Heboh munculnya anakan ular di berbagai daerah di Indonesia pada Desember 2019 ini sebenarnya telah menjadi kekhawatiran utama mantan Sekretaris Jendral (Sekjend) PBB, Kofi Annan, yang meninggal Agustus 2018. Persis sebelum meninggal, Kofi Annan sempat merekam amanahnya melalui media video terkait masalah besar ular bagi warga negara miskin di seluruh dunia.
Di video yang kemudian dipublikasikan melalui YouTube personalnya, Kofi Annan menyebut bahwa masalah kesehatan publik terbesar yang tidak pernah kita dengar adalah gigitan ular. Menggunakan tambahan frasa ‘yang tidak pernah kamu dengar’, menunjukkan betapa sedikitnya publikasi dan pengetahuan mengenai jumlah dan dampak yang diakibatkan oleh binatang melata ini. Berulang kali Kofi Annan menyebut situasi ketakacuhan dunia akan bahaya gigitan ular ini sebagai krisis.
Video itu diluncurkan melalui kanal pribadi Kofi Annan di YouTube pada 19 September 2018. Hari ini sudah setahun lebih video itu mengudara dan tercatat baru 186 kali ditonton. Apa yang ditakutkan Kofi Annan benar-benar terjadi. Kurang dari 200 orang yang melihat amanahnya sebelum meninggal. Bandingkan dengan data yang diungkap Kofi di videonya bahwa ular berbisa diperkirakan membunuh 81.000 – 138.000 jiwa setiap tahunnya dan mengakibatkan lebih dari 400.000 korbannya mengalami cacat fisik permanen.
Penyakit Tropis yang Terabaikan
Pada 2017, Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) menempatkan Envenoming Snakebite (SBE) dalam daftar prioritas Penyakit Tropis Terabaikan (NTD). Kebanyakan kasus terjadi di negara miskin, terutama di kawasan miskin yang tidak memiliki pengetahuan dan fasilitas penanganan pertama yang sesuai standar WHO. Menurut Global Snakebite Initiative, lembaga nirlaba Australia, SBE membunuh lebih banyak orang secara signifikan dibandingkan penyakit lain dalam kategori yang sama seperti Kolera dan Chagas.
Penawar racun ular atau antivenom adalah pengobatan yang efektif untuk mencegah atau membalikkan sebagian besar efek berbahaya dari gigitan ular. Antivenom dapat mengurangi kemungkinan kematian akibat gigitan ular hingga 90%. Antivenom termasuk dalam Daftar Obat Esensial WHO dan harus menjadi bagian dari paket perawatan kesehatan utama di wilayah di mana gigitan ular sering terjadi. Sayangnya faktanya tidak seperti itu.
Di Indonesia saja, antivenom masih sulit didapat, padahal Indonesia memiliki 76 ular berbisa dari 360 jenis total ular yang ada di sini. Kesulitan dalam memastikan regulasi dan pengujian antivenom yang tepat juga memengaruhi ketersediaan produk yang berkualitas dan efektif.
“Sehingga kasus gigitan ular ini sebenarnya merupakan salah satu dari 10 penyakit terbanyak di Indonesia namun selama ini cenderung diabaikan.”
Maka dari itu, pada Maret 2019 WHO lalu mengeluarkan strategi baru untuk memerangi kematian akibat gigitan ular ini dengan menargetkan pemberian 3 juta lebih banyak antivenom di seluruh dunia pada tahun 2030. Khusus untuk Afrika, yang merupakan wilayah miskin yang paling banyak memiliki kasus ular berbisa, WHO menargetkan distribusi 500. 000 antivenom selesai pada 2024.
Kenapa Kematian Terjadi di Negara Miskin?

Data mengatakan, meskipun banyaknya populasi ular berbisa yang hidup di sebuah negara tidak berbanding lurus dengan banyaknya kasus gigitan ular. Sebaliknya, setebal apa dompet penduduk di sebuah negara selalu berbanding terbalik dengan jumlah gigitan ular. Ya, kasus tergigit ular lebih sering ditemukan di negara miskin ketimbang negara kaya.
Ambil contoh, Australia adalah rumah bagi kebanyakan ular (paling) berbisa di dunia, namun angka kematian akibat gigitan ular sangat kecil. Di Ausy, dampak dari ular berbisa bisa diminimalisir lewat tindakan pencegahan dan akses perawatan yang cepat, ini meliputi penangan pertama yang tepat, ketersediaan penawar racun, dan pelayanan kesehatan di seantero negara.
Ahli toksinologi Universitas Melbourne, Ken Winkel, mengatakan penelitian antivenom Australia telah berlangsung lama sejak dimulai pertama kali di Melbourne pada 1890-an, dengan perusahaan biofarmasi CSL merilis antivenom pertama di Victoria pada 1930.
Dr Winkel yang juga menjabat direktur Australian Venom Research Unit (AVRU) juga mengatakan bahwa mengenakan sepatu boot adalah langkah pencegahan yang tepat. Sebagai contoh, Ular Coklat Australia yang dinyatakan oleh AVRU sebagai penyebab kematian nomor 1 di Australia, memiliki taring yang kecil dengan bisa yang kuat. Rata-rata korban yang tergigit tidak mendapat luka gigit yang serius, namun dengan sepatu boot, gigitan akan bisa dihindari dan kalaupun tergigit, dengan penanganan yang cepat dan tepat, kematian bisa dihindari.
Ancaman gigitan ular adalah masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting bagi 160 negara di dunia. Tapi, ancaman jauh lebih nyata di daerah pedesaan di negara tropis dan sub tropis yang terletak di Afrika, Timur Tengah, Asia, Oseania, dan Amerika Latin. Di daerah-daerah ini risiko gigitan ular menjadi perhatian sehari-hari, terutama bagi masyarakat pedesaan dan pinggiran kota di mana ratusan juta orang bergantung pada pertanian atau berburu untuk bertahan hidup.
Di negara miskin, sangat jarang seorang petani mengenakan boot atau gaiter atau sarung tangan ketika sedang berada di lahan pertanian, apalagi di area pemukiman.
Di Indonesia, Gigitan Ular Kalahkan Kanker

Sementara di Indonesia, setidaknya masih kurang dari 40 persen rumah sakit maupun puskesmas di Indonesia yang telah menerapkan standar WHO, sedangkan 60 persen lebih masih menggunakan cara-cara lama atau tradisional.
Berdasarkan data Remote Envenomation Consultant Service (RECS) pada 2017 penyakit akibat gigitan ular mencapai 135.000 kasus per tahun di atas kanker yang mencapai 133.000 per tahun.
“Sehingga kasus gigitan ular ini sebenarnya merupakan salah satu dari 10 penyakit terbanyak di Indonesia namun selama ini cenderung diabaikan,” kata Ahli toksinologi Tri Maharani yang juga Koordinator RECS Indonesia.
Pengetahuan mengenai jenis ular berbisa dan tidak, habitat dan karakternya adalah tindakan pencegahan awal yang penting. Salah mengidentifikasi ular atau mengira mereka akan kebal karena pernah tergigit sebelumnya atau paling parah malah tidak mengetahui apakah dirinya tergigit ular sampai semuanya sudah terlambat. Dan dalam beberapa kasus gigitan, nyawa melayang dalam hitungan beberapa jam pascagigitan.
Tidak semua ular seperti Kobra yang dengan baik hati memberi peringatan siap menyerang ada begitu banyak jenis ular berbisa kuat yang menyerang tanpa pemberitahuan atau memberikan pernyataan umum: menyerang hanya karena tanpa sengaja manusia berada di dekatnya.
Indonesia sebaiknya mengambil langkah tepat dengan banyaknya kasus kemunculan ular di Desember ini. Sosialisasi tentang habitat dan jenis-jenis ular, pencegahan, dan ketersediaan antivenom di puskesmas dan rumah sakit, is a must! (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)