Pada 15 Maret atau tepat sebulan yang lalu, Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengumumkan pasien pertama COVID-19 di DIY. Pada 17 Maret 2020, Tim Gugus Tugas Penanganan COVID-19 DIY dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 64/KEP/2020. Keputusan tersebut kembali disempurnakan pada 8 April 2020, dengan Gubernur DIY mengeluarkan SK Nomor 78/KEP/2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur DIY Nomor 64/KEP/2020 tentang Pembentukan Gugus Tugas Penanganan COVID-19 DIY.
Sesuai SK Gub 78, Gugus Tugas DIY memilik struktur paling atas adalah Pengarah yang diketuai Gubernur DIY dan Pelaksana dipimpin oleh Wakil Gubernur DIY. Di Pos Pelaksana ini selain Ketua dan Wakil Ketua ada Pos Sekretariat yang dipimpin oleh Sekda DIY dengan anggota yang terdiri dari Pos Perencanaan Data dan Analisis, Pengawasan, Pusat Pengendalian Operasi, Administrasi Keuangan, Kehumasan, dan terakhir Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Struktur tersebut di atas membawahi enam bidang, di antaranya Bidang Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi, Sosial dan Kemasyarakatan, Keamanan dan Penegak Hukum, serta Bidang Logistik.
Berdasar dokumen Rencana Operasi Pencegahan dan Penanganan COVID-19 periode 20 Maret – 29 mei yang disampaikan Tim Gugus Tugas di depan Rapat Kerja Pimpinan DPRD DIY pada 1 April, Pos Komando melibatkan perwakilan (pentahelix) untuk duduk di struktur komando.
Bunyi lengkapnya sebagai berikut: Mengaktifkan posko terpadu penanganan COVID-19 dengan struktur organisasi yang terdiri lintas lembaga dan instansi terkait. Mengingat skala dan kompleksitasnya maka tingkat penanganannya adalah level 3 sehingga organisasi komando terpadu melibatkan perwakilan (pentahelix) untuk duduk di struktur komando. Komandan operasi terpadu adalah Sekretaris Daerah DIY dibantu staf komando dan staf umum.
3 Akademisi dan 1 Komunitas di Tim Perencana
Pentahelix adalah 5 jalinan yang menyatu dalam sebuah organisasi kerja yang terdiri dari pemerintah, masyarakat atau komunitas, akademisi, pengusaha, dan media.
Dalam SK Gubernur No 78 tahun 2020, ada 3 nama akademisi dan 1 perwakilan komunitas masyarakat yang duduk di sekretariat dalam Pos Perencanaan Data dan Analisis bersama dengan 10 anggota lain yang semuanya birokrat dan diketuai oleh Kepala Bappeda DIY.
Tiga nama akademisi tersebut adalah Pakar Bioteknologi UGM, Prof Irfan Dwidya Prijambada, Pakar Epidemologi UGM, Riris Andono Ahmad, dan Rektor UII, Fathul Wahid yang merupakan Pakar Sistem Informasi. Satu perwakilan komunitas masyarakat adalah Ketua Forum Pengurangan Resiko Bencana (PRB), Rani Ayuhapsari.
Namun, pada Rabu (15/4), Rektor UII Fathul Wahid, saat dihubungi melalui Whatsapp menyatakan bahwa dirinya belum tahu SK Gubernur yang baru dan akan berusaha melacaknya ke kantor.
Pada Senin (13/4) Riris Andono Ahmad yang akrab disapa Doni yang dihubungi melalui Whatsapp juga menjawab singkat,”saya belum mendapat surat (SK Gub 78).”
Prof Irfan Prijambada yang dihubungi melalui telefon menjelaskan panjang bahwa dirinya tidak peduli masuk tim atau tidak yang jelas semua pihak harus gerak cepat. Pemerintah, kampus, masyarakat, rakyat harus gerak cepat.
“Sudahlah saya nggak ngarep masuk tim tim, saya ngrewangi masyarakat saja, nggak urusan sama beginian. Anda kabarin saya masuk tim, melihat SK Gub, lha malah kaget saya,” kata Irfan.
Irfan mengisahkan bahwa pekan lalu Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM Prof Taryo mengatakan bahwa dirinya masuk jadi anggota Satgas COVID, tapi setahunya yang dimaksud Prof Taryo adalah Satgas COVID UGM.
“Nah kalau di Satgas COVID UGM saya memang sudah masuk, saya kira Prof Taryo yang belum tahu lantas bilang ke saya. Kalau maksud Prof Taryo itu misalnya Satgas COVID Kepatihan saya malah belum tahu,” kata Irfan.
Hal yang berbeda diakui oleh Ketua Forum PRB, Rani Ayuhapsari. Sudah sejak SK Gub No. 64 keluar, Forum PRB telah menyiapkan diri untuk menghadapi COVID-19 dan telah membagi tim di 6 bidang sesuai SK Gub.
“Ketika SK Gub 78 ditetapkan kami langsung tahu karena memang sebelumnya kami terus koordinasi dan berkontribusi di bidang-bidang sesuai SK Gub sebelumnya. Kami intens komunikasi dengan Pak Sekda, Pak Biwara Kalag BPBD, dan Pak Danang Kabid Penanganan Darurat BPBD,” jelas Rani melalui sambungan telefon.
Setiap hari pukul 13.00 siang Rani mengaku telah rutin melakukan koordinasi dengan Tim Gugus Tugas yang lain.
“Maka bingung juga kalau ada yang belum tahu kalau masuk sebagai anggota Tim Gugus Tugas. Kalau Forum PRB memang sudah aktif dan terus berkoordinasi ya,” terang Rani.
Forum PRB yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat sipil, menurut Rani sudah terus terlibat dalam sekretariat maupun di semua bidang.
“Jadi PRB bukan saya saja. PRB kan anggotanya masyarakat sipil banyak elemen. Di Kesehatan kita ada, di semua sudah ada perwakilan kita kecuali ekonomi dan pendidikan memang belum ada. Tapi meski secara formal tidak ada, ada perwakilan kita yang juga terus koordinasi,” kata Rani.
Dalam Waktu Dekat Akan Dikumpulkan
Dikonfirmasi mengenai ketidaktahuan tiga akademisi yang belum tahu bahwa mereka masuk Tim Gugus Tugas meski SK Gub No. 78 telah keluar pada 8 April atau sudah seminggu lewat, Wakil Ketua Gugus Tugas penanganan Covid-19 DIY, Biwara Yuswantana, mengatakan bahwa sebenarnya secara informal Tim Gugus Tugas sudah meminta bantuan kepada nama-nama tersebut.
“Sebenarnya sudah kita sampaikan, pak minta bantuannya. Ya karena darurat kita gerak cepat ya, situasi tidak ada yang benar-benar ideal. Dalam waktu dekat ini kita akan ngepyake, jadi dikumpulkan semuanya,” jelas Biwara saat Jumpa Pers Gugus Tugas COVID-19 DIY di BPPD DIY, Rabu, (15/4) petang.
Terpisah, menjawab pertanyaan mengenai Rencana Kerja Gugus Tugas sesuai SK Gub yang baru, Humas Sekretariat Gugus Tugas Ditya Aji mengatakan bahwa saat ini sekretariat sedang menyusunnya.
“Rencana Operasi sebelumnya itu dengan dana Rp. 26 Milyar, kalau yang baru kan sudah Rp. 200-an Milyar, sedang disusun yang baru ini,” katanya.
Kecepatan dan Sense of Crisis
Dalam paparan panjang di telefon mengenai situasi hari ini, pada intinya Prof. Irfan Prijambada hanya berhadap ritme kerja yang birokratis dan kurang cepat harus segera dibenahi baik yang ada di pemerintahan, kampus, maupun di komunitas masyarakat. Sense of crisis dari seluruh pimpinan di pemerintahan, kampus, swasta, dan komunitas masyarakat harus diperkuat dan gerak cepat.
“Rakyat Jogja itu hebat, coba lockdown jadi download, wis pokokke gerak. Tapi ini kan harus ditemani, dibimbing, nah kita-kita ini kudu gerak cepat biar masyarakat terarah, dipimpin. Ini kita itu suasana perang lho, musuhe ora ketok, tapi perange tenanan, rakyat sudah siap perang, kita dan para pemimpin kudu ngarahke, ngewangi, cepet, ojo birokratis,” jelas Irfan yang saat ini juga memegang amanah di UGM sebagai Direktur Pengabdian Masyarakat.
Sekali lagi Irfan mengatakan bahwa yang masih birokratis bukan hanya pemerintahan tapi juga kampus dan juga swasta dan komunitas.
“Semua sama saja. Kampus misale kampusku dhewe, itu keputusan bikin laboratorium BSL2 itu ya kurang cepet,” kata Irfan.
Lab BSL2 adalah laboratorium yang bisa melakukan uji sampel pasien COVID-19.
Komposisi Tim Lebih Berat Birokrasi
Kecepatan dan Sense of Crisis yang diharapkan oleh Irfan sulit terlaksana jika komposisi tim Gugus Tugas COVID-19 DIY lebih berat diisi oleh birokrasi.
Hal itu salah satunya dikemukakan oleh Pakar Mitigasi Bencana dari Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno.
Eko percaya bahwa Gugus Tugas DIY telah bergerak, hanya kemampuan bergerak gugus ini boleh jadi tidak secepat yang rakyat bayangkan apalagi yang rakyat inginkan sementara permasalahan bertambah cepat dibanding pergerakan gugus. Nah, bagaimana agar permasalahan berkurang, di satu sisi gerak permasalahannya bertambah, paling sederhana bisa dilihat dari komposisi jumlah masing-masing komponen dalam formasi pentahelix Gugus Tugas.
“Hitung saja dari sisi jumlah, birokrat berapa, pengusaha, akademisi berapa, wakil masyarakat berapa, media berapa. Itu akan secara genuine memperlihatkan pola gerak dari Gugus Tugas,” kata Eko.
Komposisi Tim yang dibentuk berdasarkan SK Gub 78, baik di struktur komando maupun masing-masing bidang Gugus Tugas, dipenuhi oleh birokrat. Tiga akademisi, dan hanya 3 itu dari 6 bidang dan sekretariat, akademisi mengisi ruang. Itu pun sampai Rabu (15/4) tidak ada yang tahu bahwa mereka menjadi bagian dari Gugus Tugas.
Prof Irfan Dwidya Prijambada adalah Pakar Bioteknologi UGM, Riris Andono Ahmad, Pakar Epidemologi UGM, dan Rektor UII, Fathul Wahid, merupakan Pakar Sistem Informasi. Ketiganya tak tahu telah menjadi anggota Tim Perencana Gugus Tugas. Jadi, rencana operasi Gugus Tugas dengan dana sebesar Rp 200 milyar lebih yang kini sedang disiapkan, sama sekali tak melibatkan akademisi (apalagi pengusaha dan media).
Eko mengatakan hanya ada 2 urusan besar Tim Gugus Tugas yakni, pertama, urusan untuk menangani teman-teman yang positif atau mengarah ke sana, dan kedua urusan menurunkan kurva atau mencegah meluasnya COVID. Dan semuanya kini sedang bergerak sangat cepat.
Jadi, bagaimana mengharapkan kecepatan dan sense of crisis dari Gugus Tugas jika kenyataannya seperti di atas? Bagaimana menghitung situasi pandemi jika tak ada ahli epidemologi yang ada di tim perencana? Sudah sebulan pasien COVID-19 01 ditemukan dan Gugus Tugas dibentuk, siapkah Gugus Tugas menangani masalah lebih besar di depan mata?
“Silahkan hitung dan tafsirkan sendiri,” kata Eko. (ES Putra / Widi Erha Pradana / YK-1)
Keterangan Redaksi : Untuk pertimbangan relevansi dengan materi berita, Judul semula, “Tiga Anggota Tim Gugus Tugas DIY tidak Tahu Kalau Mereka Masuk Tim” diubah menjadi “Komposisi Gugus Tugas DIY Sangat Birokratis.”