Jalan Sore: Jalan Siliwangi dan Upaya Rekonsiliasi Jawa-Sunda oleh Sultan HB X

Plang Jalan Siliwangi di simpang empat perempatan underpass Jombor.

Mitos bahwa laki-laki Sunda tidak boleh menikah dengan perempuan Jawa sudah hidup selama berabad-abad di tengah masyarakat. Kisah itu dikaitkan dengan Perang Bubat pada abad ke-14, ketika rencana pernikahan Hayam Wuruk dari Majapahit dan Dyah Pitaloka dari Pajajaran berakhir tragis. Ratusan tahun kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono X mencoba merajut kembali hubungan dua suku besar itu lewat penamaan sejumlah ruas jalan di Yogyakarta.

Lain Versi dan Tafsir Perang Bubat

Versi paling populer dari Perang Bubat menyebut, utusan Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan kerajaan. Namun di tanah Bubat, rombongan itu justru diserang pasukan Majapahit. Raja Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa, tewas dalam sebuah duel. Kesedihan luar biasa membuat sang putri, Dyah Pitaloka, melakukan sati atau pengorbanan diri. Kisah itu kemudian melahirkan mitos bahwa hubungan antara Jawa dan Sunda tidak akan pernah akur.

Namun, tafsir atas kisah Bubat tidaklah tunggal. Sejumlah sejarawan percaya peristiwa itu memang terjadi, sebagaimana tercatat dalam Kidung Sunda, Kidung Sundayana, dan Pararaton. Adapun sebagian lainnya menilai, “perang” yang terjadi di Bubat bukanlah perang dalam arti permusuhan (kutayudha), melainkan ritual pengorbanan atau simbol pengabdian (dharmayudha). Hal ini seperti diyakini oleh filolog KRT Manu J Widyaseputra atau Romo Manu, yang menyebut peristiwa Bubat sebagai bagian dari ritual Ranayajna untuk menjaga keseimbangan ekologi di Nusantara.

Perbedaan tafsir itu menunjukkan kompleksitas kisah Bubat yang lebih dari sekadar cerita dendam antara dua kerajaan. Bagi Sri Sultan HB X, kisah tersebut tidak seharusnya diwariskan sebagai konflik antarsuku. 

Pandangan itu kemudian diwujudkan dalam langkah simbolik: memberikan nama Siliwangi, yang diambil dari Prabu Siliwangi sang pemimpin Kerajaan Sunda, pada ruas jalan Ring Road Barat Jogja. 

Simbol Rekonsiliasi di Ring Road Barat
Peresmian nama jalan arteri untuk ruas jalan Ring Road Yogyakarta, Selasa, 3 Oktober 2017. Foto: Sekretariat Daerah Kabupaten Sleman.

Sejak Indonesia merdeka, baru kali ini Yogyakarta memiliki jalan bernama Siliwangi. Sultan HB X memberikan nama itu bersamaan dengan Jalan Pajajaran, Majapahit, dan Brawijaya di ruas lain Ring Road. Penamaan jalan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur DIY Nomor 166/KEP/2017, yang menjadi bagian dari pembaruan tata nama jalan arteri Yogyakarta.

Dengan demikian, seluruh lingkar luar kota Yogyakarta kini membawa nama-nama empat kerajaan besar Nusantara:

  • Jalan Siliwangi (Ring Road Barat), dari Simpang Empat Pelemgurih hingga Simpang Empat Jombor.
  • Jalan Pajajaran (Ring Road Utara), dari Simpang Empat Jombor sampai Simpang Tiga Maguwoharjo/
  • Jalan Majapahit (Ring Road Timur), dari Simpang Tiga Janti sampai Simpang Empat  Jalan Wonosari.
  • Jalan Brawijaya (Ring Road Selatan), dari Simpang Empat Dongkelan hingga Simpang Tiga Gamping.

Bagi Sultan, penamaan jalan adalah bagian dari pembentukan identitas. Nama tak dipilih secara asal, melainkan berakar dari struktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sehingga dapat menjadi “tetenger” atau tanda yang membuatnya mampu dikenal sepanjang zaman. Sultan ingin menghadirkan simbol kesetaraan dan penghormatan terhadap empat kerajaan besar Nusantara: Majapahit dan Brawijaya dari Jawa, serta Pajajaran dan Siliwangi dari Sunda.

“Ini peristiwa penting dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya bagi Suku Jawa dan Sunda. Kedua suku ini merupakan dua suku besar di Indonesia. Keduanya punya sejarah yang sepertinya tidak selesai,” ujar Sultan dalam sambutan peresmian jalan kala itu, 3 Oktober 2017.

@pandanganjogjakultur

Pada 2017, Sri Sultan Hamengku Buwono X menamai ruas jalan Ring Road Barat Jogja dengan nama Jalan Siliwangi. Langkah ini bukan sekadar pemberian papan nama jalan, melainkan bagian dari upaya menyatukan kembali dua kebudayaan besar Nusantara: Jawa dan Sunda. “Ini peristiwa penting dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya bagi Suku Jawa dan Sunda. Kedua suku ini merupakan dua suku besar di Indonesia. Keduanya punya sejarah yang sepertinya tidak selesai,” kata Sultan HB X pada peresmian nama jalan arteri Jogja, 3 Oktober 2017 silam. Sultan merujuk pada peristiwa Bubat, yang banyak dipercaya sebagai awal mula perselisihan kedua suku, termasuk munculnya mitos larangan menikah antara laki-laki Sunda dengan perempuan Jawa. Nama Siliwangi diambil dari pemimpin Kerajaan Pajajaran. Penamaan jalan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur DIY Nomor 166/KEP/2017. Selain Jalan Siliwangi, ruas jalan Ring Road lain turut dinamai dengan unsur kerajaan besar di Jawa dan Sunda, seperti Jalan Majapahit (Ring Road Timur), Jalan Pajajaran (Ring Road Utara), dan Jalan Brawijaya (Ring Road Selatan). Empat nama itu dipilih sebagai simbol penghormatan terhadap kebesaran empat kerajaan yang pernah mewarnai sejarah Indonesia. Kini, Jalan Siliwangi membentang dari flyover Jombor hingga perempatan Pelemgurih. Di balik lalu lintasnya yang padat, jalan ini menjadi pengingat bahwa kesalahpahaman masa lalu dapat dijembatani lewat simbol sederhana, seperti sebuah nama di ruas jalan. Kamu punya cerita apa di Jalan Siliwangi alias Ring Road Barat? Tulis di kolom komentar, ya! Aset: Artikel: Pandangan Jogja Video: Pandangan Jogja #jalansiliwangi #ringroadjogja #perangbubat #flyoverjombor #pelemgurih

♬ original sound – pandanganjogjakultur – pandanganjogjakultur

Sultan meyakini, sentimen antara Jawa dan Sunda yang hidup di masyarakat tidak semata disebabkan oleh kisah Bubat. Menurutnya, hal itu merupakan warisan politik devide et impera penjajah Belanda yang menggunakan perbedaan etnis sebagai alat untuk memecah belah bangsa.

“Dengan penamaan jalan ini, semoga kehadiran para Gubernur sebagai representasi rakyat Sunda di Jawa Barat dan rakyat Jawa di Jawa Timur di mana Tragedi Bubat berlangsung, secara kultural bisa memulihkan kembali tali persaudaraan sebagai satu bangsa Indonesia yang bermartabat,” pungkas Sultan. 

Kini, Jalan Siliwangi membentang dari flyover Jombor hingga perempatan Pelemgurih, menjadi salah satu jalan arteri utama di Jogja bagian barat. Di sepanjang jalur ini, berdiri sejumlah kampus besar seperti Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, Universitas Jenderal Achmad Yani, Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, dan Universitas Teknologi Yogyakarta.

Di balik fungsinya sebagai jalur transportasi dan salah satu pusat pendidikan tinggi, nama Siliwangi di tanah Jawa menjadi simbol baru persaudaraan antara dua kebudayaan besar. Sebuah pengingat bahwa sejarah, sekompleks apa pun tafsirnya, tetap bisa dibaca ulang dengan cara yang adil dan berdasarkan pemahaman lintas budaya.