Handoko dan Janu Bicara Rumah, Pelaku Klitih Menyusuri Jalan Pulang

Handoko dan Janu Bicara Rumah, Pelaku Klitih Menyusuri Jalan Pulang

Sebuah pekan di pertengahan 2014, Handoko (nama samaran), sebentar lagi akan lulus SMA dari sebuah sekolah negeri di Yogyakarta.

Saat malam tiba, jalanan mulai sepi, dia bersiap patroli ke sekolah yang menjadi musuh bebuyutan sekolahnya. Pikirannya sedang kalut, kamera pinjamannya seharga Rp 6 juta hilang ketika sekolahnya bentrok dengan sekolah musuh siang tadi.

Dia ingin balas dendam. Dengan sepeda motor matiknya, Handoko keluar sendirian membawa sebilah golok dan tongkat besi. Sepanjang jalan pikirannya kalut, takut, marah, semua menjadi satu. Dia terus menimbang, menanyakan ke dirinya sendiri, benarkah dia akan melakukan hal itu?

“Susah dijelasin, pokoknya kalau nggak pakai doping, nggak mungkin tega,” kata Handoko mengenang kejadian lima tahun silam.

Sampai juga Handoko di sekolah yang dia tuju. Dia mulai mengelilingi sekolah itu, sembari mengamati bagaimana caranya dia lari nanti. Pikirannya semakin berkecamuk, nyalinya mulai kendur, tapi dia kembali teringat kameranya yang hilang. Kemarahan mengalahkan bisikan-bisikan yang mencoba mencegahnya.

Di kejauhan, tampak seorang anak SMA sedang berjalan di pinggir jalan. Dia memakai celana panjang abu-abu dan jaket. Handoko memarkirkan motor di tempat yang sekiranya aman dan terjangkau olehnya. Dia turun, jalan kaki menuju sasarannya. Tangan kirinya memegang golok yang dia sembunyikan di balik jaket.

Dari kejauhan, Handoko memanggil sasarannya dan mengumpat. Mendapat perlakuan secara tiba-tiba begitu, sasarannya tentu tak terima. Adu mulut tak bisa dihindarkan, umpatan demi umpatan saling dilemparkan.

Tak jauh dari situ, ternyata ada dua anak SMA lain yang merupakan teman si target. Tak terima, salah satu dari mereka langsung menghampiri Handoko, tanpa sadar dia sedang menjemput petaka. Ketika jarak keduanya hanya tinggal selangkah, secepat kilat Handoko mengeluarkan goloknya dan “crasshh”musuhnya langsung tersungkur setelah sebuah bacokan mendarat di pundak kanannya.

Dua orang lainnya langsung lari, menolong teman yang sudah bersimbah darah. Handoko, lari sekuat tenaga tanpa peduli bagaimana kondisi musuhnya itu. Di tengah pikiran yang semakin tak karuan, Handoko memacu sepeda motornya sekencang mungkin. Golok yang tadi dia pakai untuk membacok musuh, dia buang jauh-jauh di tengah jalan, tanpa berani melihat darah segar yang masih menempel di sana.

Tanpa sadar air matanya menetes, mengingat apa yang baru saja dia lakukan. Bukanya jadi lega karena dendam sudah terbalaskan, pikiran dan perasaannya malah makin tak karuan.

“Aku seminggu nggak berani keluar kampung. Nggak berani pulang juga, takut sendirian trus tiba-tiba dijemput polisi,” kata Handoko.

Awal Mula

Handoko dan Janu Bicara Rumah, Pelaku Klitih Menyusuri Jalan Pulang
Ilustrasi klitih. Kumparan

Tiga tahun usai Handoko melakukan apa yang kemudian dikenal sebagai klitih, Janu, 18 tahun, bukan nama sebenarnya, terbangun dari tidurnya saat dingin dini hari menusuk tulang.

Janu mendengar ayah dan ibunya sedang bertengkar. Dia mencoba memejamkan mata lagi, tapi keributan antara ayah dan ibunya yang saling melempar cacian dan umpatan tak mengizinkannya tidur.

Janu tak kuat, dia menutup telinganya dengan bantal, menekannya kuat-kuat agar tak mendengar pertengkaran orangtuanya. Tapi nihil. Suara-suara itu tetap dia dengar, bahkan kian menyiksanya.

Janu bangun dari tempat tidurnya, berjalan gontai menuju kamar mandi sekadar untuk buang air kecil, cuci muka, dan gosok gigi, tak butuh waktu 10 menit. Dia kembali ke kamar, mengganti pakaiannya dengan seragam putih abu-abu.

Hanya membawa tas berisi sebuah buku dan pulpen, serta dompet yang berisi uang tak seberapa, tanpa pamitan Janu berangkat ke sekolah. Jalanan masih lengang, asap kendaraan yang menyesakkan paru-paru belum terasa. Dia tahu, sepagi itu teman-temannya jelas belum ada yang datang di sekolah. Persetan, yang penting dia tak mendengar lagi pertengkaran kedua orangtuanya.

Namun tidak, cacian dan umpatan masih terus terngiang di telinganya, bahkan ketika gurunya sedang mengajar di depan kelas. Janu tak bisa fokus mengikuti pelajaran, pikirannya entah ke mana. Dia ingin marah, tapi marah pada siapa? Dia ingin protes, tapi siapa yang bisa dia protes?

Bel pulang sekolah berbunyi, bukanya senang Janu malah lesu. Dia begitu enggan pulang, dia tak mau dengar pertengkaran kedua orangtuanya. Dia lelah dengan semua itu. Akhirnya dia hanya pulang untuk ganti baju dan pergi lagi dengan sepeda motornya.

Dia menemui teman-teman sekolahnya, mencoba melupakan segala masalah dengan bercanda dan membahas hal-hal tak penting. Namun dari situ Janu justru mulai masuk ke dunia yang orang-orang sebut sebagai “kenakalan remaja.” Janu mulai sering ikut tawuran antarsekolah dan jarang pulang ke rumah. Ketika rumah seharusnya jadi tempat yang nyaman, Janu justru merasa rumahnya seperti neraka.

Pelampiasan, Bukan Eksistensi

Handoko dan Janu Bicara Rumah, Pelaku Klitih Menyusuri Jalan Pulang
Ilustrasi tawuran. Kumparan

Berbulan-bulan lamanya, ayah dan ibunya tak kunjung rukun, pertengkaran terus terjadi. Bergaul dengan teman-temannya juga sudah tidak bisa melipur lara. Suatu malam, di tengah lamunannya, tiba-tiba Janu terpikir untuk keluar menyusuri jalan mencari orang untuk diteror.

“Buat pelampiasan, udah nggak tahu harus ngapain,” kata Janu perlahan ketika kami temui di sebuah warung kopi di sudut Kota Jogja.

Saat itu sekitar pukul 10 malam, dia menyusuri sebuah jalan yang sudah cukup sepi. Dia tak sendirian, seorang teman membonceng di belakangnya. Dari kejauhan, tampak seseorang, entah siapa sedang berjalan sendirian. Pikirannya berkecamuk, dadanya berdebar dua kali lebih kencang.

Berkali-kali dia berpikir ulang, ada rasa takut yang menyelimutinya. Tapi sudah kepalang tanggung, mangsa sudah di depan mata. Janu memelankan laju sepeda motornya, mengamati sekitar untuk memastikan situasi aman untuk melakukan operasi.

Jarak dengan mangsa semakin dekat, situasi juga sudah dipastikan aman. Beberapa meter di belakang sasaran, tangan kirinya sudah mengepal, bersiap menghantam orang yang tak pernah Janu kenal.

“Bukkk,” hantaman keras mendarat di tengkuk orang tersebut.

Janu langsung memacu motornya secepat mungkin, takut ada yang mengejarnya. Dia tak peduli dengan kondisi sasarannya, yang dia pikirkan bagaimana pergi menghilangkan jejak secepat mungkin.

“Ya cuman pelampiasan, nggak ada pengin nunjukin eksistensi,” lanjut Janu.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 2017, saat Janu masih duduk di bangku kelas satu SMK swasta di Jogja. Hidupnya makin kacau ketika dia divonis penjara selama 11 bulan, bukan karena kasus klitih, melainkan pengeroyokan. Janu dan tiga temannya berkelahi dengan dua orang yang membuat masalah lebih dulu dengan mereka.

Tapi hukum punya caranya sendiri menentukan siapa yang salah, siapa yang benar. Karena jumlahnya lebih banyak, Janu dan tiga teman lainnya divonis melakukan pengeroyokan. Hidupnya makin berantakan, sekolahnya pun terbengkalai.

Sebenarnya Janu bisa saja lari dan sembunyi, itu yang dia lakukan setelah pengeroyokan. Namun dia hanya kuat sembunyi selama sehari. Perasaannya takut, air matanya menetes di tengah kekalutan itu.

“Saya menyerahkan diri mas, enggak kuat,” ujarnya mengenang kejadian sekitar dua tahun silam itu.

Dibentuk dari Masalah Keluarga

Handoko dan Janu Bicara Rumah, Pelaku Klitih Menyusuri Jalan Pulang
Ilustrasi korban tawuran. Kumparan

Janu dan Handoko tak saling mengenal. Pandangan Jogja @Kumparan menemui mereka di kesempatan yang berbeda pada pekan lalu.

Dari Handoko, kisah kehilangan kamera yang memicu pembacokan ternyata hanyalah ujung dari labirin kenyataan yang dimulai dari situasi keluarga di rumah.

Semasa sekolah dasar, Handoko dikenal sebagai siswa yang cerdas dan hampir selalu mendapat rangking satu. Namun di rumah, hubungan kedua orangtuanya justru mulai tak harmonis. Keributan demi keributan selalu terjadi nyaris setiap hari.

Puncaknya adalah saat Handoko pulang sekolah kalau SMP, di depan rumahnya ada beberapa mobil polisi. Ayahnya terlibat kasus kriminal.

Handoko terpuruk. Handoko mulai terlibat dengan geng-geng sekolah, tawuran, ricuh suporter, dan sebagainya.

Keterpurukannya memuncak setelah dia melakukan pembacokan. Dia benar-benar merasa takut, selalu paranoid ketika melihat polisi atau sekadar mendengar sirine mobil polisi. Dia sangat takut ditangkap polisi dan membuat nama keluarganya semakin tercoreng. Sebab, di keluarga besarnya, keluarganya merupakan yang paling sering dipandang sebelah mata.

“Akhirnya aku sadar, aku harus berubah, aku nggak mau keluargaku makin jelek namanya. Apalagi aku mulai kuliah dan ketemu temen-temen, jadinya mulai terbuka wawasannya,” ujarnya.

Handoko termasuk beruntung, tak sampai harus dipenjara dulu untuk menyadari tindakannya. Tak seperti Janu, yang harus mendekam di penjara anak hampir setahun untuk ‘tobat’. Meski begitu, Janu justru bersyukur, tanpa jeruji besi, mungkin dia kini masih terjerat di pergaulan hitam itu.

Di sana, Janu juga bertemu anak-anak yang bernasib serupa dengannya, dikurung karena kenakalan remaja, termasuk klitih.

“Hampir semuanya karena masalah keluarga mas, kalau dibilang buat cari eksistensi, salah itu,” kata Janu.

Sekarang, Janu mulai menata lagi masa depannya. Tak ada ambisi yang muluk-muluk, mimpinya kini sederhana: ingin membahagiakan orangtuanya.

“Pokoknya nanti kalau sudah lulus, aku penginnya kerja mas, apa saja. Yang penting bisa bahagiain orangtua,” jawabnya.

Janu telah pindah sekolah dan kini duduk di kelas 12 yang artinya sebentar lagi ia lulus. “Masa laluku memang kelam, tapi masa depanku masih suci. Jadi jangan dihakimi, kami butuh didukung dan dirangkul,” kata Janu.

Terasing dari Rumah dari Masyarakat

Handoko pun tak sepakat ketika pelaku klitih semata-mata dipandang sebagai pelaku kejahatan. Menurutnya, ada hal lain yang perlu dipahami lebih jauh, bahwa pelaku klitih juga korban dari sistem sosial yang mengasingkan mereka.

Pelaku klitih, meski dia juga tidak membenarkan tindakannya, tak seharusnya dihakimi dengan berbagai stigma yang justru semakin menjauhkan mereka dari jalan yang lurus. Mereka hanya orang-orang yang ingin protes atas kekacauan hidupnya, namun tak tahu harus protes ke siapa.

“Harusnya dirangkul, ditemani, ditanya punya masalah apa. Bukan malah dijauhi,” ujarnya.

Berkaca dari pengalaman pribadinya, menurutnya pelaku klitih juga merupakan korban dari keluarga yang tidak mampu membangun atmosfer keharmonisan. Anak-anak, terutama yang menjelang remaja, sangat butuh perhatian dari sosok orangtua. Jangankan perhatian kepada anak, ternyata masih banyak juga orangtua yang belum selesai dengan masalahnya sendiri, sehingga anak harus ikut menanggung masalah yang belum seharusnya dia tanggung.

Mungkin benar kata Joker: orang jahat adalah orang baik yang disakiti. Tapi ternyata kalimat itu sering digunakan sebagai dalih untuk membela tindak kejahatan.

“Orang baik ya akan tetap baik, meski berkali-kali disakiti. Kalau sudah baligh, harusnya kan sudah bisa berpikir, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan,” tegas Handoko.

Sampai hari ini Handoko masih dihantui rasa sesal mendalam. (Widi Erha Pradana / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *