Perundungan Ferdian Paleka di Penjara, Pandangan Keadilan Soe Tjen Marching

Perundungan Ferdian Paleka di Penjara Pandangan Keadilan Soe Tjen Marching

Pada hari Sabtu 2 Mei lalu, Ferdian Paleka menipu sejumlah waria di Bandung, dengan memberi mereka bingkisan makanan yang ternyata berisi sampah. Dengan pongahnya, Ferdian berkata bahwa niatnya adalah memberi pelajaran kepada para waria tersebut. Hal ini menimbulkan amarah banyak netizen, yang terus terang, membuat saya lega.

Hak-hak LGBT di Indonesia masih tersingkirkan dan masih banyak stigma yang menyebar tentang mereka. Pembelaan para netizen terhadap para waria yang ditipu oleh Ferdian itu, bagi saya, menandakan keberpihakan mereka terhadap kelompok yang selama ini telah disudutkan.

Sebelum kasus Ferdian, ada peristiwa yang jauh lebih mengerikan: pembakaran seorang waria bernama Mira, hingga ia meninggal di rumah sakit. Namun kasus ini lenyap begitu saja. Tidak ada kabar lagi apa yang terjadi kepada pelakunya setelah polisi menerima alasan bahwa pembakaran tersebut tidak disengaja.

Sedangkan kisah Ferdian kemudian mengalami perubahan yang tak terduga: ia di-bully di penjara oleh napi lainnya. Bahkan sempat ada napi yang memukulnya dari belakang. Banyak netizen merayakan perundungan ini dan menyatakan bahwa kejadian ini patut dialami oleh Ferdian, atas apa yang sudah dilakukannya terhadap para waria tersebut.

Justru kelompok aktivis waria Jawa Barat, Srikandi Pasundan, yang mengecam tindakan pembullyan yang terjadi pada Ferdian. Abel, salah seorang anggota Srikandi Pasundan menyayangkan kejadian tersebut dan seperti dikutip oleh Detik menyatakan bagaimana mereka ikut prihatin dan mengharap tidak ada lagi perlakuan semena-mena terhadap Ferdian.

Penindasan dari Siapapun kepada Siapapun

soe tjen marching memberi pandangan kasus ferdian paleka
Soe Tjen Marching. Foto : dokumen Bhinneka

Posisi saya dalam hal ini sangat jelas. Saya akan selalu mendukung kesetaraan hak untuk LGBT. Namun, kenapa saya juga mengecam kekerasan yang terjadi terhadap Ferdian Paleka? Karena yang seharusnya kita tentang adalah penindasan & kekerasan HAM, dari siapapun dan kepada siapapun. Tanpa kecuali. Bahkan kepada Ferdian Paleka sekalipun. Sudahkah adil hukuman dan perlakuan terhadap Ferdian? Jangan sampai kita mengritik kekerasan HAM dengan menunjang kekerasan HAM lainnya.

Apakah saat kita mengecam suatu perbuatan atau seseorang, kita sedang membela HAM yang tertindas atau sekadar ikut gegap-gempita netizen, saling mendukung dan menimpali untuk merasa bahwa kita di pihak yang benar dan karena itu kuat dan mempunyai kekuasaan untuk memaki? Ketika kita mendapat banyak dukungan, tentu ini membuat kita merasa nyaman. Kita tidak perlu lagi membela diri, kita merasa mendapat kawan, kita bisa lebih bebas menyatakan apa saja tanpa dimaki. Tapi tantangan kita yang sebenarnya bukanlah mengeroyok orang yang sudah dikecam apalagi yang sudah dicaci-maki.

Para pejuang HAM seringkali memulai perlawanan tidak dengan mendapat pujian namun cacian, bully-an bahkan hukuman. Pernahkah kita mendengar bagaimana Nelson Mandela dituduh sebagai teroris dan dipenjara bertahun-tahun lamanya sebelum ia memenangkan penghargaan Nobel? Proklamator kita, Soekarno, juga sempat dikecam oleh berbagai pihak dan dibuang ke Ende. Bagaimana dengan Dede Oetomo, yang kenyang menerima kecaman juga, hanya karena memperjuangkan hak-hak LGBT?

Namun kisah-kisah kelompok yang tertindas dan kemudian menjadi penindas juga banyak ditemukan dalam sejarah. Para orang Kristen, misalnya, sempat ditindas pada zaman Romawi kuno, oleh Kaisar Nero. Mereka dikejar-kejar, bahkan diumpankan kepada singa untuk pertunjukan di Koloseum Roma. Sebaliknya, ketika orang-orang Kristen berjaya, mereka ganti mengejar-ngejar para Pagan.

Bahaya Dendam

Bukanlah kisah baru bagaimana pejuang kemerdekaan di sebuah negara, kemudian menjadi diktator dan koruptor dalam negaranya. Berapa banyaknya mereka yang dianggap Pahlawan kemudian menjadi kroni-kroni dalam korupsi Orde Baru di Indonesia? Kemungkinan karena mereka merasa setelah berada di atas angin, mereka bisa meniru tingkah penjajahnya. Kekuasaan penjajah itulah yang menjadi target mereka, dan ketika mereka “menang”, yang terjadi bukanlah keadilan tapi sekadar pembalikan kedudukan: yang terjajah berganti mejadi yang menjajah.

Inilah bahayanya saat kita merayakan hukuman pada seseorang hanya atas motif balas dendam, tanpa disadari kita telah mengambil alih peran penindas. Karenanya, ketika kita merasa berada di atas angin dan mendapat banyak dukungan, justru saat itulah kita harus “diam”, merenung dan bertanya kepada diri sendiri: “Sudahkah kita adil? Atau sekadar ikut arus dan mayoritas?” Sekadar ikut arus itu, gampang dan seringkali bikin nyaman.

Tetapi mempertahankan kebenaran dan keadilan itu seringkali butuh perjuangan, dan kita juga harus menghadapi banyak tantangan. Karena itu pula, saat kita dimaki hanya karena pendapat kita yang berbeda, saat itulah kita tak boleh mundur bila ada bukti-bukti yang kuat atas pendapat kita. Hanya dengan demikian, kita bisa menjadi manusia yang lebih adil dalam pikiran, bukan sekadar membebek masyarakat.

(Soe Tjen Marching, dosen senior di departemen Languages, Culture and Linguistics, SOAS University of London.)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *