Ekonomi Global Lesu, Jogja Musti Perkuat Sektor Pendidikan dan Wisata

Ekonomi Global Lesu Jogja Musti Perkuat Sektor Pendidikan dan Wisata

Perekonomian dunia sedang tidak baik-baik saja. Adanya perang dagang China-Amerika dan menurunnya ekonomi global membuat permintaan bahan-bahan primer turut mengalami penurunan.

Kendati demikian, Yogyakarta masih sedikit bisa bernapas lega, pasalnya komoditas ekspor yang dimiliki bukan termasuk produk primer. Di dunia, produk-produk primer seperti produk pertambangan, pertanian, maupun perkebunan inilah yang mengalami penurunan permintaan.

“Jadi kalau berdampak secara langsung itu tidak. Soalnya produk-produk ekspor Jogja kan kebetulan bukan barang primer, tapi kayak kerajinan, mebel, dan sebagainya. Jadi dampaknya ada lah, tapi tidak terlalu signifikan,” ujar Sekretaris ISEI Cabang Yogyakarta, Y Sri Susilo setelah acara seminar nasional tentang Outlook Perekonomian dan Keuangan 2020 di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Rabu (29/1).

Adanya pembangunan infrastruktur berupa bandara baru di Kulon Progo, serta adanya rencana pembangunan jalan tol Bawen-Yogya-Solo juga diprediksi bisa membantu pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia DIY, Hilman Tisnawan juga mengatakan perekonomian DIY tidak terlalu terpengaruh oleh lesunya ekonomi global. Bahkan pertumbuhan ekonomi DIY kian solid. Hingga akhir 2019, pertumbuhan ekonomi di DIY berada di kisaran 6,3 sampai 6,7 persen (yoy). Nilai ini lebih tinggi ketimbang tahun sebelumnya, yakni 6,2 persen (yoy).

Dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi DIY ditopang oleh sektor domestik, terutama adanya investasi bangunan dari konstruksi proyek bandara baru di Kulon Progo. Setelah proses pembangunan ek ini selesai, pertumbuhan ekonomi DIY diperkirakan akan kembali ke rata-rata normal.

“Jadi pada 2020, ekonomi DIY diperkirakan akan melambat di kisaran 5,3 sampai 5,7 (yoy),” ujar Hilman ketika mengisi seminar nasional di UAD tersebut.

Namun dalam jangka waktu menengah, dia yakin pertumbuhan ekonomi DIY akan kembali mengalami peningkatan seiring dengan beroperasinya bandara baru tersebut. Terlebih investasi bangunan masih akan terus tumbuh seiring berkembangnya kawasan aerotropolis, pembangunan akses jalur kereta api, hingga perhotelan. Sehingga pada 2021, pertumbuhan ekonomi DIY diperkirakan akan kembali meningkat di kisaran 5,5 sampai 5,9 persen (yoy).

Inflasi Semakin Stabil

Hilman juga menjelaskan kondisi inflasi di DIY semakin stabil pada sasaran yang ditetapkan. Inflasi DIY pada 2019 masih rendah, yakni di angka 2,77 persen (yoy) meski sedikit meningkat dari tahun sebelumnya yakni sebesar 2,66 persen (yoy). Meski mengalami peningkatan, namun capaian inflasi DIY masih on the track pada sasaran TPID 2019 pada kisaran 3,5 ± 1 persen (yoy).

Tahun ini, Hilman mewaspadai potensi kenaikan inflasi, terutama dari kelompok harga yang diatur oleh pemerintah. Kendati demikian, dia tetap yakin inflasi DIY pada 2020 tetap berada di sekitar titik tengah sasaran inflasi.

“Kami prediksi inflasi DIY pada tahun 2020 ada pada titik 3,2 ± 1 persen (yoy),” ujarnya.

Stabilitas sistem keuangan DIY juga masih terjaga, intermediasi perbankan masih lambat meski dari sisi suplai relatif longgar. Daya beli masyarakat DIY sejauh ini masih terjaga, kemampuan korporasi dalam menghasilkan laba maupun likuiditas juga cukup baik.

Dorong Sektor Pendidikan dan Pariwisata

Ke depan, Susilo memperkirakan perekonomian Yogyakarta masih akan ditopang oleh dua sektor utama, yakni pendidikan dan pariwisata. Besarnya jumlah mahasiswa dari luar daerah yang ada di Yogyakarta turut menyumbang laju perekonomian, begitu juga dengan sektor pariwisata.

Sayangnya, sampai sekarang pemanfaatan potensi yang ada di sekitar pariwisata masih jauh dari kata optimal. Dibandingkan dengan Malaysia saja, jumlah wisatawan asing datang masih jauh tertinggal.

Jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Malaysia dalam setahun sudah mencapai 25 juta, sementara di Indonesia baru ada di kisaran 10 juta orang. Yogyakarta lebih kecil lagi, hanya sekitar 1 juta wisatawan asing setiap tahunnya.

“Malaysia itu sumber daya pariwisatanya apa sih? Di banding kita, Jogja saja lah, kita lebih unggul,” ujar Susilo.

Karena itu, Jogja perlu belajar mengemas sektor pariwisatanya kepada Malaysia. Perlu ada cara promosi baru yang lebih segar dan menarik, sehingga bisa menggenjot jumlah wisatawan mancanegara.

Selain mengemas sektor pariwisata dengan cara yang baru, kata Sulis pembangunan infrastruktur yang memadai juga perlu dilakukan.

Infrastruktur utama yang perlu disiapkan di antaranya adalah jalan atau transportasi, jaringan komunikasi, serta akomodasi.

“Contohnya saja Gunungkidul, banyak pantai, banyak yang datang, tapi nginepnya mereka malah di Jogja (kota),” lanjutnya.

Akibatnya, Gunungkidul hanya mendapat dari sektor-sektor yang kecil seperti retribusi dan kuliner.

Selain itu, diperlukan juga alternatif lain selain dua sektor utama tadi. Misalnya dengan adanya kebijakan tentang kawasan ekonomi khusus (KEK) di sejumlah wilayah di Yogyakarta. Salah satu KEK yang ada adalah KEK Pantai Selatan.

“Itu bagus itu, kalau itu terbentuk betul, dibuat setting untuk pasar luar negeri, itu bisa bermanfaat untuk masyarakat. Tapi sekali lagi, kuncinya ya promosi dan branding yang benar, dan kemudian yang tidak kalah penting adalah pengelolaanan,” kata Susilo.

Selain sektor pendidikan dan pariwisata, beberapa subsektor unggulan lain seperti industry tekstil dan produk turunan (TPT) termasuk fesyen, industry mebel dan kerajinan kayu, kuliner, dan industry kreatif juga harus bisa dioptimalkan. Menurut Hilman, sektor-sektor itu merupakan sektor yang potensial, dan Yogyakarta memiliki keunggulan dibandingkan dengan daerah lain.

“Kalau sektor tersebut terus didukung oleh semua pihak, kami memprediksi pertumbuhan ekonomi DIY dapat stabil bahkan lebih tinggi,” ujar Hilman. (Widi Erha Pradana / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *