Kejaran Cicilan Motor Lebih Menakutkan Ketimbang Virus Corona

Kejaran Cicilan Motor Lebih Menakutkan Ketimbang Virus Corona

Seperti biasanya, sore tadi, palang kereta Patukan di Jalan Sidoarum-Gamping, Sleman ramai dikunjungi orang. Ada yang duduk-duduk di rel kereta, ada yang sedang asik mengobrol, ada juga yang sedang mengelilingi penjual jajanan, menunggu pesanannya selesai dibuat.

Semua tampak bahagia, ceria tanpa beban. Ketika sirine palang kereta api berbunyi, kebanyakan dari mereka menghentikan aktivitasnya. Mereka berdiri, menghadap rel, menanti datangnya kereta. Canda tawa mereka lenyap seketika, setiap kali kereta lewat dengan suaranya yang melahap semua suara lain.

Hanya beberapa detik, semua kembali normal setelah gerbong terakhir kereta melewati mereka. Aktivitas kembali dilanjutkan.

“Wooo, dua minggu?” jawab Cak Ipul, 30 tahun, kaget ketika saya tanya siapkah dia jika dua pekan tidak boleh kerja di luar rumah.

Ya, pandemi virus corona atau Covid-19 dari hari ke hari makin meresahkan masyarakat. Penambahan jumlah korban, ketidakjelasan sikap pemerintah padahal di seluruh dunia kabar terakhir dampak virus berlalu lalang di media sosial, masih ditambah hoax, adalah daftar panjang warga musti mereka-reka sendiri nasibnya. Mau tidak mau, skenario lock down musti dibayangkan akan menjadi salah satu pilihan kenyataan yang kemungkinan bisa terjadi.

Kerja Hari ini Untuk Makan Esok Hari

Kejaran Cicilan Motor Lebih Menakutkan Ketimbang Virus Corona
Supriyadi, tukang ojek online. Foto: Widi Erha

Cak Ipul adalah salah seorang penjual jajanan keliling yang saat itu sedang mangkal di area palang kereta Patukan. Cukup lama berpikir, pria asal Madura yang menjual sate ayam itu akhirnya melanjutkan. “Kalau dua minggu (tidak boleh kerja), ndak bisa mas. Soalnya kebutuhan banyak,” lanjutnya.

Jawaban serupa saya peroleh dari Barmin, 44 tahun, penjual cilok keliling. Dia bahkan tak bisa membayangkan jika tidak bekerja selama dua pekan.

“Hasilnya kan cuma bisa buat hidup sehari. Kalau dua minggu ndak jualan, lha gimana makannya?” jawab Barmin.

Saya mengobrol dengan salah seorang tukang ojek pangkalan di depan Pasar Gamping. Yono namanya, pria berusia 57 tahun. Sore itu dia masih menunggu penumpang yang ingin menggunakan jasanya. Sampai sore ini, dia baru mengantongi uang Rp 30 ribu dari dua penumpang. Lagi-lagi jawaban serupa saya peroleh dari dia.

“Waahhh, kok dua minggu. Sehari dua hari ndak kerja aja rumah repot kok. Hasil yang sekarang kan buat besok, kalau besok ndak kerja, besoknya lagi gimana?” jawabnya.

Jawaban persis lagi-lagi saya dengar dari Supriyadi, 44 tahun, tukang ojek pangkalan lain yang sore itu masih mangkal di simpang empat Demak Ijo.

“Dua minggu ndak kerja ya ndak makan mas,” ujar Supriyadi.

Menanggung Angsuran dan Kebutuhan Keluarga

Kejaran Cicilan Motor Lebih Menakutkan Ketimbang Virus Corona
Dede Herman, penjual batagor. Foto: Widi Erha

Karena perut keroncongan, saya mampir di sebuah penjual batagor di daerah Gamping, Sleman. Sembari menunggu pesanan, saya mengobrol dengan Dede Herman, pemuda 26 tahun asal Majalengka yang tidak lain adalah penjual batagor itu.

Sehari, dia bisa mengantongi sekitar Rp 200 ribu. Untuk mencukupi kebutuhan pribadinya, makan, rokok, bensin, dan lain-lain, habis Rp 100 ribu. Sisanya dia kirimkan ke keluarga di kampung untuk kebutuhan hidup dan sekolah keponakannya.

“Tapi kan ada cicilan motor juga, Rp 650 ribu sebulan. Kejaran tagihan cicilan motor lebih berat dari ancaman corona, mas,” katanya sambil tertawa.

Cak Ipul lebih berat lagi. Setiap bulan, dia juga harus mengangsur bank sebesar Rp 1,2 juta. Tak hanya angsuran bank, dia juga ikut arisan di dua kelompok sekaligus. Satu kelompok Rp 1 juta, satunya lagi RP 300 ribu.

“Sehari kalau rame (untungnya) ya Rp 200 ribu. Tapi kan ndak pasti lah mas,” ujarnya.

Supriyadi, Yono, dan Barmin mungkin tak punya tanggungan seperti Dede dan Cak Ipul. Namun penghasilan mereka juga jauh lebih kecil. Sebagai tukang ojek pangkalan, Supriyadi dan Yono tak pernah punya angka pasti berapa uang yang bisa mereka bawa pulang sehari.

Kadang kalau pas banyak penumpang, mereka bisa membawa pulang uang sampai Rp 50 ribu. Sayangnya lebih sering kurang dari itu.

“Kalau pas ndak ada penumpang ya ndak bawa uang. Susah sekarang nyari penumpang,” kata Supriyadi.

Padahal, Supriyadi harus menanggung kebutuhan keluarganya, seorang istri dan dua orang anak yang masih duduk di kelas 3 SMP dan 2 SD. Tanggungan Yono juga tidak kalah berat, selain untuk mencukupi kebutuhan sehari-jari keluarganya, dia juga masih harus membiayai sekolah dua anaknya yang masih SMP dan SMA.

“Tetap ndak bisa mas. Ndak ngerti gimana kalau dua hari ndak kerja. Udah kerja saja masih susah,” ujar Yono.

Tak Ada Tabungan

Dari beberapa orang yang saya ajak mengobrol, hanya Dede Herman yang relatif aman dengan situasi tidak bisa kerja selama dua pekan. Tabungan Dede di rumah sudah terkumpul sekitar Rp 10 juta, lebih dari cukup untuk hidup selama dua pekan.

“Ya kalau bener-bener ndak boleh kerja, ya paling pulang. Kalau di sini malah buang-buang uang kan, kebutuhan banyak tapi ndak ada pemasukan,” ujar Dede.

Cak Ipul memang punya tabungan. Sayangnya tabungannya tak bisa menutup kebutuhan hidupnya dan keluarganya. “Tipis, ndak cukup lah kalau buat dua minggu,” kata dia.

Sama dengan Barmin, dia juga mengaku tidak memiliki banyak tabungan untuk hidup dua minggu tanpa pemasukan. “Ndak cukup lah mas,” ujarnya.

Supriyadi dan Yono bahkan mengaku tak punya tabungan sama sekali. Mereka berdua juga tak ada gambaran, bagaimana menyiasati supaya tetap bisa bertahan hidup jika tidak kerja selama dua pekan. “Ndak ada,” jawab Supriyadi singkat.

Supriyadi juga tak tahu, bagaimana dia dan keluarganya bisa makan jika dia tidak bekerja. Di sisi lain, dia juga takut jika tetap memaksakan bekerja malah bisa tertular Covid-19.

“Kalau ndak kerja ya ndak makan. Tapi kalau narik, takut juga. Kalau ketularan kan malah tambah repot,” lanjutnya.

Yono meminta, jika terpaksa harus ada pembatasan, tidak boleh keluar rumah dan bekerja, nasibnya dan orang-orang sepertinya harus diperhatikan.

“Ya harus perhitungkan semuanya mas, terutama orang-orang kayak saya ini,” pintanya. (Widi Erha Pradana / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *