Kemajuan yang cukup besar telah dibuat sejak epidemi Ebola di Afrika Barat pada 2014-2016, tetapi sistem kesehatan di seluruh dunia masih belum siap untuk wabah signifikan dari penyakit menular yang muncul lainnya. Tidak ada negara yang sepenuhnya siap untuk menangani epidemi atau pandemi. Demikian yang bisa disarikan dari The Global Risks Report 2020.
Pemerintah China dan Amerika Serikat saling menyalahkan terkait pandemi Coronavirus. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lijian Zhao mengatakan dalam postingannya di Twitter dan media sosial China bahwa Amerika tidak transparan dalam penanganan virus Corona dan menuduh Amerika lah yang membawa virus tersebut ke Wuhan. Sebelumnya, pemerintah AS melalui Penasehat Keamanan Nasional Amerika, Robert O’Brien, menyebut China lamban dalam penanganan wabah dan tidak transparan terkait penyebaran virus.
Di belahan bumi Eropa, European External Action Service (layanan diplomatik Uni Eropa), dalam laporannya menuduh media pemerintah Rusia dan outlet pro-Kremlin memberikan disinformasi mengenai COVID-19. Baik Uni Eropa maupun NATO sama-sama menuduh bahwa pemerintah Moskow menyebarkan informasi sesat dan melakukan tindakan rahasia dalam upaya untuk mengeksploitasi tatanan masyarakat barat.
Seorang juru bicara Uni Eropa mengatakan bahwa Kremlin tengah ‘bermain-main dengan nyawa orang-orang’, meminta warga UE untuk berhati-hati dan membaca media terpercaya saja. Presiden Rusia jelas membantah tuduhan tersebut, malah mengatakan bahwa Rusia menjadi target negara-negara barat yang menyebarkan informasi soal coronavirus untuk menyebabkan kepanikan.
Amerika-China dan Uni Eropa-Rusia, negara-negara maju dan kaya tempat uang dan banyak orang cerdas berkumpul masih saling menyalahkan dan mencurigai. Di saat bersamaan, Palestina dan Israel yang selama ini selalu memiliki waktu luang untuk saling menyakiti justru menjalin kerjasama terkait informasi persebaran virus di wilayah masing-masing.
Pemimpin yang Menginspirasi
Dalam tulisannya yang dimuat di Time, Yuval Noah Harari mengatakan bahwa dunia tidak memiliki sosok pemimpin yang mampu menginspirasi, mengorganisasi, dan mendanai sebuah respons global yang terkoordinasi. Masifnya persebaran virus di seluruh benua di dunia bisa menjadi ukuran betapa tidak terkoordinasinya bangsa-bangsa di dunia, mereka justru saling menyalahkan dan mencurigai.
Untuk mengalahkan pandemi ini orang-orang perlu mempercayai pakar kedokteran, masyarakat harus mempercayai pemimpin otoritas publik, dan negara-negara harus saling mempercayai. Pada intinya, bangsa manusia harus bersatu padu melawan bangsa virus, karena jika ada satu manusia saja yang masih mengidap virus ini di suatu tempat di muka bumi, seluruh penghuni bumi berada dalam bahaya.
Sejarah mengajarkan bahwa perlindungan nyata datang dari informasi saintifik yang terpercaya, dan dari solidaritas global. Ketika satu negara dilanda oleh sebuah epidemi, dibutuhkan keterbukaan informasi tentang wabah tersebut tanpa ketakutan pada runtuhnya ekonomi, sementara negara lainnya harus mempercayai informasi tersebut, dan membantu negara yang dilanda wabah.
Eropa sekarang menjadi episenter wabah, sementara 50 negara bagian Amerika Serikat sudah mengonfirmasi jumlah penderitanya masing-masing dan menyatakan sudah menemukan obat coronavirus paling mujarab. China sudah melewati fase kritis, bisa membagi pengalaman dan pengetahuannya soal virus dan siap memproduksi massal vaksin buatannya. WHO sendiri baru saja menguji coba vaksinnya.
Pengikut Republik Lebih Banyak Mati Ketimbang Demokrat
Obat sesungguhnya untuk pandemik adalah kerja sama, dari seluruh manusia apa pun kedudukan politik ekonomi dan sosialnya. Virus membuat beberapa wilayah dan negara memberlakukan lockdown (semi maupun penuh), dua minggu karantina, dan isolasi. Aktivitas perekonomian berhenti, dan diharapkan penyebaran virus turut berhenti. Kerja sama dari semua komponen masyarakat diperlukan untuk mewujudkannya, tanpanya, aktivitas ekonomi yang terganggu ini hanya akan menjadi sia-sia. Tujuan memperlambat penyebaran virus tidak tercapai, namun kelesuan ekonomi jelas terjadi.
Bahkan di Amerika, negara yang mengekspor praktik demokrasi ke seluruh dunia ini terdapat perbedaan yang menyedihkan. Jennifer Rubin, kolumnis Washington Post, menyampaikan dalam sebuah acara di MSNBC bahwa akan lebih banyak pendukung Republik yang akan meninggal dari Covid-19 daripada pendukung Demokrat, karena media konservatif meremehkan coronavirus.
“Saya benci mengatakannya seperti ini, tetapi akan ada lebih sedikit kematian (dari partai) Demokrat karena akan ada lebih sedikit pertemuan massal, akan ada lebih sedikit kesempatan bagi orang untuk berkumpul dan berbagi penyakit yang mengerikan ini. Jadi itu benar-benar strategi yang sangat picik,” kata Rubin dalam acara tersebut.
Amerika Serikat memang sedang menatap Pilpres mereka. Wabah corona berlangsung di tengah persiapan tersebut, setiap langkah dalam penanganan virus ini berhubungan langsung dengan karir politik mereka. Indonesia hanya akan melangsungkan pilkada di ratusan daerah menjelang akhir tahun ini, sementara pemilihan presiden masih akan dilangsungkan pada 2024. Coronavirus datang di saat kita semua masih mabuk politik.
Kita seharusnya meletakan bendera partai (dalam tataran lokal) dan bendera negara (dalam tataran global), bersatu untuk memenangkan perang melawan coronavirus.
Indonesia, negeri tercintaku, setop 01 dan 02, seperti kata Sri Sultan Hamengkubuwono X di Yogyakarta, inilah saatnya saiyeg saeko proyo, bersatu padu melawan pandemi corona.
Setelah kita memenangkan perang melawan virus ini, ketika vaksin benar-benar ditemukan, kita bisa saling baku hantam lagi seperti sediakala, seperti sebelum wabah corona ini muncul. (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)