Menimbang Harvard, Pendidikan Menurut Alumni SMA De Britto Yogya

Menimbang Harvard, Pendidikan Menurut Alumni SMA De Britto Yogya

Bagai pungguk merindukan bulan. Mustahil rasanya ketika harus membayangkan saya lulusan SMA nasional Indonesia ingin mendaftar salah satu universitas terbaik di dunia, Universitas Harvard. Saya bukanlah siswa yang memiliki prestasi gemilang. Bahkan untuk beberapa nilai di rapor saja, terkadang harus puas diri dengan angka kriteria kkm (kriteria ketuntasan minimal).

Tahun 2000, di Dundee, Scotland saya dilahirkan dan dibesarkan oleh ayah kelahiran Banyuwangi dan ibu dari Klaten. Kemudian menamatkan TK hingga SMA di Yogyakarta. Selama periode itu saya beruntung mendapat beberapa pengalaman belajar seperti mengikuti pertukaran pelajar ke Adelaide, Australia dan summer course di Singapore.

Menimbang Harvard, Pendidikan Menurut Alumni SMA De Britto Yogya
Harvard Graduate School of Education. Foto: wikimedia

Pengalaman tersebut sangat kontras dengan pengalaman sekolah di Indonesia yang materinya sangat banyak dan penuh hafalan dalam periode pendek dan seringkali membuat saya tidak antusias belajar.

Sepulang ayah dari kursus ilmu ginjal di Universitas Harvard, untuk pertama kalinya beliau bercerita mengenai konsep pendidikan tertua di dunia pendidikan tinggi Barat (Liberal arts). Mata pelajarannya tidak menjurus secara spesifik ke vokasi, akademik atau profesional. Sepintas dalam benak saya itu adalah tempat yang cocok bagi saya.

Mimpi saya adalah menemukan formula sains kultur Indonesia. Membuat salah satu solusi dari masalah sosial-pendidikan dan budaya di Indonesia melalui cerita naratif fiksi. Mengkombinasikan ilmu filsafat, ekonomi, politik, dan seni.

Menimbang Harvard, Pendidikan Menurut Alumni SMA De Britto Yogya
Harvard University Foto: Commons Wikimedia

Ambisi saya adalah menginjeksikan formula itu ke dalam sebuah cerita yang bertemakan pramuka sebagai sekolah kehidupan di medium virtual futuristik. Menggabungkan filosofi barat dengan kultur Asia sekaligus menunjukkan esensi Indonesia. Karenanya, diperlukan pengetahuan seluas-luasnya untuk mengintegrasikan cara kerja kehidupan di dunia nyata dalam cerita fiksi.

Hal itu mungkin akan lebih mudah bila saya belajar di universitas yang menggunakan pendekatan liberal arts. Sayangnya, itu belum ada di Indonesia.

Setelah 1 bulan belajar di FEB (Fakultas Ekonomika dan Bisnis) IUP (International Undergraduated Program) UGM, keinginan untuk mempelajari liberal arts di Harvard justru semakin membara. Saya memutuskan untuk tetap mengejar mimpi itu dengan mengikuti EF foundation year 9 bulan di Oxford, UK.

Berdasarkan informasi yang ada saat itu dimungkinkan mendaftar universitas di US melalui program tersebut. Namun setelah sampai di Oxford dan bertemu dengan salah satu guru, ternyata program itu hanya dapat digunakan untuk mendaftar universitas di UK. Beliau adalah guru hebat lulusan Universitas Cambridge yang mengampu materi critical thinking. Atas bimbingannya saya mendapatkan offer dari King’s College London untuk jurusan PPE (Filsafat, Politik, dan Ekonomi). Tapi hati kecil saya untuk mendaftar Universitas Harvard tidak dapat dibungkam. Frustasi memang.

Sistem pendidikan di Indonesia dan program foundation year yang saya jalani tidak kompatibel untuk mendaftar universitas di US. Apa boleh buat, gap year lagi pilihannya. Akhirnya melalui lembaga pendidikan online, Crimson Education, saya dapat mempersiapkan tes SAT, esai dan pembuatan capstone project. Mentor saya di antaranya adalah alumni Universitas Harvard dan Universitas Oxford. Namun, sehebat-hebatnya bantuan mereka, ini baru dalam tahap pendaftaran universitas di Amerika.

Kesulitan ini memantik sebuah pemikiran terhadap sistem pendidikan Indonesia yang sulit bagi siswa untuk dapat menemukan, mengembangkan talenta dan passion-nya. Ekstrakurikuler yang kurang dihargai untuk pendidikan lanjut, orientasi sekolah yang menyempit pada tes, seringkali membuat siswa merasa terperangkap, terpaksa, dan merasa bosan belajar. Salah satu cara untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang ada adalah dengan melihat kembali tujuan pendidikan.

Tujuan Pendidikan vs Kepentingan Nasional

Secara umum, berbicara pendidikan kita akan membayangkan sebuah sistem mekanis yang mendorong siswa meraih nilai tinggi sehingga ketika lulus mereka mendapatkan pekerjaan mapan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya nanti. Dua kebutuhan terbesar dalam keluarga adalah rumah dan pendidikan. Dengan kata lain, siswa belajar keras untuk mendapatkan nilai tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, demi membeli rumah dan mengirim anak-anaknya ke perguruan tinggi untuk belajar kelak. Mengejar nilai tinggi, untuk mendapatkan pekerjaan, dan demikian seterusnya. Seperti lingkaran setan.

Menurut Aristoteles, tujuan pendidikan tidak hanya mendapatkan pengetahuan tetapi juga untuk memperoleh kebahagiaan dan kebaikan dalam kehidupan. Seharusnya alasan utama untuk kuliah bukan sekedar untuk menghasilkan uang, tetapi untuk menumbuhkan pikiran dan jiwa manusia, menjadikan pribadi yang lebih baik.

Saat ini Indonesia sedang berusaha untuk melepaskan diri dari middle income trap sekaligus bersiap diri untuk menghadapi zaman digital dan masa depan yang tak menentu.

Salah satu cara yang diyakini adalah melalui peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun hal itu seperti sebuah dualisme. Pendidikan yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi -untuk apa sekolah bila untuk mencari makan saja susah- di sisi lain juga kebutuhan idealisme untuk terus belajar seperti yang dikatakan Aristoteles. Tidak mudah untuk mempertemukan idealisme tersebut. Bagaimana memenuhinya?, kita membutuhkan pendekatan filosofi yang lebih fungsional.

The Element (Sir Ken Robinson)

Dalam buku yang berjudul “The Element How Finding Your Passion Changes Everything” oleh Ken Robinson, ditemukan sebuah persamaan di antara semua orang-orang hebat. Mereka menemukan tingkat pencapaian yang tinggi dan kepuasan pribadi setelah mereka menemukan elemennya.

Elemen adalah titik temu antara bakat alami dan minat. Kita dapat melihat tren yang akan terjadi di masa depan tapi tidak bisa secara tepat memprediksi masa depan. Oleh karenanya, dibutuhkan sebuah kapasitas alami agar bisa fleksibel dan seproduktif mungkin dalam era yang selalu berubah. Hanya melalui elemen, manusia dapat bertahan dan berkembang.

Menimbang Harvard, Pendidikan Menurut Alumni SMA De Britto Yogya
com-Ilustrasi Belajar Foto: Shutterstock

Sayangnya, banyak orang kesulitan menemukan elemen karena pemahaman akan kapasitas diri yang sangat terbatas dan sempit. Terbatasnya eksplorasi kekuatan alami mereka dan pemahaman potensi konstan untuk pembaruan. Sempitnya pemahaman ragam intelektual yang sebenarnya tak terbatas, justru kita dibatasi oleh beberapa subjek yang seringkali di diskriminasi berdasarkan hierarki (tingkat atas: matematika, sains, bahasa, tingkat di bawahnya: musik dan seni visual).

Ironisnya, faktor utama yang menyempitkan dan membatasi konsepsi kapasitas diri kita adalah pendidikan kita sendiri. Karenanya, pendidikan yang ada harus ditransformasi sebagai sistem yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip utama dari elemen.

Liberal Arts dan Moving Class

Mendesain pendidikan nasional yang dapat menjawab kebutuhan kerja di masa depan sekaligus memenuhi kebutuhan menjadi pribadi lebih baik, adalah kunci penting. Mengetahui bentuk ekspresi tertinggi individu (elemen) membutuhkan proses kontinu bahkan tak jarang hingga sebelum akhir hayat. Menyiapkan perangkat cara belajar menjadi lebih penting dari subjek yang dipelajari.

Terinspirasi dari pengalaman saya dalam mencari tempat belajar yang tepat, ada beberapa fitur dari pendidikan tinggi US dan UK yang dapat kita adopsi. Membuat sistem pendidikan SMA Indonesia yang menjunjung tinggi kreativitas sebagai pendukung pencarian elemen siswa sekaligus menyiapkan mereka dengan skill-skill siap kerja. Ide saya adalah dengan cukup merubah manajemen pendidikan.

Universitas Harvard terkenal dengan sistem kurikulum liberal arts yang unik. Memberikan ruang bagi pembelajar untuk belajar apa saja yang diinginkan sekaligus memilih sebuah spesialisasi. Kurikulum mereka secara besar dapat dibagi menjadi dua bagian. Subjek konsentrasi 60 persen dan pendidikan umum 40 persen ( Aesthetic dan Culture, Ethics dan Civics, Histories, Societies, Individuals, dan Science dan Technology in Society).

Selaras dengan kurikulum Universitas Harvard, keterampilan mendasar untuk mempersiapkan kompetensi siswa yang siap kerja dapat dipandang sebagai materi wajib kategori General Education (40 persen).

Salah satu materi utama yang dapat dimasukan adalah materi critical thinking, research, dan pendidikan karakter/ moral. Sedangkan untuk konsentrasi (60 persen) adalah ruang untuk mengeksplorasi elemen. Pilihan beberapa subjek dan hasil karya (ekstrakurikuler) yang dibuat selama SMA diberikan bobot yang sama.

Untuk memperjelas konsentrasi yang dimaksud kita dapat melihat program sarjana PPE (Filosofi, Politik, Ekonomi) yang berdurasi 3 tahun di Universitas Oxford. Tahun pertama mahasiswa diberikan untuk belajar ketiga materi. Kemudian, setelah mendapatkan wawasan yang cukup, mahasiswa diperkenankan untuk melepaskan satu subjek diantara tiga mata pelajaran itu.

Dalam frame SMA di Indonesia, tahun pertama siswa diperkenankan untuk belajar semua mata pelajaran. Kemudian tahun kedua hingga ketiga siswa memiliki kesempatan untuk “bongkar pasang” pilihan modul mata pelajaran dari kategori bahasa, sosial, sains, dan seni yang diminati setiap semesternya (contoh materi yang diambil: Bahasa Mandarin, Ekonomi, Biologi, dan Seni Lukis). Siswa diberikan ruang untuk memilih kembali mata pelajaran yang sempat dilepas ataupun sebaliknya. Jumlah modul mata pelajaran yang dapat diambil tidak dibatasi.

Dengan sistem konsentrasi ini, para siswa akan terpacu untuk menggunakan kreativitasnya. Menemukan subjek pelajaran yang sesuai dengan talenta dan minat. Karena fleksibilitas ini maka diperlukan manajemen pengajaran moving class. Guru tetap pada satu kelas dan mengajarkan materi yang sama tiap harinya. Kemudian siswa akan menyesuaikan subjek pilihan dengan jadwal blok-blok materi.

Cara ini otomatis menaruh perhatian dan penghormatan lebih terhadap guru, karena murid sendiri yang memilih. Guru diberikan ruang kelas tersendiri. Mendapatkan otonomi lebih besar untuk mengajar. Ujian atau tes bukan lagi dilaksanakan sebagai satu tujuan fokus akhir siswa melainkan sebagai tolak ukur pendukung untuk mengetahui kemajuan pengembangan elemen siswa tiap semester. Dengan demikian tes hanyalah sebagai jembatan antara SMA dan Universitas. Universitas lalu dapat menyesuaikan dengan sistem ini.

Harapan Bangsa dan Pribadi

Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan diharapkan dapat mendatangkan teknologi yang menjembatani antara kebutuhan siswa untuk belajar (mengembangkan elemen) dan kebutuhan siswa untuk siap kerja. Mendesain dan menyediakan tempat belajar yang ideal dibutuhkan keberanian untuk merubah termasuk menanggung konsekuensinya. Mungkin perlu UU baru sebagai payung hukum perubahan.

Terlepas dari kondisi yang ada, individu pengejar mimpi harus tetap optimis. Saya bukanlah siswa yang berprestasi dan hebat di mata orang pada umumnya. Namun hidup ini adalah permainan jangka panjang. Kita semua berhak untuk menjadi lebih baik. Menemukan elemen pribadi adalah cara terbaik untuk berkontribusi dan membantu orang seluas-luasnya. Saya yakin di luar sana banyak yang seperti saya. Mengejar mimpi yang di luar jangkauan. Dan hanya satu saja yang dibutuhkan, keberanian untuk berimajinasi.

+++++++++++++++++

Opini oleh: Wojtylla D G, Alumni Kolese De Britto Yogyakarta Angkatan 2018

Penulis : Wojtylla D G, Alumni Kolese De Britto Yogyakarta Angkatan 2018. Saat ini sedang tekun menyelesaikan program Crimson Education sebagai persiapan tes masuk Universitas Harvard.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *