Warsan, pemuda berusia menjelang 30 tahun, akhirnya menginjakkan kaki di Terminal Giwangan setelah belasan jam berada di dalam bus dari Jakarta. Selain Warsan, hanya ada dua orang lain yang turun dari bus itu, itupun hanya penumpang biasa, bukan pemudik dari luar kota seperti Warsan.
Turun dari bus, Warsan langsung menuju ke westafel yang telah disediakan oleh Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta untuk mencuci tangan.
Tak banyak barang yang dibawa oleh Warsan, layaknya pemudik pada umumnya: hanya ransel hitam yang ukurannya tak terlalu besar dan tas selempang. Selesai mencuci tangan, Warsan menuju ke pintu disinfektan untuk menyeterilkan tubuhnya sebelum ke tempat pendataan yang dijaga oleh dua orang petugas dari Dishub Kota Yogyakarta. Suhu tubuhnya diperiksa, dan semua normal. Setelah didata oleh petugas, Warsan bisa bergegas melanjutkan perjalanan menuju kampung halamannya.
“Dari Jakarta, mau ke Banguntapan (Bantul),” ujarnya, Kamis (23/4).
Sebenarnya ada rasa takut dalam diri Warsan ketika memilih untuk pulang kampung di tengah pandemi. Namun keadaan di tanah rantau yang makin sulit, membuatnya memberanikan diri untuk pulang kampung.
Biasanya Warsan pulang ke kampung halamannya beberapa hari menjelang lebaran. Namun tahun ini, dia pulang lebih cepat, tepat sehari sebelum bulan Puasa. Alasannya, sudah hampir dua pekan ini rumah makan yang merupakan tempat kerjanya di Jakarta tutup, sehingga dia tidak punya penghasilan. “Uang sudah mulai nipis, daripada nanti makin susah mending pulang aja,” lanjutnya.
Dipaksa Keadaan

Rasa takut Warsan karena ada kemungkinan membawa virus ke kampung halaman, kalah dengan rasa takut menjalani hari-hari sendiri yang tentu akan makin sulit ke depan. Di rumah setidaknya dia tidak perlu pusing memikirkan apa yang bisa dimakan setiap hari, meski sama-sama tak ada ada pemasukan juga.
“Apalagi ini kan sudah mau puasa, seenggaknya ada keluarga lah,” ujar Warsan.
Warsan memang belum berkeluarga, di kampung, dia masih tinggal bersama orangtuanya. Sementara di Jakarta, dia tinggal satu kontrakan dengan tiga temannya yang kini juga sudah pulang kampung semuanya.
Saat ini, akses untuk keluar masuk Jakarta menurutnya sudah mulai sulit dan ke depan kemungkinan akan makin sulit lagi. Pasalnya Presiden Joko Widodo telah mengatakan akan melarang semua perantau untuk mudik, setelah sebelumnya telah mengeluarkan larangan kepada ASN, TNI, Polri, serta pegawai BUMN untuk mudik. Maka sebelum askes mudik benar-benar dilarang oleh pemerintah, dia ambil keputusan cepat untuk segera pulang ke kampung halaman meski nantinya dia juga belum punya rencana mau ngapain.
“Saya mikirnya yang penting pulang dulu lah. Seenggaknya di rumah nanti bisa bantu-bantu apa, atau ke kebun, atau ngapain aja lah. Yang penting sudah bisa pulang, lega,” katanya.
Warsan tak tahu di media sosial warganet sedang ramai mempercakapkan pandangan Presiden Joko Widodo mengenai perbedaan antara pulang kampung dan mudik di sebuah acara televisi Rabu (22/4) malam.
“Biasalah kalau medsos kan pada ngomong seenaknya, kita yang jalanin berat pokoknya nggak mau ikut debat,” katanya.
Kangen Kalahkan Rasa Takut

Siang itu, Terminal Giwangan benar-benar sepi. Kata seorang pedagang di terminal, situasi itu sudah berjalan sekitar sepuluh hari terakhir, dan kemungkinan akan makin sepi karena besok sudah mulai bulan Puasa.
Bus-bus yang lewat kebanyakan juga tanpa penumpang. Entah karena memang sejak berangkat sepi atau mungkin sudah turun di tengah jalan. Namun yang jelas, bus-bus yang masuk ke Terminal Giwangan hanya satu dua yang menurunkan penumpang. Penumpang yang turun juga hanya penduduk setempat yang memang sering menggunakan bus untuk bepergian, bukan pemudik dari luar kota.
Di ruang tunggu, dua orang pemudi tampak duduk dengan tatapan kosong. Mereka Silvia Agustin dan sang adik yang tengah menunggu jemputan orangtuanya.
Sudah sekitar setengah jam Silvia sampai di Terminal Giwangan untuk pulang ke rumahnya di daerah Monjali (Monumen Jogja Kembali). Dia adalah pelajar kelas 1 SMK di Ngawi, Jawa Timur, yang akhirnya memutuskan untuk pulang kampung karena sekolah sudah diliburkan hingga Juni mendatang.
“Pengin ketemu keluarga di sini, kangen sudah lama enggak pulang,” ujar Silvia.
Silvia juga tidak terlalu mengkhawatirkan virus corona. Ketika kebanyakan orang memutuskan untuk tidak pulang kampung karena takut menjadi pembawa virus, Silvia mengatakan tidak takut asalkan telah melakukan semua protokol kesehatan. “Enggak (takut). Yang penting tahu aturan, pakai masker,” kata dia.
Sementara itu, di Stasiun Lempuyangan suasana jauh lebih sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang mengurus pembatalan tiket. Salah seorang petugas di stasiun mengatakan, nyaris semua perjalanan di Stasiun Lempuyangan juga sudah ditiadakan sementara karena pandemi. Yang tersisa kini tinggal kereta lokal seperti Prambanan Ekspress dari Solo ke Kutoarjo dan sebaliknya, itu pun tinggal beberapa perjalanan saja. (Widi Erha Pradana / YK-1)