Ketika jutaan atau mungkin miliaran manusia sedang menyendiri dan menghindari kontak sosial untuk mencegah tertular COVID-19, para peneliti mengusulkan sebuah pendekatan yang mencengangkan untuk mengakhiri pandemi ini. Usulan itu adalah menginfeksi beberapa sukarelawan sehat dengan virus SARS-CoV-2 supaya proses pengujian vaksin bisa lebih cepat.
Banyak ilmuwan yang yakin vaksin merupakan satu-satunya solusi untuk menhentikan pandemi. Sebenarnya sudah ada satu kandidat vaksin yang sudah mulai dilakukan uji klinis, namun perjalanan masih panjang. Calon vaksin itu harus diujikan ke ribuan hingga puluhan ribu orang sebelum bisa digunakan secara luas.
Dilaporkan oleh Nature, para peneliti mengatakan pilihan alternatif untuk mempercepat penemuan vaksin adalah dengan melakukan studi “tantangan manusia”. Metode ini akan melibatkan sekitar 100 orang muda yang masih sehat untuk divaksin dan diberi virus. Setelah itu baru dilihat, apakah mereka yang telah mendapatkan vaksin bisa benar-benar lolos dari infeksi virus.
Nir Eyal, Direktur Center for Population-Level Bioethics di Rutgers University di New Brunswick, New Jersey, mengatakan daya tarik utama penelitian ini adalah karena dapat sangat mempercepat waktu untuk persetujuan dan potensi penggunaan.
Tahap yang paling banyak memakan waktu dalam pengujian faksin adalah pengujian efikasi fase III, sebab harus dilakukan pada banyak orang. Sebagian dari mereka akan mendapatkan vaksin, dan sebagian lainnya akan mendapatkan plasebo atau calon vaksin yang bersaing.
“Para peneliti kemudian mencari perbedaan antara kedua kelompok ini dalam tingkat infeksi,” ujar Nir Eyal dalam Nature.
Namun dalam situasi pandemi seperti sekarang, orang-orang akan sangat berhati-hati, dan itu akan memakan waktu yang lebih lama lagi sampai didapatkan hasil yang bisa disimpulkan. Sebagai gantinya, semua sampel penelitian (dalam hal ini termasuk manusia sebagai sampel) perlu dipaparkan dengan pathogen. Dengan begitu, tidak hanya membutuhkan relawan yang lebih sedikit, tapi juga memakan waktu yang jauh lebih singkat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
Eyal mengatakan, dia sering melakukan studi dengan model “tantangan manusia” untuk penyakit-penyakit yang tidak mematikan. Misalnya untuk influenza, tipus, kolera, serta malaria. Memang ada beberapa preseden historis untuk paparan virus yang sangat mematikan. “Hal yang membatasi desain yang kami usulkan dari beberapa contoh sejarah ini adalah bahwa kami merasa ada cara untuk membuat uji coba ini secara aman,” ujarnya.
Bagaimana Agar Pengujian Aman?

Eyal menjelaskan bagaimana supaya proses pengujian vaksin ini berjalan aman. Pertama, yang harus dilakukan adalah memastikan beberapa pengujian pendahuluan berhasil, dan memastikan bahwa kandidat vaksin atau plasebo aman serta dapat mencapai respons imun pada manusia.
Setelah itu, mereka baru akan mengumpulkan sampel yang berisiko rendah dari paparan apapun, yakni anak-anak muda dan relatif sehat serta memastikan bahwa mereka belum terinfeksi virus.
“Kemudian kita memberi mereka kandidat vaksin atau plasebo dan menunggu waktu yang cukup untuk respons imun. Dan kemudian kita memaparkan mereka pada virus,” ujar Eyal.
Setelah dipaparkan pada virus, semua sampel akan diikuti dan dimonitor dengan sangat cermat untuk menangkap tanda-tanda infeksi sedini mungkin. Setelah itu, akan diperiksa apakah kelompok yang menerima vaksin lebih baik ketimbang kelompok yang menerima plasebo.
“Itu mungkin dalam hal tingkat virus, waktu sampai gejala muncul atau apakah mereka terinfeksi atau tidak,” lanjutnya.
Untuk mengurangi risiko bahaya, maka sampel yang diambil adalah yang sehat dan relatif muda, yakni usia antara 20 sampai 45 tahun. Mereka juga akan diperiksa setiap hari untuk memantau keadaannya, dan akan segera diberikan perawatan ekstra jika terdeteksi telah terinfeksi firus.
Eyal juga sudah menyarankan dokter menyiapkan lebih banyak perawatan kritis untuk kemungkinan lonjakan kasus. Pasalnya, berkaca pada Italia dan sejumlah negara lain, bahwa akan ada kekurangan sumber daya untuk perawatan kritis. Dan jika relawan yang direkrut membutuhkan perawatan intensif, maka harus dipastikan mereka mendapatkannya.
Apakah Metode Ini Etis?

Eyal mengatakan metode pengujian vaksin semacam ini tetap etis. Pasalnya, relawan tetap memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan yang rasional dan akan menandatangani informed consent. Dia juga melihat banyak orang yang rela mengambil risiko, bahkan mengorbankan dirinya untuk sesuatu yang lebih besar.
“Dan, seperti yang saya katakan, meskipun penelitian ini memiliki risiko, (tapi) itu juga menghilangkan risiko,” ujar Eyal.
Selama ini, kita juga sebenarnya telah membiarkan banyak orang secara sukarela melakukan hal-hal yang berisiko. Dalam konteks pandemi ini misalnya membiarkan para tenaga medis bekerja dan terpapar virus dalam jangka waktu yang lama. Dan itu secara signifikan telah meningkatkan risiko dia untuk terinfeksi.
Dalam uji klinis secara umum, fokus utamanya tidak hanya pengurangan risiko pada peserta, tapi juga bagaimana mencapai keseimbangan yang wajar antara risiko tambahan yang mereka ambil dan apa urgensinya untuk masyarakat luas. Dan misi pengujian vaksin ini adalah hal yang sangat penting untuk menyelamatkan peradaban manusia.
“Dalam hal ini, vaksin bisa menjadi satu-satunya jalan keluar dari ikatan antara stagnasi ekonomi dan kematian yang meluas di masyarakat kita,” lanjutnya.
Tapi bagaimanapun pengujian ini harus dilakukan secara etis dan dengan informasi serta persetujuan penuh dari peserta. Tidak masalah jika studi ini memberikan insentif kepada para relawan. Namun menurut Eyal, jika memang akan diberikan insentif, maka nominalnya tidak terlalu tinggi.
“Ini untuk memastikan bahwa studi ini tidak memangsa orang miskin,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)