Mohtar Mas’oed, Profesor Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada (UGM) baru saja purna tugas. Para kolega, murid, dan orang-orang terdekatnya menggelar Talkshow Purna Tugas Mohtar Mas’oed yang bertajuk “Meretas Batas-batas Ruang Akademik dan Aktivisme” yang diselenggarakan Kamis (7/11), di Auditorium FISIPOL UGM.
Mohtar Mas’oed adalah lulusan HI UGM tahun 1975, yang kemudian melanjutkan studi di Ohio State University dan meraih gelar Ph.D in Political Science. Pada tahun 2002, ia diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UGM.
Sepanjang karier mengajarnya, ia dikenal sebagai pakar di bidang ekonomi politik internasional, ekonomi politik pembangunan, serta teori hubungan internasional. Cukup banyak karya akademis yang telah ia publikasikan, di antaranya buku ‘Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru,’ ‘Birokrasi, Politik dan Pembangunan,’ ‘Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan,’ ‘Perbandingan Sistem Politik,’ serta buku yang menjadi salah satu literatur paling penting bagi mahasiswa HI, ‘Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.’
Sebagai seorang pengajar, Mohtar pernah mendidik berbagai tokoh-tokoh penting, salah satunya Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Beberapa rekan dan kenalannya juga mengaku mempelajari banyak hal dari sosok Mohtar Mas’oed, salah satunya Duta Besar, Salim Said.
“Beliau adalah begawan Ilmu Hubungan International di Indonesia. Karya-karya beliau yang terkemuka seperti misalnya Ilmu Hubungan Internasional ‘Disiplin dan Metodologi’ itu bacaan wajib semua mahasiswa HI di Indonesia,” kata Sekretaris Departemen Hubungan Internasional UGM, Muhammad Rum.

Dosen Hubungan Internasional UGM lainnya yang juga menjabat Wakil Dekan Fisipol, Poppy Sulistyaning Winanti, mengatakan Mohtar Mas’oed adalah salah seorang ilmuwan hubungan internasional yang paling dihormati di Indonesia. Sebab, Mohtar Mas’oed telah mengawali beberapa studi di bidang ilmu hubungan internasional.
Salah satu studi Mohtar yang paling fenomenal adalah studi ekonomi politik internasional. Dan saat ini, studi ekonomi politik internasional telah menjadi salah satu konsentrasi utama dalam ilmu hubungan internasional. Karena itu, Mohtar juga dikenal sebagai Bapak Ekonomi Politik Internasional di Indonesia.
“Jadi mulai dikenal ada istilah ‘ekonomi politik’ di Indonesia itu ya dari Pak Mohtar Mas’oed. Karena sebelumnya yang belajar politik ya hanya belajar disiplin politik saja, begitu juga dengan yang belajar ekonomi. Di tangan beliau, keduanya jadi studi lintas batas,” kata Poppy.
Negara, Kapital, dan Demokrasi

Sampai saat ini, karya-karya Mohtar Mas’oed dinilai masih relevan dengan ilmu hubungan internasional. Misalnya buku ‘Negara, Kapital, dan Demokrasi’ yang menjelaskan mengenai tensi hubungan antara negara, modal, dan bagaimana keduanya mempengaruhi penciptaan atmosfer demokrasi di sebuah negara.
Menurut Rum, dalam sistem internasional ada kekuatan yang bisa menentukan arah rezim keuangan dan perdagangan internasional yang saling berhubungan dengan kepentingan ekonomi dan politik di area global.
“Makanya kemudian kita belajar mengenai WTO, mengenai IMF, dan rezim-rezim keuangan lain, dan masalah mengenai resorrces, sumber daya alam, dan perdagangan,” kata Rum.
Karena relevansi pemikiran-pemikirannya dengan dunia hubungan internasional inilah, menurut Rum, posisi Mohtar Mas’oed masih tak tergantikan dengan ilmuwan-ilmuwan lain di bidangnya.
“Selalu ada contoh-contoh konkret dari apa yang diajarkan oleh Mohtar Mas’oed. Saat ini misalnya kita melihat ada perang dagang antara Amerika Serikat dengan China. Itu kan merupakan satu bentuk kajian dalam ekonomi politik internasional,” ujar Rum.
Sosok Teladan

Aktivis 98 alumni Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UMY, yang sekarang menjadi Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee & Social Justice (IHCS), Gunawan, memberi arti penting buku ‘Perbandingan Sistem Politik’ yang ditulis Mohtar Mas’oed bersama Colin MacAndrew.
Menurut Gunawan, buku itu jadi salah satu buku penting baginya sebagai mahasiswa baru di era pertengahan 90an, dalam memahami negara tidak hanya pemerintah, DPR, dan Partai Politik namun juga kelompok penekan dan kelompok kepentingan yang semuanya membentuk dinamika di dalam system politik. Dan di buku itu dibahas lengkap bagaimana dinamikanya di berbagai system politik yang berbeda.
“Ini penting bahkan sampai hari ini untuk melihat dinamika politik di Indonesia. Dia menciptakan bahan referensi untuk menjelaskan sesuatu yang lebih besar, yang dalam konteks kekinian bisa dibedah lebih lanjut unsur-unsurnya,” jelas Gunawan.
Mohtar, bagi Gunawan juga merupakan sosok teladan dalam pengertian tidak hanya intellectual excercise dalam konteks hanya bergelut dalam menyusun naskah akademik. Mohtar juga mewarnai ruang kritis dan ruang perdebatan di era 90-an, yang memberi sumbangan terhadap kritisisme mahasiswa sehingga salah satunya melahirkan gerakan mahasiswa di Yogyakarta.
“Salah satu anaknya, mahasiswa ekonomi UGM, ikut turun ke jalan, advokasi petani, advokasi perebutan lahan. Pak Mohtar yang mungkin juga khawatir, tapi saya tidak pernah mendengar beliau melarang,” kata Gunawan yang orangtuanya bertetangga dengan Mohtar Mas’oed di Perumahan Nogotirto, Sleman DIY, sambil melanjutkan, “dan dari anaknya pula gerakan mahasiswa di Yogya bisa mengakses buku-buku terbaik dari seluruh dunia yang dipinjam diam-diam dari perpus Pak Mohtar.”
Sebagai anak muda yang membidani lahirnya Tadarus Klub di Masjid Nogotitro yang juga adalah masjid yang rutin digunakan oleh tokoh penting Muhammadiyah, Buya Syafii Ma’arif, Gunawan melihat Mohtar sebagai akademisi yang tidak hanya berada di menara gading perpustakaannya. Mohtar, menurut Gunawan, tak hanya mau menjadi aktivis masjid tapi bahkan juga bersedia menjadi panitia zakat fitrah.
“Padahal kala itu Pak Mohtar sudah malang melintang mengajar di berbagai kampus di luar negeri. Tapi ngurusi beras zakat juga masih bersedia,” katanya. (Widi Erha Pradana / ES Putra / YK-1)