Balqis Nabila tampak lelah, duduk di antara ribuan massa aksi di simpang tiga Jalan Gejayan, Yogyakarta, Senin (9/3). Keningnya basah oleh keringat, meski cuaca siang itu mendung. Balqis adalah mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma yang ikut turun ke jalan dalam aksi Gejayan Memanggil.
Saya ikut turun ke jalan dan bertanya pada 5 peserta aksi yang saya pilih dengan acak dengan perkiraan ada profil pribadi yang berbeda-beda dari kelimanya. Saya ingin melihat aksi Gejayan Memanggil kali ini dalam jarak sangat dekat, jarak 5 sentimeter dari kenyataan. Dan kelima peserta aksi ini bukanlah para pemimpin aksi, mereka peserta biasa saja, seperti saya.
“Yang paling disasar di sini (omnibus law) kan buruh, RUU Cilaka itu. Itu mengkhawatirkan sekali sih, kita dimainin sama pemerintah,” kata Balqis di tengah teriakan massa aksi menjawab pertanyaan saya tentang apa sebenarnya masalahnya dengan omnibus law.

Balqis juga merasa omnibus law sangat mengancam masa depan kaum perempuan, sebab upah kerja buruh akan dihitung per jam, bukan berdasarkan upah minimum lagi. Padahal, secara biologis, memiliki banyak kendala seperti haid, hamil, atau melahirkan.
“Kalau yang dihitung hanya efektifnya saja, maka perempuan yang paling dirugikan di sini,” lanjutnya.
Tak jauh dari Balqis, Baharudin Salim Amirul Ardi dan dua orang kawannya sedang duduk lesehan di aspal sembari mendengarkan orasi dari salah seorang orator. Sebagai mahasiswa, Ardi merasa terpanggil ke Gejayan di sela jam kuliahnya.
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNY itu menilai banyak sekali pasal-pasal di dalam omnibus law yang ngaco dan akan sangat merugikan kaum buruh jika disahkan.
“Kayak upah buruh yang akan diubah jadi perjam, kan jadi ndak pasti berapa uang yang bisa dibawa pulang nanti,” ujar Ardi.
Nasib Kampung Halaman

Hujan mulai turun, namun demonstrasi tetap berjalan. Pengeras suara terus berteriak-teriak. Buruh, petani, investor, omnibus law, adalah kata-kata yang paling sering terdengar dari pengeras suara itu.
Max, mahasiswa Hukum Universitas Janabadra baru saja tiba ke titik aksi. Dia adalah putra Papua asli, Sorong tepatnya. Di kampung halamannya, kerap terjadi sengketa lahan antara masyarakat adat dengan korporat dan aparat. Dengan disahkannya omnibus law, Max khawatir rakyat kecil di kampung halamannya akan semakin sulit memperjuangkan haknya.

“Misalnya untuk memperjuangkan hak tanahnya. Dengan omnibus law yang hanya pro pada investor, rakyat kecil akan mengalami diskriminasi,” tegasnya.
Helmy Hafiyyan, mahasiswa Teknik Industri UGM yang menjadi bagian massa aksi Gejayan Memanggil mengatakan ada yang dilupakan oleh pemerintah dan DPR dalam merancang UU Omnibus Law, yakni buruh dan petani yang notabene akan banyak terdampak oleh UU ini.
“Jadi kita ingin mengingatkan itu, masa membahas nasib buruh tapi tidak melibatkan buruh,” ujar Helmy.
Omnibus Law Mengancam Masa Depan

Selepas lulus, Balqis berencana pulang ke kampung halamannya di Purwokerto untuk bertani. Ya, menjadi petani adalah cita-citanya. Tak jadi persoalan kalau ijazah sarjana sastra Indonesianya tidak terpakai, toh dia kuliah bukan untuk cari ijazah, tapi untuk mengasah kemanusiaannya. Begitu pengakuan Balqis.
Meski sudah mantap akan memilih jalan hidup jadi petani, namun bukan berarti Balqis merasa aman dari ancaman omnibus law. Di hapuskannya izin lingkungan di dalam draf Omnibus Law Cipta Kerja, selain berpotensi mengakibatkan kerusakan lingkunga, menurut Balqis juga sangat berpotensi mengancam petani.
“Kemungkinan adanya penggusuran, perampasan lahan, itu akan sangat besar,” jelas Balqis.
Lain Balqis, lain Max. Setelah lulus, sesuai jurusannya, Max bercita-cita menjadi seorang advokat yang senantiasa membela rakyat-rakyat kecil yang tertindas. Dalam draf Omnibus Law yang sedang ditentang ini, menurut Max, posisi petani dan masyarakat adat sangat lemah ketimbang investor.
“Kalau Omnibus Law ini disahkan, kan saya juga akan semakin susah untuk membela mereka,” ujar Max.

Sebagai mahasiswa, Helmy juga mencemaskan masa depan dia dan kawan-kawannya, sebab di dalam Omnibus Law ini juga terdapat aturan tentang lapangan kerja. Terlebih cita-citanya adalah menjadi seorang profesional di bidang industri, yang tentunya akan terdampak juga oleh Omnibus Law ini.
“Apalagi kan saya juga angkatan 2016, pasti kan nanti akan berdampak banget kalau pas kita udah kerja,” kata Helmy.
Berbeda dengan Ardi, dia tak terlalu memusingkan dampak Omnibus Law terhadap masa depannya, sebab setelah lulus dia bercita-cita menjadi seorang guru. Namun nuraninya terpanggil ketika mendengar nasib buruh dan petani berada di ujung tanduk, ditindas karena adanya Omnibus Law.
“Saya malah enggak fokus sama diri sendiri sih. Fokusnya malah sama kaum-kaum buruh yang kemungkinan nanti akan menderita kalau sampi Omnibus Law ini disahkan,” ujarnya.
Peduli Hal Kecil di Sekitar

Yang menarik dari profil mahasiswa yang saya wawancara, tampaknya ada benang merah yang menyatukan mereka siang ini di jalan gejayan, yakni rasa peduli. Mereka sejenis makhluk yang jelas berbeda dengan makhluk yang sering disebut-sebut sebagai individualis dan hedonis.
Sekitar dua pekan lalu, Ardi keluar tengah malam bersama seorang kawannya untuk membeli sesuatu. Di tengah perjalanan pulang, Ardi melihat seekor kucing yang telantar di pinggir jalan. Ardi kemudian membawa kucing itu ke kontrakannya dan membelikan sepotong ayam goreng untuk kucing itu.

“Dari hal-hal sederhana di sekitar kita kayak gitu seharusnya kepedulian mulai di asah,” kata Ardi menceritakan pengalaman pribadinya.
Senada, Balqis juga mengatakan demikian. Sebagai seorang perempuan, dia selalu marah ketika mendengar berita-berita soal pelecehan seksual serta diskriminasi yang masih banyak menimpa perempuan.
“Kita enggak perlu ngomongin yang jauh-jauh, di rumah sendiri saja kita lihat ibu kita sudah merepresentasikan bagaimana perempuan kerap jadi korban sistem patriarki,” ujarnya.
Hidup di Papua membuat Max sangat akrab dengan sengketa tanah dan penggusuran lahan masyarakat adat. Fenomena-fenomena di tengah masyarakat itu menurutnya harus bisa mengetuk rasa peduli, terutama bagi kalangan terdidik seperti dirinya. Dari masalah-masalah di sekitarnya itulah yang kemudian membulatkan tekad Max untuk senantiasa berada di samping mereka yang tertindas.
“Kan memang itu tugas kita sebagai golongan terdidik ya. Bukan malah jadi elit baru yang membuat rakyat-rakyat kecil justru semakin menderita,” tegasnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)