Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui pengelolaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dari 2014-2019, dinilai masih bias kelas menengah atas.
Sejak 2014 sampai 2019, segmen peserta PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) dan Bukan Pekerja (BP), dan yang notabene termasuk masyarakat mampu justru paling banyak menyerap dana pembiayaan dibandingkan segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN yang merupakan peserta tidak mampu dan segmen lainnya. Setiap tahun dana peserta PBI APBN selalu mengalami surplus, berbanding terbalik dengan segmen peserta PBPU, BP, dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBD yang selalu mengalami defisit.
“Artinya, selama ini dana sisa segmen peserta PBI APBN digunakan untuk membiayai peserta PBPU,” ujar Peneliti di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM, Muhammad Fauzi Kurniawan dalam konferensi pers, di Yogya, Senin (27/1).
Selain itu, sejak kebijakan JKN digulirkan, BPJS Kesehatan juga belum melaksanakan kewajiban untuk memberikan kompensasi bagi daerah yang belum memiliki fasilitas kesehatan memadai. Hal ini karena BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit sehingga mengakibatkan tidak tersedianya dana.
Dana JKN maupun Dana Jaminan Sosial (DJS) telah habis lebih dulu karena diserap oleh kelompok masyarakat yang berada di wilayah perkotaan atau segmen kepesertaan PBPU, BP, dan PBI APBD.
“Di sisi lain, belum ada kebijakan bahwa pemerintah daerah ikut andil dalam mengatasi atau menanggung defisit yang terjadi di wilayah tersebut,” lanjutnya.
Di sejumlah daerah yang fasilitas maupun askes kesehatannya belum memadai, ternyata masih sedikit peserta PBI APBN dan APBD yang menggunakan layanan JKN, sehingga pemanfaatan JKN di wilayah yang letak geografisnya sulit masih rendah. Sampai sekarang, kebijakan pemerintah yang ada belum dapat menyeimbangkan akses layanan kesehatan era JKN. Misalnya pembangunan rumah sakit atau pengiriman tenaga medis ke daerah sulit akses dan terbatas fasilitas kesehatannya.
“Tentu hal ini telah cukup menunjukkan JKN belum dapat mewujudkan pemerataan layanan kesehatan,” tegas Fauzi.
Tiga Penyebab Defisit BPJS Kesehatan

Fauzi juga mengatakan, setidaknya ada tiga penyebab utama yang menyebabkan BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit setiap tahun. Pertama adalah adanya adverse selection di kelompok PBPU yang sudah terjadi sejak tahun pertama sampai sekarang.
“Rasio klaim PBPU yang merupakan golongan masyarakat mampu dengan jumlah peserta sebanyak 30 juta jiwa, berada lebih dari 400 persen,” ujarnya.
Hal tersebut disebabkan karena yang menjadi peserta BPJS Kesehatan adalah masyarakat yang relatif sakit. Rasio semakin memburuk karena hampir separuh dari peserta BPJS Kesehatan menunggak pembayaran.
Persoalan kedua adalah adanya kesenjangan antara Cost per Member per Month (CPMPM) dengan Premi per Member per Month (PPMPM) di segmen PBPU. Menurut Fauzi, jumlah yang harus dibayarkan oleh peserta BPJS lebih tinggi ketimbang yang diberlakukan sekarang.
Seharusnya, iuran masyarakat mampu (PBPU) kelas I adalah sebesar Rp 274.204, kelas II Rp 190.639, erta kelas III sebesar Rp 131.195. Dengan jumlah iuran seperti itu, negara tidak akan lagi mensubsidi peserta mampu melalui PBI APBN.
“Yang ketiga upaya promotif dan preventif oleh pemerintah daerah belum berjalan optimal. Sehingga biaya kuratif atau pengobatannya tinggi,” lanjut Fauzi.
Mewujudkan JKN yang Berkeadilan

Kendati masih banyak kekurangan, bukan berarti program JKN tidak perlu dilanjutkan. Menurut Fauzi, JKN tetap harus dilanjutkan dengan fokus dana dari pemerintah baik pusat maupun daerah untuk masyarakat miskin dan tidak mampu. Dengan begitu, program JKN yang berkeadilan dapat segera terwujud.
Ada beberapa upaya strategis yang harus dilakukan untuk mewujudkan program JKN yang berkeadilan. Pertama, kebijakan kompensasi harus segera dilaksanakan, sehingga diperlukan kompartmen dalam pengelolaan dana amanat BPJS Kesehatan untuk melindungi PBI APBN agar dapat diperuntukkan secara penuh kepada orang miskin dan tidak mampu yang tersebar di wilayah sulit akses.
“Kedua, masyarakat anggota PBPU diharapkan membayar sesuai dengan ability to pay, atau mendekati hitungan aktuaria sesungguhnya,” ujar Fauzi.
Apabila peserta PBPU tidak mampu untuk membayar sesuai dengan ability to pay, maka solusinya adalah memasukkannya menjadi anggota PBI. Karena itu, perlu penetapan kategori untuk masyarakat miskin, masyarakat tidak mampu, masyarakat mampu, dan masyarakat kaya dengan ukuran yang lebih jelas dan disepakati bersama secara nasional.
Untuk soal efisiensi, perlu adanya penetapan standar perawatan. Selama ini, ada tiga kelas yang diberlakukan, yakni kelas I, II, dan III yang ternyata tidak mencerminkan asuransi sosial.
“Apabila peserta ingin naik kelas, bisa menggunakan asuransi tambahan pribadi atau komersil,” lanjut Fauzi.
Yang tidak kalah penting, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan DJSN, perlu mengintegrasikan kembali perencanaan dan pengelolaan upaya promotif dan preventif antara dana kapitasi dengan alokasi APBD.
“Hal ini guna menekan pembiayaan kuratif,” tegasnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)