Kenapa Physical Distancing Lebih Tepat Ketimbang Lockdown Menurut Peneliti AS

Kenapa Physical Distancing Lebih Tepat Ketimbang Lockdown Menurut Peneliti AS

Ketika pemerintah dan tenaga kesehatan sedang sibuk bekerja mengendalikan penyebaran coronavirus dan merawat orang yang terifeksi, para peneliti menggunakan keahliannya untuk memperkirakan seberapa menularnya penyakit itu, seberapa jauh penyebarannya dan seberapa mematikankah COVID-19 sebenarnya. Semua pihak yang menjadi penyusun keberadaan sebuah negara harus bekerja sama dalam perjuangan melawan coronavirus, sesuai dengan keahlian di bidangnya masing-masing.

Seperti yang disarankan para pakar, masyarakat secara individu bisa mengambil langkah pecegahannya sendiri-sendiri, termasuk secara rutin mencuci tangan, menutup mulut dan hidung ketika bersin atau batuk, dan membersihkan permukaan-permukaan yang sering disentuh, serta memeriksakan diri jika mendapati gejala COVID-19 dan melakukan karantina mandiri sebagai langkah penanganan.

Jika tanpa tindakan pencegahan untuk memperlambatnya, COVID-19 akan terus menyebar dengan eksponensial selama berbulan-bulan. Untuk memahami bagaimana penyebaran ini, sebuah tim dari the Washington Post memberikan simulasi terkait penyebaran virus dan tindakan pencegahan yang dilakukan.

Ini adalah perhitungan matematis, bukan ramalan, tulisan tersebut memperingatkan. Penyebaran virus bisa diperlambat, pakar kesehatan mengatakan, jika masyarakat mempraktikan “jarak aman sosial” dengan menghindari area publik dan membatasi pergerakan mereka. Cara ini diyakini ampuh menahan laju persebaran virus.

Tim ini menyebut penyakitnya sebagai ‘simulitis”, sebuah penyakit yang lebih gampang menular daripada COVID-19: siapapun yang terlibat kontak dengan penderita penyakit ini, akan menjadi sakit juga. Setiap orang yang sembuh tidak dapat menularkan simulitis kepada orang sehat atau menjadi sakit lagi setelah bersentuhan dengan orang yang sakit.

Simulasi mereka menemukan bahwa protokol yang oleh WHO sebut sebagai “physical distancing” ampuh untuk meredam laju penyebaran infeksi. Semakin sedikit orang yang bergerak, semakin sedikit pula orang yang tertular. Semakin luas jarak aman sosial dibuat, semakin banyak orang sehat. Cara ini diklaim lebih efektif dibandingkan dengan karantina atau lockdown yang secara ekonomi akan memakan biaya yang tak tertanggungkan bahkan ketika pandemi telah usai.

Simulitis memang bukan covid-19, dan simulasi-simulasi ini sangat menyederhanakan kompleksitas kehidupan nyata. Ada pergerakan manusia antar wilayah, kesiapan tenaga kesehatan, aktifitas perekonomian yang terhambat yang semuanya sama vitalnya, dan ada angka kematian selain angka jumlah orang yang terinfeksi dan yang sembuh.

Estimasi Kematian yang Tepat

Kenapa Physical Distancing Lebih Tepat Ketimbang Lockdown Menurut Peneliti AS
Foto : Pixabay

Eran Bendavid dan Jay Bhattacharya, peneliti kesehatan masyarakat dari Stanford Health Policy mengatakan bahwa perkiraan saat ini tentang tingkat kematian COVID-19 mungkin terlalu tinggi. Demikian dalam tulisannya di editorial Wall Street Journal. Tulisan ini membuat judul dengan sangat profokatif, “Is the Coronavirus as Deadly as They Say.” They merujuk pada WHO dan lembaga-lembaga terkait lainnya.

Argumen mereka dibuka dengan angka ketakutan pada COVID-19 yang didasarkan pada besaran angka kematian diperkirakan sebesar 2% hingga 4% orang dengan Covid-19 yang dikonfirmasi telah meninggal, menurut Organisasi Kesehatan Dunia dan lainnya. Jadi jika 100 juta orang Amerika akhirnya terkena penyakit ini, dua juta hingga empat juta bisa mati. Duo ini percaya bahwa angka estimasi di atas sangat cacat. Angka kematian sebenarnya adalah bagian dari total mereka yang terinfeksi (angka total akan jauh lebih tinggi dari yang teridentifikasi) yang kemudian meninggal, bukan kematian dari kasus positif yang diidentifikasi.

Banyak penderita infeksi yang tidak terhitung karena orang dengan gejala ringan cenderung untuk tidak memeriksakan diri ke dokter. Pada 17 Maret lalu, Sir Patrick Vallance, kepala penasehat ilmiah UK memperkirakan bahwa ada sekitar 55,000 kasus di UK, ketika jumlah kasus yang terkonfirmasi belum menyentuh angka 2.000. Selisih angka ini menjadi sangat krusial saat mencari besaran angka kematian.

Epidemi dimulai di Cina sekitar bulan November atau Desember. Kasus AS pertama yang dikonfirmasi termasuk seseorang yang bepergian dari Wuhan pada 15 Januari, dan kemungkinan virus masuk sebelum itu: puluhan ribu orang melakukan perjalanan dari Wuhan ke AS pada bulan Desember. Bukti yang ada menunjukkan bahwa virus ini sangat menular dan jumlah infeksi berlipat ganda setiap tiga hari. Benih epidemi pada 1 Januari menyiratkan bahwa pada 9 Maret sekitar enam juta orang di AS akan terinfeksi. Pada 23 Maret, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, ada 499 Covid-19 kematian di AS.

Duo ini memperkirakan ada enam juta kasus di AS saat ini, yang jika itu benar, maka akan menghasilkan tingkat kematian sebesar 0,01%, dengan asumsi jeda dua minggu antara infeksi dan kematian. Tingkat kematian yang rendah ini adalah alasan untuk OPTIMIS.

Sampel populasi dari Tiongkok, Italia, Islandia, dan AS memberikan bukti yang relevan. Pada atau sekitar 31 Januari, negara-negara mengirim pesawat untuk mengevakuasi warga dari Wuhan, Cina. Ketika pesawat-pesawat itu mendarat, para penumpang diuji untuk Covid-19 dan dikarantina. Setelah 14 hari, persentase yang dites positif adalah 0,9%. Jika ini adalah prevalensi di wilayah Wuhan yang lebih besar pada 31 Januari, maka, dengan populasi sekitar 20 juta, Wuhan yang lebih besar memiliki 178.000 infeksi, sekitar 30 kali lipat lebih banyak dari jumlah kasus yang dilaporkan. Maka, tingkat kematian setidaknya akan 10 kali lipat lebih rendah dari perkiraan berdasarkan kasus yang dilaporkan.

Lindungi Kelompok Paling Rentan

Kenapa Physical Distancing Lebih Tepat Ketimbang Lockdown Menurut Peneliti AS
Ilustrasi kelompok rentan. Foto: Pixabay

Bendavid dan Bhattacharya percaya bahwa pemerintah seharusnya terfokus pada melindungi kelompok yang paling rentan pada infeksi ini. Sumber daya rumah sakit perlu dialokasikan kembali untuk merawat pasien yang sakit kritis.

Dengan menyingkirkan segala faktor selain kesehatan, karantina paksa adalah cara terampuh untuk menghambat laju penyebaran virus. Namun dalam dunia nyata, langkah ini menyerap terlalu banyak energi dan membutuhkan kerja sama yang utuh dari semua komponennya untuk menjamin kesuksesannya.

Seperti Lawrence O. Gostin, seorang profesor hukum kesehatan global di Georgetown University, mengatakan: “kebenarannya adalah jenis lockdown yang itu sangat jarang dan tidak pernah efektif.”

Cara ini (lockdown) bergantung penuh pada tingkat ketaatan warga dan kemampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pokok warga serta menegakkan aturan. Cara yang lebih mudah adalah, tidak perlu keluar rumah, sebisa mungkin menghabiskan waktu lebih lama di rumah, hingga wabah ini surut dan mengecil. Ini sudah terbukti di masa lalu. Yakni, pada pandemi flu 1918. Demikian penutup dari Eran Bendavid dan Jay Bhattacharya, duo peneliti kesehatan masyarakat dari Stanford Health Policy. (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *