Reni Indah Budi Setya Ningrum, 32 tahun, menceritakan betapa rumitnya proses pendaftaran seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang dia lalui sebagai penyandang disabilitas. Tahun ini adalah tahun pertamanya dia mendaftar CPNS.
Berbekal Ijazah S1 Pendidikan Matematika Universitas Ahmad Dahlan, Reni mulai mencari formasi guru matematika di tiap kabupaten di wilayah Yogyakarta. Sayangnya, di kabupaten di DIY, tidak ada formasi khusus disabilitas yang tersedia untuk guru jurusan Pendidikan Matematika.
“(Namun) Saya melihat beberapa formasi khusus disabilitas itu yang dibuka malah jalur PGSD, sebagian besar PGSD. Dan itu banyak sekali. Saya enggak tahu bener apa enggak sih disabilitas ada yang kuliah di PGSD?” kata Reni, Rabu (20/11).
Akhirnya Reni memilih mendaftar di Bantul, ada dua formasi guru untuk jurusan Pendidikan Matematika di sana. Namun, formasi itu bukan formasi khusus, melainkan formasi umum. Reni mulai mempersiapkan segala berkas yang diperlukan mulai dari legalisir ijazah, KTP, akta kelahiran, dan berbagai berkas lainnya.
Sebagai penyandang tunadaksa, Reni juga harus mengurus surat keterangan disabilitas ke rumah sakit. Pukul 06.00 pagi, Reni pergi ke RSUD Kota Yogyakarta untuk mengurus surat keterangan disabilitas.
“Dan di situ sudah ricuh segala macam karena sudah full kuota, tetapi saya tunggu mereka reda akhirnya saya langsung mendatangi petugas,” lanjut Reni.
Di sana sudah ada dua penyandang disabilitas lain yang juga akan mengurus surat keterangan disabilitas untuk mendaftar CPNS. Beruntung, setelah menemui petugasnya langsung, Reni dan dua orang lain mendapat pelayanan khusus sehingga tidak harus mengantre panjang dengan orang-orang lain di jalur umum.
Rumah Sakit Tak Tahu Surat Keterangan Disabilitas

Malam sebelumnya, Reni menghubungi RSUD Prambanan melalui sambungan telepon untuk menanyakan soal surat keterangan disabilitas. Namun pihak rumah sakit ternyata tidak tahu menahu soal surat keterangan disabilitas sebagai salah satu syarat penyandang disabilitas mendaftar CPNS.
“Kok kayak nggak nge-link antara panitia CPNS dengan pihak rumah sakit, bahkan mereka sendiri nggak tahu surat keterangan disabilitas itu seperti apa,” ujar Reni.
Reni mendapat informasi kalau di RSUD Kota Yogyakarta bisa mengurus surat keterangan disabilitas. Tapi permasalahan belum selesai, meski mendapat pelayanan khusus namun saat dilihat ada poin yang belum diisi di surat keterangan disabilitasnya. Ada poin yang belum diisi, yakni kolom derajat disabilitas.
Namun setelah Reni menanyakan alasan tidak diisinya kolom derajad disabilitas itu, dokter yang melayaninya justru bertanya balik.
“Derajad disabilitas itu yang bagaimana ya mbak?” kata Reni mengulangi pertanyaan dokter.
Reni semakin bingung. Akhirnya dokter tadi menawarkan untuk mengisi derajad disabilitas dengan level sedang.
“Tidak ada dasar ketika mereka menentukan mau ringan, sedang, tinggi,” kata Reni.
Terjadi diskusi cukup panjang antara Reni dengan dokter. Reni menyarankan supaya mencari cara atau indikator menentukan derajad disabilitas melalui internet. Titik terang mulai terlihat ketika mereka menemukan indikator derajad kecacatan yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan.
“Jadi ternyata ilmu itu (derajad disabilitas) belum ada di dokter sendiri,” lanjut Reni.
Teman Reni yang menyandang tunanetra harus berjuang lebih banyak lagi. Pasalnya, pihak rumah sakit belum bisa mengeluarkan surat keterangan disabilitas sebelum penyandang tunanetra melakukan pemeriksaan ke poli mata.
Proses Panjang yang Sia-sia

Proses panjang Reni mengurus surat keterangan disabilitas baru selesai menjelang dzuhur. Dengan badan yang lelah Reni pulang untuk melakukan proses berikutnya, pendaftaran online. Reni sudah membuat akun di Sistem Seleksi CPNS Nasional, proses selanjutnya juga sudah dia lalui sampai proses pengunggahan swafoto, mengisi biodata, hingga pemilihan formasi.
Reni memilih formasi sebagai guru matematika di SMP Negeri 2 Imogiri. Sistem kemudian meminta Reni untuk mengisi jenis disabilitas, dia memilih disabilitas non-tunanetra. Namun apa yang terjadi? Setelah Reni meng-klik proses selanjutnya, sistem langsung ditolak.
“Formasi yang anda lamar hanya menerima pelamar dari non-disabilitas. Di situ saya sungguh sakit hati, kami (penyandang) disabilitas belum (melewati proses ujian) apa-apa sudah ditolak di awal,” ujar Reni menceritakan perasaannya.
Padahal Reni sudah sangat lelah memenuhi segala persyaratan yang diperlukan. Namun dokumen itu ternyata tidak berguna, karena baru mengisi formasi dia sudah ditolak. Reni merasa proses seleksi CPNS yang ada tidak adil untuk para penyandang disabilitas.
“Kalau kami sudah verifikasi administrasi dan ternyata kami kekurangan dokumen yang belum kami lampirkan itu fair, tapi ini baru mau unggah dokumen lho tidak bisa. Kami baru mau memilih formasi sesuai pendidikan kami pun sudah ditolak, nah gimana mau ke proses selanjutnya?” lanjutnya.
Diskriminasi Penyandang Disabilitas dalam Pendaftaran CPNS
Komisioner Pemantauan dan Layanan Pengaduan Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas DIY, Winarta mengatakan memang masih banyak penyandang disabilitas yang kebingungan menyikapi pendaftaran CPNS tahun ini karena adanya syarat-syarat yang membatasi penyandang disabilitas.
Menurut Winarta, pihaknya sebenarnya sudah berkomunikasi dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi maupun kabupaten kota untuk membahas persoalan itu. Berdasarkan informasi awal, menurutnya sudah ada komitmen dari beberapa kabupaten dan kota untuk menyediakan formasi khusus untuk penyandang disabilitas.
“Tapi masih dibatasi untuk disabilitas fisik, yang sebenarnya kalau sesuai dengan UU No 8 tahun 2016 itu bertentangan, karena semua ragam disabilitas harus diberi kesempatan,” ujar Winarta.
Sementara untuk jalur umum, Kabupaten Bantul dan Kulonprogo masih menutup formasi untuk penyandang disabilitas. Angin segar menurut Winarta hadir ketika diterbitkan Surat Edaran dari Menpan RB terkait jalur umum yang harus bisa dimasuki oleh penyandang disabilitas.
Sayangnya penyandang disabilitas yang mendaftar melalui jalur umum diberlakukan sama dengan pendaftar non-disabilitas. Padahal, dalam UU yang berlaku, penyandang disabilitas harus diberikan fasilitas yang layak.
Ketua Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas DIY, Setia Adi Purwanta mengatakan pemerintah membuat ketetapan yang sebenarnya mereka tidak paham dengan ketetapan itu sendiri. Misalnya pemberlakuan persyaratan yang sama bagi penyandang disabilitas dengan non-disabilitas. Selain itu, pemerintah menurutnya juga tidak memiliki data sebagai landasan untuk menentukan formasi khusus.
“Tiba-tiba saja mereka (pemerintah daerah) membuat formasi khusus. Mereka tidak tahu di daerahnya itu ada difabel ragam diabilitasnya apa, ijazahnya apa, mereka tidak tahu. Tiba-tiba mereka mengatakan bahwa yang bisa dimasuki difabel adalah formasi ini dengan lulusan ini,” kata Setia Adi.
Menurutnya, hal tersebut adalah sesuatu yang irasional atau tidak masuk akal. Setia Adi menyesalkan kebijakan pemerintah yang membuka formasi khusus, alih-alih membuka semua formasi untuk penyandang disabilitas. Baru setelah mendaftar dilihat ragam disabilitasnya apa, ijazahnya apa dan sebagainya sehingga bisa ditentukan tindakan afirmatif yang harus dilakukan seperti apa.
“Karena yang tahu dirinya kan difabelnya sendiri. Bukan sekadar mampu atau tidak, tapi yang paling tahu ijazahnya itu apa itu difabelnya sendiri,” lanjutnya.
Celakanya lagi, instansi yang menerima penyandang disabilitas juga belum memiliki fasilitas yang memadai. Dengan begitu, menurut Setia pada akhirnya penyandang disabilitasnya yang akan menjadi korban.
Persoalan Menahun
Winarta menyesalkan persoalan penyandang disabilitas yang masih terus terjadi dari tahun ke tahun. Terutama kaitannya kesempatan penyandang disabilitas untuk mendaftar seleksi CPNS. Menurutnya seharusnya ada kebijakan afirmatif untuk penyandang disabilitas, misalnya persyaratan, fasiitas, dan waktu yang disesuaikan dengan ragam disabilitas yang ada; alih-alih diperlakukan sama dengan pendaftar non-disabilitas.
Setia Adi mengatakan penyandang disabilitas sebenarnya memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan non-disabilitas. Hanya saja, kebijakan-kebijakan yang berlaku tidak mendukung potensi yang dimiliki penyandang disabilitas.
“Yang membuat orang tidak mampu itu bukan difabelnya, tapi pemerintahnya ini, penguasanya, masyarakatnya, bukan difabelnya. Gimana difabel bisa bekerja ketika sekolah saja dipersulit. Bagaimana dia tidak miskin kalau kerja saja dipersulit,” ujar Setia Adi.
Untuk mengawal terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas dalam proses penerimaan CPNS, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas DIY membuka posko pengaduan. Posko itu dibuka sejak 20 November 2019 sampai proses seleksi CPNS selesai.
“Tahun lalu kami hanya memantau saja. Rupanya ada sejumlah persoalan yang terulang, sehingga kami putuskan untuk buka posko saja. Kami akan advokasi aduan dari penyandang disabilitas ke instansi terkait,” ujar Winarta. (Widi Erha Pradana / YK-1)