Hongki perlu diberi sebuah tantangan untuk menyelesaikan permasalahan dan memberikan kebebasan kepada anak untuk proses penyelesaiannya.
Jadi, guru memberikan masalah-masalah kepada siswa yang solusinya bersifat terbuka dan variatif. Sebab, penyelesaian masalah saja menurut Hongki tidak cukup, karena masih banyak guru yang membatasi siswa dalam proses penyelesaian masalah.
“Pembelajaran seperti itu yang hampir tidak pernah dijalani oleh guru di tempat kita,” katanya.
Literasi Membaca

Untuk bidang literasi membaca, pelajaran yang ada dalam kelas kita juga belum sampai pada level yang diinginkan PISA. Pelajaran membaca di Indonesia selama ini baru mempertanyakan sesuatu yang bersifat informatif, meliputi apa, siapa, kapan, dan di mana. Sementara pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa dan bagaimana masih sangat jarang diajarkan.
“Padahal pertanyaan di PISA itu banyak yang menanyakan why dan how. Jadi ada bacaan, dari bacaan itu mereka harus membuat kesimpulan, ini kenapa sih terjadi, bagaimana sih terjadi,” kata Hongki.
Dalam pembelajaran sains pun tidak jauh berbeda. Misalnya ada sebuah gejala alam, pertanyaan yang banyak diajukan kepada siswa baru sekadar apa, siapa, di mana, dan kapan. Hongki bercerita pengalamannya beberapa bulan lalu ketika mengadakan sebuah workshop dengan guru-guru IPA dan matematika SMP.
Dalam workshop itu, dia memberikan tantangan kepada guru-guru tersebut dengan menyediakan beberapa perlengkapan seperti stik es krim, kapas, kawat, plastik, dan peralatan lainnya. Mereka diminta membayangkan berada dalam situasi bencana di daerah tertentu dan harus mengirimkan makanan berupa telur. Tugas mereka bagaimana melakukan suplai makanan itu agar tepat sasaran dan tidak hancur ketika dijatuhkan dari pesawat.
“Ketika mereka mengerjakan projek ini mereka lebih menggunakan metode trial and error, tidak menggunakan toeri-teori matematika fisika dan matematika yang mereka pelajari, padahal itu sangat kental. Padahal latar belakang mereka kan sains,” jelas Hongki.
Dari cara guru menyelesaikan projek tersebut, dapat dibayangkan bagaimana mereka mentransfer pengetahuan di dalam kelas. Mereka saja kesulitan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan, bagaimana mereka mengemas suatu masalah dan memberikan jalan kepada siswanya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Ini kenapa? Karena mereka belajar metematika, fisika, dan IPA itu seakan-akan terpisah dari kehidupan, masih abstrak. Sehingga ketika orang belajar itu ya sudah hanya yakin kalau itu teorinya begitu. Tapi sebenarnya teori itu kan dibentuk dari fenomena alam,” lanjutnya.
Padahal ketika berbicara sains, semua konsep menurut Hongki berasal dari alam. Maka tugas guru sains sebenarnya harus lebih banyak menghadirkan fenomena alam untuk dieksplorasi sehingga wawasannya dimerdekakan, dari situlah baru terbentuk suatu konsep.
Unsur Politis dalam Sampling PISA
Hongki mengatakan ada unsur politis dalam pengambilan sampel untuk PISA. Menurutnya, Indonesia sebenarnya punya hak untuk mengajukan sampel untuk diuji kepada OECD, namun yang terjadi selama ini pengambilan sampel dilakukan secara acak. Padahal, ada disparitas kompetensi antara siswa di sebuah daerah dengan daerah lainnya.
Meski ada siswa yang tingkat kompetensinya tinggi, namun di sisi lain tak sedikit juga siswa yang kompetensinya jauh di bawah. Ini yang menurut Hongki membuat skor PISA kita sulit mengalami kenaikan.
“Tetapi akan beda ketika kita secara politis menentukan, oke kita akan ikut (uji PISA) tapi kamu harus ngambil sampel di sini, di sini, dan di sini, dan kita memang menyiapkan untuk itu. Itu kan kebijakan politis, ini kan sebenarnya martabat bangsa, ketika berbicara martabat bangsa kenapa kita tidak mengambil langkah politis juga. Kita kan tidak pernah mempersiapkan itu (PISA) seperti kita mempersiapkan UN (ujian nasional),” jelasnya.
Ariyadi juga mengatakan skor PISA belum dapat merepresentasikan kemampuan siswa di seluruh Indonesia. Sebab, meski Indonesia berhak mengajukan sampel namun pada akhirnya OECD yang menentukan sampel tersebut.
“Menurut saya itu tidak merepresentasikan Indonesia, bahwa itu adalah perwakilan Indonesia itu iya. Tapi kalau mewakili kemampuan seluruh siswa Indonesia itu tidak,” tegas Ariyadi.
Menurut Hongki, kesenjangan pendidikan menjadi faktor penting penyebab buruknya peringkat Indonesia di PISA. Dia mencontohkan bagaimana kondisi pendidikan di Mappi, sebuah kabupaten di Provinsi Papua yang sedang dia teliti. Di sana, guru bisa konsisten saja dengan siswanya ternyata menjadi hal mahal sebab tak bisa setiap hari mereka bisa melakukan tatap muka di dalam kelas.
“Karena gurunya memang untuk hadir di sekolah perjuangannya luar biasa. Untuk bisa sampai dari rumah ke sekolah itu perjalanan yang harus mereka tempuh juga luar biasa. Dengan kondisi seperti ini, jangankan membayangkan mereka mampu mengerjakan soal PISA ya, bisa hadir di dalam kelas tepat waktu sesuai jadwal itu juga masih menjadi impian. Kesenjangan guru di Jawa, Sumatera, Flores, dan Papua, sangat lah tajam,” papar Hongki.
Apa Pentingnya PISA?

PISA menurut Hongki dapat dijadikan sebagai tolok ukur kesiapan siswa kita dalam menghadapi tantangan di abad 21 ini. Sebab, ketika siswa mampu mengerjakan soal di level lima dan enam, maka kompetensinya sudah mendekati apa yang diharapkan untuk bisa survive. Dari skor PISA, kita mendapat potret sejauh mana siswa kita siap menghadapi kehidupan di abad 21, mengaplikasikan apa yang mereka pelajadi di sekolah agar bisa bertahan hidup di abad 21.
“Ketika ini (skor PISA) masih rendah kan kita bisa membayangkan bagaimana siswa kita akan survive. Jadi artinya sekolah belum men-support siswa kita untuk bisa survive. Adapun beberapa siswa yang bisa survive menurut saya itu bukan karena sekolah, mungkin karena lingkungan atau keluarga yang mendukung,” kata Hongki.
Sementara Ariyadi mengatakan PISA bukanlah segalanya, melainkan hanya salah satu tolok ukur. Kendati demikian, PISA tetap memiliki peran penting agar siswa bisa memahami bahwa matematika bukan hanya hitung-hitungan semata melainkan banyak juga terdapat dalam kehidupan sehari-hari.
“Sehingga ketika nilai PISA belum memuaskan, itu artinya anak belum sepenuhnya paham matematika di sekitar dia. Mereka mungkin ketika ditanya rumus hafal, tapi digunakan untuk apa di kehidupan, itu yang belum dapat. Ini yang sayang ketika anak menguasai konsep tapi tidak tahu bagaimana menggunakannya,” kata Ariyadi.
Bagaimanapun skor PISA yang diperoleh, menurut Ariyadi hal itu harus dijadikan sebagai modal untuk refleksi dan evaluasi bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran tanpa bermaksud menjadikan PISA sebagai satu-satunya kiblat. (Widi Erha Pradana / YK-1)