Kisahku Menelusuri Kondom Tahun Baru 2020 di Yogyakarta

Kisahku Menelusuri Kondom Tahun Baru 2020 di Yogyakarta

Di antara kabar razia kondom di berbagai kota, aku menyusuri minimarket-minimarket dan apotek di Yogyakarta, khususnya dekat kampus-kampus besar. Sumpah, aku masih perjaka dan konservatif banget buat urusan seks sehingga pengin tahu urusan kondom, rasanya bikin geli.

Rasa ingin tahu menuntunku menyusuri jalanan Jogja yang sudah semakin padat jelang berakhirnya tahun 2019. Aku sampai di depan Kimia Farma di Jalan Colombo, depan UNY. Canggung sekali rasanya, terlebih saat melihat ke dalam apotek yang berdinding kaca, semua petugasnya adalah perempuan yang mayoritas seusiaku, dan aku harus tanya-tanya tentang kondom –menyebutnya saja lidahku rasanya kelu.

Tapi rasa ingin tahu harus dituntaskan, aku tak mau tidurku malam nanti tak nyenyak karena dibayangi penasaran. Aku tarik napas dalam, lalu aku hembuskan. Sekuat tenaga aku turun dari sepeda motor, lalu berjalan perlahan memasuki apotek. Canggung sekali rasanya.

“Maaf mas, kalau mau tanya-tanya sama ambil data, harus ngurus izin dulu ke kantor pusat,” jawab seorang apoteker yang tengah bertugas setelah sekuat tenaga aku jelaskan maksud kedatanganku ke sana.

Ah sial, baru pertama sudah ditolak. Apa mbaknya enggak tahu, bagaimana aku melawan perasaan yang bergejolak? Tak mungkin mengurus surat izin, aku mencoba bertanya lagi ke apotek kompetitor Kimia Farma, yakni Apotek K24 di Jalan Gejayan. Tapi, lagi-lagi penolakan dengan alasan yang sama aku dapatkan.

Penjualan Meningkat

Kisahku Menelusuri Kondom Tahun Baru 2020 di Yogyakarta
Rak kondom di minimarket. Foto : Widi Erha

Tenang, jika benteng terlalu kuat, maka kitarilah. Jika apotek tak bisa, aku masih bisa mengitari minimarket-minimarket yang banyak tersebar di pinggiran jalan. Pertama, tujuanku adalah Alfamart Gejayan, celakanya petugasnya lagi-lagi perempuan muda. Karena situasi saat itu sepi, aku beranikan saja masuk, toh sudah kepalang tanggung, masa pulang hanya membawa dua kali penolakan.

Tak disangka, meski saya bukan mau membeli barang, tapi kasir yang belakangan aku tahu bernama Elisa tetap melayani saya dengan ramah. Meski agak malu-malu, dia bercerita bagaimana penjualan kondom di minimarket tempatnya bekerja.

Pada hari-hari biasa, tak banyak yang membeli kondom di minimarket itu, bahkan sering tak terjual satupun. Terjual lima buah dalam sehari kata Elisa bukan jumlah yang biasa, jarang-jarang kondom di minimarket itu bisa terjual sebanyak itu.

“Kalau seminggu terakhir ya, sehari bisa sampai lima, kalau hari biasa jarang sih. Paling kalau malam Minggu. Tahun baru banyak yang beli,” kata Elisa sembari tertawa kecil.

Seperti biasa, tak jauh dari Alfamart bisa dipastikan ada pesaing utamanya, siapa lagi kalau bukan Indomaret. Ternyata di minimarket itu juga terjadi hal serupa, dimana penjualan kondom mengalami peningkatan. Yang biasanya hanya terjual dua sampai tiga, menjelang tahun baru ini, dalam beberapa hari terakhir penjualannya bisa mencapai 10 buah.

“Semingguan ini ya lima sampai 10 lah (sehari). Kalau sekarang dari pagi belum ada (yang beli), nanti malem paling. Pembeliannya ya anak-anak muda, mahasiswa,” kata Yani yang agak canggung seperti Elisa.

Mungkin karena dilewati jalan besar, jadi tak terlalu banyak yang beli kondom di situ, pikirku. Aku lalu mencari minimarket yang agak jauh dari keramaian dan cukup sepi. Alfamart Pringgondani jadi tujuanku berikutnya.

“Kalau biasanya setiap hari belum tentu ada yang beli, tapi ini kan deket tahun baru, banyak (yang beli),” kata Hani dengan suara yang dipelankan di akhir kalimat, dan lagi-lagi diikuti senyum malu.

Di hari-hari biasa, kata dia sangat jarang ada mahasiswa atau mahasiswi yang membeli kondom di minimarketnya, paling hanya satu atau dua, bahkan sering juga tak laku satupun. Tapi mendekati tahun baru ini, dalam sehari penjualannya bisa sampai lima buah.

Dari tiga minimarket yang aku datangi, ternyata penjualannya hanya ada di kisaran lima sampai 10, jauh dari bayanganku saat pertama membaca berita ada razia segala.

Dalam perjalanan pulang, tak sengaja aku melewati Apotek K24 Demangan. Masih penasaran, aku kembali mencoba keberuntungan ketiga kalinya untuk tanya ke apotek. Siapa tahu, jumlah kondom yang dijual di apotek lebih banyak ketimbang di minimarket.

Usahaku tak sia-sia, kali ini sang apoteker bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Tapi, asumsi awalku ternyata meleset, penjualan kondom di sana justru lebih sedikit, di kisaran dua sampai lima sehari. Liburan akhir tahun ini juga tak berdampak pada penjualan kondom di sana.

“Tahun baru sama aja sih, mungkin banyaknya malah di Indomaret. Kan mungkin malu juga, kalau di sini kan harus ngomong,” kata Estri, apoteker yang bertugas saat itu.

Aku jadi penasaran, ingin sekali lagi melakukan riset kecil tentang kondom ke minimarket. Sembari pulang, aku mampir ke Circle K Gejayan yang kebetulan sedang agak sepi. Petugas kasir yang tengah berjaga juga laki-laki, aku jadi tidak terlalu canggung untuk tanya-tanya.

Radik, kasir yang berjaga saat itu mengatakan penjualan kondom di Circle K Gejayan ternyata cukup tinggi. Di hari-hari biasa, penjualan kondom di tempatnya bisa menyentuh angka lima sampai tujuh buah.

“Kalau mau liburan itu agak naik, rata-rata bisa 15-an. Kalau weekend atau liburan tanggal merah memang selalu naik,” kata Radik.

Menjelang tahun baru seperti sekarang, dalam beberapa hari terakhir orang yang membeli kondom di minimarket itu naik sampai dua kali lipat.

“Bisa sampai 30-an rata-rata mas (pas liburan tahun baru),” lanjut Radik.

Dari sekian minimarket dan apotek, ternyata yang terakhir ini juaranya. Ternyata benar, kita tak pernah tahu di usaha ke berapa kita akan sukses mendapat hasil yang memuaskan. Kita hanya perlu satu hal saja: pantang menyerah.

Malu-malu Beli Kondom

Kisahku Menelusuri Kondom Tahun Baru 2020 di Yogyakarta
Kondom Foto: Thinkstock

Dari beberapa minimarket dan apotek yang aku singgahi, pembeli kondom ternyata tak hanya orang-orang dewasa yang sudah usia 30-an. Sebagian besar justru para pemuda usia 20-an yang diperkirakan oleh para petugas minimarket adalah mahasiswa. Oke, bukan sesuatu yang mengagetkan untuk aku. Tapi ada kisah-kisah lucu yang diceritakan para kasir minimarket ketika melayani pembeli kondom, terutama yang usianya masih muda.

“Kalau yang masih muda itu malu biasanya, belinya kalau enggak ada customer lain. Jadi nunggu di luar dulu, kalau sepi baru beli,” kata Radik.

Elisa punya cerita lain lagi, dia kerap menemui anak-anak muda yang membeli kondom di minimarket tempatnya bekerja akan mengatakan kalau kondom itu adalah titipan temannya.

“Tapi sebenernya ya sudah tahu sih (kalau dipakai sendiri),” ujar Elisa menceritakan pengalamannya.

Cerita unik lagi dialami oleh Hani. Ketika membeli kondom, anak-anak muda yang dia perkirakan adalah mahasiswa itu tak pernah langsung membeli ke kasir. Mereka akan memutar dulu, pura-pura mencari barang lain, alih-alih langsung membeli ke kasir. Padahal kondom itu dijual di etalase dekat kasir.

“Jadi muter dulu, baru tanya, kondom di mana? Atau kadang sekalian beli Aqua atau cemilan,” kata Hani.

Berbeda dengan pembeli-pembeli yang lebih tua, kisaran 30 sampai 40 tahun. Ketika membeli kondom, mereka akan langsung datang ke kasir tanpa basa-basi.

Untuk kedua tipe konsumen itu, mahasiswa dan non mahasiswa – merk paling laris adalah yang paling murah.

“Paling laris itu yang Sutra sama Fiesta, yang isi tiga, karena murah. Jarang yang beli Durex, orang tertentu saja biasanya, yang sudah dewasa,” kata Radik.

Pakai Kondom Biar Tak Gendut

Ternyata bagi sebagian orang, terutama anak muda, membeli kondom juga masih menjadi hal yang tabu. Dudung (tentu saja bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa usia awal 20-an di Jogja mengakui, kadang masih ada rasa malu juga ketika membeli kondom. Hal itu tidak lain karena stigma miring tentang anak muda beli kondom yang masih cukup kuat di tengah masyarakat kita. Apalagi kondom biasanya dijual di lokasi yang ramai dan terbuka, yakni di dekat kasir.

Padahal, baginya yang sudah melakukan aktivitas seksual secara aktif, pemakaian kondom ketika berhubungan badan sangat penting.

“Lebih biar enggak hamil sih, untuk urusan kesehatan nomor 2. Lagian, begituan kan cuma ama pacar, jadi kenapa takut penyakit. Jadi yang paling penting biar nggak hamil itu,” kata Dudung.

Berbeda dengan pasangan Dudung. Diceritakan Dudung, bahwa pacarnya selalu mewajibkan dia memakai kondom ketika berhubungan badan lebih pada alasan berat badan, selain juga untuk mencegah kehamilan. Kalau untuk mencegah kehamilan saja, sebenarnya bisa menggunakan pil KB, namun Dudung dan pasangannya lebih memilih kondom sebagai alat kontrasepsi.

“Kan katanya (pil KB) bisa bikin gemuk, jadi dia (kekasih Dudung) lebih milih pakai kondom aja,” lanjutnya.

Bagi Dudung dan sang kekasih, malam tahun baru menjadi momen yang tepat untuk bercinta. Tak ada filosofi-filosofi romantika yang rumit, alasannya sederhana: ketika tahun baru ada alasan untuk keluar malam dan pulang pagi.

Sampai kembang api dan petasan ramai dinyalakan di jalanan Jogja, aku gagal bertemu dengan mahasiswa aktif sex yang mau diwawancara, selain Dudung.

Aku membuka-buka Google, membaca lagi razia kondom. Lalu tetikus mengarahkan ke catatan Dinas Kesehatan DIY : sejak 1993 sampai 2018, ada 4.781 kasus HIV di Jogja, dengan 1.647 di antaranya mengidap AIDS. Berdasarkan kelompok umur, penderita HIV dan AIDS didominasi oleh warga yang berusia 20 hingga 39 tahun.

Aku teringat Dudung dan pacarnya. Aku teringat ribuan yang bukan Dudung yang malam ini barangkali tak menggunakan kondom. (Widi Erha Pradana / Anasiyah Kiblatovski / YK -1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *