“Virus Corona itu seperti bunglon,” kata Lailaturrahmi Ramadhani, mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) asal Bukittinggi, Sumatera Barat, akhir pekan lalu.
Ya, baginya virus baru COVID-19 atau SARS-CoV-2 ini seperti bunglon, bisa berada di tubuh manusia tanpa terlihat, meniru gejala pada flu dan batuk biasa, namun perlahan menyerang tubuh dengan sangat cepat.
“Menelan kita tanpa memberikan kesempatan untuk kita melawannya. Seperti bunglon yang mengincar mangsanya,” lanjut Mimi, panggilan akrabnya.
Meski situasi di Jogja semakin tak menentu, dia memilih untuk bertahan, memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya. Bahkan dia sudah memutuskan Idul Fitri tahun ini akan dia jalani di tanah rantau bersama adiknya yang kini kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Padahal dia sekeluarga sudah merencanakan bagaimana nanti merayakan hari raya. Mimi juga sudah menargetkan akan menyelesaikan studinya Juni ini.
“Tapi ya, semua plan seketika harus dibatalkan,” lanjutnya.
Waldy Setiono, mahasiswa UGM asal Banyumas juga memutuskan untuk tetap tinggal di Jogja selama bulan puasa besok. Bahkan, kemungkinan besar dia memilih merayakan hari raya di Jogja, meski jarak kampung halamannya sebenarnya dapat ditempuh hanya dalam empat jam.
“Aku takut jadi pembawa virus kalau pulang kampung,” ujarnya.
Mukhamad Fairuz Zaman, mahasiswa UNY lainnya juga masih dilema, tetap di Jogja atau pulang ke kampung halamannya di Bekasi saat hari raya besok. Keluarganya meminta dia untuk pulang, tapi di sisi lain dia takut menjadi pembawa virus yang bisa menular ke orang-orang tercintanya.
“Takut lah jelas. Cuman setelah dipikir, ketakutan orang tua terhadap enggak lengkapnya keluarga jauh lebih besar dari ketakutanku terhadap virus,” kata dia.
Gregorius, mahasiswa Institut Teknologi Yogyakarta asal Kalimantan Barat sampai sekarang juga masih bertahan di Jogja meski sudah ada beberapa temannya yang memilih pulang kampung. Sekarang, dia tinggal di asrama mahasiswa Kalbar bersama 11 temannya yang lain.
Lebih dari sepekan ini dia dan teman-temannya memilih untuk mengkarantina diri sendiri di asrama, sebisa mungkin mengurangi aktivitas di luar.
“Kita sebenarnya anjurkan untuk tetap di Jogja, karena takutnya kena potensi penyebaran di perjalanan,” ujar Ego, sapaan akrabnya.
Mengubah Cara Hidup

: ESP
Bagaimanapun, virus yang kini menjadi momok manusia sejagat ternyata memberikan dampak positif, termasuk dalam hidup Mimi. Karena virus ini, Mimi jadi lebih sadar dan peduli dengan kebersihan dirinya dan lingkungan sekitar. Sebelum makan dan memegang sesuatu, dia selalu menyempatkan untuk mencuci tangannya. Di meja kamarnya, antiseptik, tisu basah, tisu kering, dan hand sanitizer merupakan barang yang wajib ada.
Sebelumnya dia tak sepeduli ini. Bahkan sekarang untuk memegang laptop dan ponsel, dia selalu menyempatkan untuk mengelapnya dulu.
“Mau megang uang juga mikir-mikir. Lebih sensitif sama yang kotor sih, ada debu dikit, dibersihin,” lanjut dia.
Urusan kesehatan dia juga jauh lebih peduli, Mimi jadi lebih sering mengonsumsi vitamin, madu, jus, juga buah. Pola hidup Fairuz juga berubah setelah virus ini menjadi sesuatu yang paling banyak dibicarakan orang. Jika sebelumnya selalu tidur menjelang subuh, sekarang Fairuz bisa tidur lebih awal dan bangun lebih pagi.
“Sudah dua minggu, pola hidup jadi lebih sehat. Aku mikir tiga poin penting, sinar matahari, makan, sama air,” ujarnya.
Jika biasanya bangun tengah siang, sekarang paling siang dia bangun jam sembilan pagi. Setelah bangun, dia sempatkan diri untuk berjemur di depan kamar kosnya selama 20 menit, serta tidak lupa makan tiga kali sehari, yang sebelumnya paling dua kali sehari.
Waldy kini juga sudah seminimal mungkin berinteraksi fisik dengan orang banyak. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Akibatnya, pola tidurnya pun agak berubah. Karena tak mau jadi korban COVID-19, dia kini juga lebih peduli dengan kesehatannya.
“Mencuci tangan pakai sabun, menghindari pergi-pergi dan kalaupun pergi menjaga jarak dengan orang lain, berjemur 15 menit jam 10 pagi, kadang sambil beli sayur,” kata Waldy.
Siasat Bertahan Hidup di Tengah Pandemi
Mimi kini sudah benar-benar membatasi aktivitasnya untuk bertemu dengan banyak orang. Warung-warung dekat indekosnya juga sudah mulai banyak yang tutup, sehingga mau tak mau dia lebih sering memasak sendiri untuk makan sehari-hari.
“Sayang sekali sebenarnya warung-warung ini pada tutup. Karena di sana aku bisa dapet makanan banyak dan murah, hehe,” katanya.
Jika ingin variasi makanan lain, biasanya Mimi patungan dengan teman-teman kosnya untuk memesan makanan lewat aplikasi. Dengan patungan, ongkos yang dikeluarkan jadi lebih murah, apalagi saat ada promo.
Dia juga mulai menyimpan stok makanan untuk mengantisipasi situasi yang semakin buruk. Misalnya beras, telur, mi instan, atau sarden.
“Aku masak nasi bareng anak kosan. Itu lumayan mengurangi pengeluaran. Jadi bisa beli lauk yang sedikit lebih enak,” lanjutnya.
Yang dia khawatirkan sekarang justru di bulan puasa nanti. Dia tak yakin warung dekat indekos yang biasa jadi andalan saat sahur tetap buka di tengah situasi seperti sekarang, mengingat banyak mahasiswa rantau yang sudah pulang ke kampung halaman masing-masing. Untuk itu, dia juga sudah mulai menyiapkan stok untuk dipakai di bulan puasa nanti.
Dia sebenarnya bisa juga beli bahan makanan di pasar. Namun di situasi sekarang, tak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Apalagi di pasar banyak orang-orang asing yang bisa jadi membawa virus.
Hal serupa juga dilakukan oleh Ego dan kawan-kawannya untuk bertahan di situasi sulit ini. Mereka memilih untuk masak sendiri, karena dianggap lebih aman ketimbang harus makan di luar.
“Beli di Pasar Demangan bahan pokoknya. Kalau pingin variasi makan lain, pilih Go Food,” ujarnya.
Baginya, pandemi ini sebenarnya tidak terlalu menakutkan, asal menerapkan pola hidup bersih dan sehat, serta mengurangi aktivitas di luar rumah terutama yang berhubungan dengan orang banyak.
Waldy sudah terbiasa masak nasi sendiri, untuk sayur dan lauk, baru dia beli di warung dekat indekosnya. Saat ini dia masih punya stok beras yang masih cukup untuk memenuhi kebutuhannya dalam beberapa hari ke depan.
Berkaca pada negara-negara yang sudah menerapkan lockdown atau karantina di wilayahnya, sebagian besar kegiatan ekonomi dihentikan atau dijalankan dari rumah, kecuali toko kebutuhan makanan.
“Nah paling ke depan aku bakal tetap masak nasi sendiri sama mulai beli bahan-bahan makanan di toko yang masih buka,” ujarnya.
Waldy sebenarnya mengharapkan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan makanan bagi warga yang terkena dampak pandemi ini, terutama ketika kebijakan karantina benar-benar diterapkan. “Atau kampus menyediakan makanan bagi mahasiswa asrama dan kos seperti di beberapa kampus,” lanjutnya.
Yang paling mengkhawatirkan sekarang malah Fairuz, sampai sekarang dia masih mengandalkan warung makan indomie (warmindo) alias burjo (bubur kacang ijo) untuk makan sehari-hari. Celakanya, warmindo di dekat indekosnya sudah banyak yang tutup. Fairuz pun mulai ketar ketir, terlebih melihat situasi yang tak kian membaik, bahkan sebaliknya.
“Untuk sekarang cuman ngetatin pola hidup sehat. Enggak kepikiran buat nyetok logistik, paling awal bulan besok,” ujarnya.
Hal Terburuk yang Paling Ditakutkan
Hal yang paling ditakutkan oleh Waldy saat ini adalah jika orang tuanya positif COVID-19, dan dia tak bisa pulang karena Jogja lockdown. Namun untuk sekarang, dia juga enggan untuk pulang karena takut membawa virus dan menularkannya ke orangtua di rumah.
Dia juga membayangkan situasi-situasi terburuk yang mungkin terjadi jika tidak segera ada kebijakan yang signifikan. Sebab, bisa saja pandemi ini akan terus bergulir sampai Juli atau Agustus dengan kasus positif hingga 1 jutaan lebih dan korban meninggal hingga 100 ribuan orang. Akibatnya, akan semakin banyak pasien yang di luar rumah sakit ketimbang yang dirawat.
“Di Jogja, mungkin karena mulai banyak orang dari perantauan balik, bisa ada tambahan kasus secara signifikan, APD krisis, pasien tambah, kapasitas rumah sakit sangat kekurangan meng-cover pasien baik dari segi kualitas pelayanan atau kuantitas tenaga medis,” katanya membayangkan situasi terburuk akibat pandemi ini.
Hal paling menakutkan yang ada di benak Fairuz juga tak jauh beda dengan Waldy. Dia takut jika dirinya menjadi carrier atau pembawa virus dan menularkan ke orang tua jika pulang kampung. Ketakutan lain yang ada di benaknya adalah terjadinya kegaduhan di tengah masyarakat akibat pandemi ini.
“Kemungkinan terburuk mungkin penjarahan, mikirin lockdown aja ngeri,” ujarnya.
Hal ini seperti yang dibayangkan oleh Gregorius juga, baginya dampak klinis dari COVID-19 justru tidak terlalu mengerikan. Hal terburuk yang ada di benaknya kini justru terjadinya krisis ekonomi yang mengakibatkan tindakan kriminal terjadi di mana-mana.
Mimi lebih menakutkan situasi masyarakat yang masih abai dengan imbauan physical distancing atau menjaga jarak. Pasalnya, dalam situasi seperti itu, virus sangat mungkin menyebar secara cepat dan luas.
“Dan aku enggak bisa ngebayangin kalau itu terjadi tepat di depan mataku. Bisa aja orang-orang tumbang di jalanan. Dan kita enggak tahu harus berbuat apa. Mau bantuin takut tertular,” kata Mimi. (Widi Erha Pradana / YK-1)