Menonton Pertarungan Para Kesatria Kampus di Gelanggang Pencak Silat

Menonton Pertarungan Para Kesatria Kampus di Gelanggang Pencak Silat

Mukanya tampak sangat lelah, dipenuhi keringat yang masih terus menetes. Jalannya agak pincang, setiap melangkah, dia tampak meringis menahan sakit. Tegar Abdillah, namanya, seorang atlet pencak silat dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dia baru saja menyelesaikan pertarungan sengit melawan Krisnanda Ramadhan dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dalam babak 16 besar Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Pencak Silat Antar Perguruan Tinggi ke-X, di UPN Veteran Yogyakarta, Selasa (11/2).

“Waktu pukulan ke wajah itu yang paling sakit sih,” kata Tegar seusai pertandingan.

Dalam kancah pencak silat antar perguruan tinggi, UNJ dan UNS adalah rival abadi. Keduanya sama-sama diunggulkan, saling berebut peringkat pertama di setiap kompetisi. Tak heran, jika pertarungan antara Tegar dan Krisna berjalan sangat alot.

Pendukung dari masing-masing kampus juga saling pamer yel-yel. Mereka akan berteriak keras ketika wakilnya berhasil menjatuhkan, atau mendaratkan tendangan dan pukulan ke badan lawan. Meski baru 16 besar, atmosfer pertandingan itu sudah seperti laga final.

“Perang,” kata Krisna singkat menggambarkan betapa seru dan hebohnya pertandingan yang baru saja dia lakoni.

Babak pertama berhasil dimenangkan oleh Tegar, babak kedua Krisna berhasil menyamakan keadaan. Pertandingan semakin menegangkan ketika pada babak ketiga, skor keduanya imbang. Sehingga untuk menentukan pemenang dari laga itu, harus diadakan babak tambahan.

Suasanya makin tegang dan senyap menjelang wasit mengumumkan pemenang babak tambahan itu. Suporter UNJ langsung berteriak keras dan menyanyikan yel-yelnya ketika wasit mengangkat bendera merah, menandakan Tegar, yang menggunakan sabuk merah memenangkan babak tambahan.

Laga berakhir, Tegar dan Krisna saling berpelukan. Meski tensi laga cukup panas, namun sportifitas harus tetap dijaga. Dalam setiap laga, menang atau kalah adalah keniscayaan.

Punya Jurus Andalan Masing-masing

Menonton Pertarungan Para Kesatria Kampus di Gelanggang Pencak Silat
Tegar Abdillah dari Unversitas Negeri Jakarta. Foto : Widi Erha Pradana

Bantingan yang mematikan adalah kunci kemenangan Tegar atas Krisna. Sepanjang laga, dia berhasil beberapa kali melumpuhkan Krisna berkat bantingan mautnya. Sekali berhasil membanting lawan, tiga poin berhasil dia raih.

“Kuncinya, kalau kaki lawan sudah sampai tangan saya, lawan harus jatuh,” kata Tegar membeberkan jurus andalannya sembari mengelap keringat yang masih terus menetes di dahinya.

Dalam hal ini, Krisna memang kurang diuntungkan, sebab berat badannya sebenarnya di bawah ketentuan kelas yang seharusnya. Dengan berat badan yang hanya 73 kilogram, seharusnya Krisna bertanding di kelas F, namun dia harus naik kelas ke kelas G karena kelas F sudah diisi oleh adik tingkatnya.

Meski berat badannya di bawah yang seharusnya, bukan berarti Krisna mudah dikalahkan. Nyatanya, dia berhasil memaksa Tegar sampai ke babak tambahan. Salah satu yang membuatnya sulit dikalahkan adalah tendangan mautnya. Tendangan kerasnya sesekali berhasil membuat Tegar kewalahan bahkan tersungkur.

“Andalan saya tendangan depan sama tendangan samping. Itu poinnya dua,” ujar Krisna.

Bukan Sekadar Memukul Lawan

Menonton Pertarungan Para Kesatria Kampus di Gelanggang Pencak Silat
Krisnanda Ramadhan dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Foto : Widi Erha Pradana

Meski termasuk bela diri, bukan berarti pencak silat sekadar main pukul lawan. Justru yang paling sulit dalam pencak silat adalah bagaimana untuk bisa mengendalikan diri. Bagaimana agar tetap bisa fokus di tengah teriakan-teriakan suporter, atau bagaimana supaya tidak mudah emosi ketika bertemu dengan lawan yang suka memancing.

“Jadi kalau orang semakin hebat, dia akan semakin pandai mengendalikan dirinya. Dia tidak akan pamer kekuatan, apalagi sengaja mencari masalah, nantang-nantangin orang lain berantem,” kata Tegar.

Senada dengan Krisna, menurutnya hal paling sulit dalam pencak silat justru bukan latihan fisik maupun teknik-tekniknya, melainkan melatih mental dan konsentrasi. Ketika bertanding, dia harus memperhitungkan betul kapan dia harus memukul, kapan harus menendang, kapan harus menyerang, kapan harus bertahan.

Semua harus benar-benar diperhitungkan. Hal ini kemudian terbawa di kehidupan sehari-hari, sehingga orang yang benar-benar menekuni pencak silat akan selalu memperhitungkan secara matang segala tindakannya.

“Jadi harus diperhitungkan bener, timingnya harus pas. Kalau tidak, bisa-bisa serangan kita malah mematikan kita sendiri,” jelasnya.

Tegar dan Krisna sepakat, pencak silat bukan sekadar bela diri atau olah raga semata. Selain merupakan salah satu budaya asli Indonesia yang harus dilestarikan, pencak silat juga merupakan wahana untuk mengasah spiritualitas seseorang.

Pencak silat tidak hanya mengutamakan kekuatan fisik, melainkan juga memiliki hubungan erat dengan spiritualitas dan adat budaya. Aspek spiritual inilah yang menjadikan pencak silat menjadi salah satu bela diri paling mematikan di dunia.

Dulu, para pesilat kerap melakukan semedi maupun proses kebatinan sebagai sebuah perjalanan spiritualnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hubungan antara manusia dengan Tuhan tentunya melibatkan hati, pikiran, dan emosi, sehingga dia akan merasakan ketenangan dalam jiwanya. Ketenangan itu kemudian akan menyatu dengan kekuatan fisik yang telah dilatih, sehingga menghasilkan kekuatan yang makin dahsyat.

“Jadi pesilat itu memang harus bersikap kesatria,” tegas Tegar.

Di Jogja lagi ramai-ramai berita soal klitih, yakni aksi kekerasan bersenjata di jalanan di tengah malam terhadap sembarang orang yang ditemui. Sasarannya acak, main tebas pedang, lalu pelaku melarikan diri tanpa jejak. Barangkali mereka perlu belajar pencak silat. (Widi Erha Pradana / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *