Meramal Masa Depan Museum dari Benteng Vredeburg Yogyakarta

Meramal Masa Depan Museum dari Benteng Vredeburg Yogyakarta

Seperempat abad lebih sudah Benteng Vredeburg berstatus sebagai museum. Tepat pada 23 November 2019, Museum Benteng Vredeburg genap berusia 27 tahun.

Beberapa stan dari beberapa museum sudah berjejer di selasar bangunan Museum Benteng Vredeburg, menampikan koleksinya masing-masing, merayakan ulang tahun museum. Di ujung timur kawasan museum, sebuah panggung pertunjukan sudah berdiri, sebuah band sedang menyanyikan sebuah lagu yang asing di telinga saya.

Tak begitu banyak pengunjung terlihat di siang yang cukup terik itu. Hanya tampak beberapa orang di kawasan museum tengah berjalan bersama keluarga, teman, maupun pasangan.

“Kalau tadi pagi ramai mas, ada kunjungan dari siswa sekolah,” ujar Koordinator Perencanaan Museum Benteng Vredeburg, Agus Sulistya, Jumat (22/11).

Ada beberapa kegiatan yang diadakan museum dalam rangka memperingati hari ulang tahunnya, di antaranya pameran temporer, Jogja Republik Onthel, hingga temu komunitas sahabat museum. Temu komunitas dimaksudkan untuk menjaring aspirasi dari sejumlah komunitas terkait program-program seperti apa yang perlu dilakukan pihak museum bersama masyarakat.

Perubahan Paradigma Museum Vredeburg

Selama 27 tahun, Museum Benteng Vredeburg mengalami banyak dinamika pasang surut. Berbagai perubahan telah dialami, terutama dalam mengikuti perubahan paradigma di dunia permuseuman. Yang tadinya hanya berorientasi pada benda, kini telah berubah ke arah museum yang lebih partisipatoris.

“Kalau yang pertama itu dulu masih object oriented ya, kita hanya berorientasi pada koleksi. Jadi pekerjaan di museum itu hanya merawat koleksi. Pokoknya koleksi dicari, diadakan, dirawat, disimpan, diteliti, terus pamerkan, dengan mengesampingkan kemauan publik,” ujar Agus.

Berkembangnya studi tentang pengunjung membuat manajemen museum mengalami perubahan paradigma dengan mulai memahami kemauan publik. Museum mulai melakukan penelitian seperti di mana pengunjung berdiri paling lama, apa yang paling menjadi perhatian mereka, dan merespon apa yang muncul dari kotak saran.

“Dari situ kita mulai merubah tampilan, merubah layanan, program, yang berorientasi pada kepentingan publiknya,” lanjut Agus.

Paradigma partisipatoris menakankan pada keterlibatan publik secara aktif. Artinya, publik juga dilibatkan sebagai penyelenggara kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh museum.

“Seperti kegiatan Jogja Republik Onthel, itu yang merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, itu teman-teman komunitas sepeda,” kata Agus.

Dengan adanya temu komunitas sahabat museum, ke depan harapannya hal-hal seperti itu lebih banyak dilakukan. Sehingga ide-ide untuk berkreasi dan bagaimana memanfaatkan ruang di museum bukan hanya menjadi pekerjaan pengelola museum.

Perubahan Tren Pengunjung

Saat ini, orang-orang yang berkunjung ke museum mulai mengalami perubahan minat kunjung. Stigma kuno yang menempel pada museum membuat tujuan-tujuan kunjungan tak jauh-jauh dari hal-hal serius seperti penelitian dan sebagainya. Bahkan tak jarang pengunjung museum datang karena dipaksa, bukan karena inisiatif sendiri.

“Dulu kita sering menggandeng dinas pendidikan, trevel, segala macam. Seolah-olah kita mengemis, ayo datang ke tempat saya,” ujar Agus.

Sekarang, menurut Agus mereka sudah tidak lagi menggunakan cara-cara itu untuk mengundang pengunjung. Cara yang digunakan oleh pihak museum untuk mendatangkan pengunjung kini lebih banyak dengan mengadakan berbagai macam event dan mengubah tampilan. Sehingga orang-orang yang datang berkunjung tak lagi karena terpaksa, malainkan karena motivasi dari dalam dirinya sendiri.

Rachel Agustin, 24 tahun, salah seorang pengunjung mengatakan datang ke museum karena ingin refreshing sepulang kuliah. Bersama beberapa temannya, Rachel mengaku awalnya mereka hanya berniat jalan-jalan ke Malioboro dan nol kilometer saja.

“Tapi tadi lihat di sini (Museum Benteng Vredeburg) lagi ada event, jadi penasaran. Sekalian lewatan juga kan, sekali-kali refreshing ke museum,” kata Rachel diikuti tawa kecil.

Senada dengan Ridwan Muhammad, 32 tahun, bersama istri dan dua orang anaknya yang masih balita juga berkunjung ke museum juga dengan niatan untuk refreshing. Tapi siapa sangka, anaknya yang masih berusia empat dan dua tahun ternyata cukup tertarik dengan koleksi-koleksi yang ada di dalam museum.

“Jadi mereka (anak-anak) tadi banyak tanya, ini apa, itu apa. Ya hitung-hitung mereka belajar juga,” kata Iwan.

Rendi Setiawan, 19 tahun dan kekasihnya, Fitria Arini, 18 tahun bahkan mengaku iseng datang ke museum. Awalnya mereka hanya berniat jalan-jalan ke Malioboro saja.

“Tapi tiba-tiba pas lewat pengin aja masuk (museum), dan ternyata enak juga tempatnya, bagus juga,” kata Rendi diamini oleh Fitria.

“Apa enaknya pacaran di museum? Mending ke pantai atau taman,” tanya saya.

“Udah biasa mas, mainstream,” jawab Rendi diikuti gelak tawa kami.

Untuk Apa Masih Ada Museum?

Melihat benda-benda tua dan usang di dalam museum membuat saya berpikir, buat apa masih ada museum? Bukankah kenangan-kenangan masa lampau itu lebih baik dibuang saja, biar kita tak berlarut terkurung dalam kenangan-kenangan masa silam?

Menurut Agus, museum ibarat album kenangan dalam sebuah keluarga. Dari album kenangan itu, sebuah negara jadi tahu siapa sebenarnya simbah mereka, siapa nenek moyangnya, dari mana mereka berasal.

“Oh ternyata mbah kita dulu pahlawan, mbah kita dulu ternyata seorang raja. Sampai nanti akhirnya, oh kita itu ternyata keturunan dari bangsa yang besar, Majapahit, Sriwijaya, Mataram,” ujar Agus.

Dengan begitu, jati diri bangsa Indonesia bisa terus dipupuk. Museum menurut Agus memiliki peran strategis dalam pembentukan karakter dan jati diri melalui pengetahuan terkait asal muasal bangsa yang menjadi koeksi museum.

Nanti kita malah terjebak dalam kebanggaan atas kejayaan masa lampau dong? Tanya saya.

Agar tak hanya terjebak dengan membanggakan kejayaan masa silam saja, menurut Agus kita harus bisa mengambil nilai atas masa silam. Peran museum di sini adalah bagaimana meramu informasi pada benda-benda fisik masa silam yang hanya bersifat kognitif menjadi afektif.

“Sehingga bisa menjadi pendidikan mental mental juga,” kata Agus.

Komunitas-komunitas yang dikumpulkan tadilah yang diharapkan dapat mengapresiasi museum dengan kaca mata mereka. Misal, komunitas penari yang berkunjung ke museum melihat diorama tentang Diponegoro, kemudian membuat sebuah koreo atau tarian yang merepresentasikan isi diorama tersebut.

Di segi lain juga sama, di bidang musik misalnya, bagaimana seorang musisi bisa merepresentasikan kisah-kisah masa lampau ke dalam karyanya. Bagi Agus, kita tidak bisa menyeragamkan cara seseorang mengapresiasi sejarah, setiap orang harus dibebaskan mengapresiasi berdasar pada bidangnya masing-masing.

“Sebab, sejarah itu bukan hanya soal kognitif saja, melainkan juga harus berdampak pada perubahan perilaku dan karakter,” ujar Agus.

Bagi Agus, orang yang buta akan sejarah bangsanya akan dianggap sebagai anak kecil selamanya.

“Karena tidak tahu siapa dirinya. Padahal kita punya sejarah yang luar biasa, betul-betul luar biasa,” lanjut Agus.

Museum di Hadapan Laju Zaman

Museum sangat identik dengan kelampauan, benda-benda tua dan usang. Sebab, museum memiliki fungsi sebagai penjembatan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Melalui museum, generasi sekarang dapat belajar tentang masa lalu untuk dicermati dan dimaknai sekarang untuk diproyeksikan ke masa depan.

“Sehingga bukan tidak mungkin sejarah itu akan berulang. Bukan peristiwanya, tapi modelnya, kecenderungan umumnya,” ujar Agus.

Kecenderungan umum itu misalnya jika sebuah negara dipimpin oleh seorang penguasa terlalu lama, seadil-adilnya dia pasti akan jadi diktator. Contoh lain, negara yang miskin itu pasti akan melahirkan kelompok-kelompok komunal pembangkang. Kecenderungan itulah yang kemudian menjadi alat untuk memproyeksikan masa depan.

Tapi sepenting apapun museum, menurut Agus akan menjadi nirmakna jika tak ada orang yang mengunjunginya. Museum hanya akan menjadi gudang penimpanan benda-benda tua dan kuno, tanpa memberikan dampak apapun. Karena itu, museum juga harus merias dirinya untuk menarik para pengunjung yang sudah solid dalam mengikuti perkembangan zaman.

Akibatnya, mengikuti perkembangan zaman juga menjadi keniscayaan museum jika tak mau ditinggalkan oleh masyarakat. Misal dengan memberikan sentuhan-sentuhan digital dalam memamerkan koleksinya.

“Kita sudah mulai memasang touch screen, pakai barcode, web kita juga sudah ke mana-mana,” ujar Agus menjelaskan bagaimana Museum Benteng Vredeburg mengikuti perkembangan zaman.

Museum meski pada intinya memang hanya tempat menyimpan benda-benda masa lampau, tapi menurut Agus harus bisa menampilkan sesuatu yang variatif. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Museum Benteng Vredeburg tadi; menyelenggarakan event-event yang relevan dengan perkembanan zaman.

Agus mengakui betapa sulitnya memberikan pengertian sejarah dengan sistem masa lalu. Sehingga, pengembangan museum harus diselaraskan dengan apa yang berkembang di tengah masyarakat.

“Jadi museum harus membuka diri akan perubahan. Sekarang eranya teknologi. Kita juga harus bisa menyajikan museum agar lebih kekinian sesuai dengan karakter generasi milenial. Jangan sampai mereka buta sejarah,” kata Agus. (Widi Erha Pradana / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *