Di Tengah Stigma Pahit, Jamu Mencari Jalan untuk Eksis

Di Tengah Stigma Pahit, Jamu Mencari Jalan untuk Eksis

Apa minuman yang kamu pesan ketika nongkrong di kafe? Thai tea, espresso, capucino, lemon tea, atau milkshake? Adakah yang memesan jamu? Tentu sedikit, karena jamu memang jarang ditemui di kafe-kafe modern.

Apalagi jamu kental dengan stigma obat dan rasa pahit, lain dengan minuman-minuman kekinian yang rasanya lebih bersahabat dengan lidah. Jamu juga identik dengan kekunoan yang hanya diminum orang-orang tua, alih-alih kekinian yang dekat dengan kaum milenial.

Stigma itulah yang menjadi kendala utama perkembangan jamu menurut Ronny Martien, Pakar Teknologi Farmasi UGM. Karena itu, Ronny mengatakan perlu inovasi-inovasi untuk mendobrak stigma negatif tentang jamu.

“Bagaimana kita membuat jamu naik level, (misal) jamu dibawa anak muda untuk nonton di XXI,” ujar Ronny di UGM, Selasa (12/11).

Desain produk menjadi hal penting menurut Ronny agar jamu bisa merambah ke anak muda, bagaimana mengemas jamu agar lebih kekinian. Senada dengan Ronny, Ahli Herbal yang kini juga Dekan Fakultas Farmasi UGM, Agung Endro Nugroho juga mengatakan perlu adanya rebranding atas jamu, terutama rasa.

Agung mencontohkan tren kopi yang bekembang pesat belakangan ini. Varian rasa kopi yang awalnya hanya pahit, seiring perkembangan zaman semakin berkembang menjadi berbagai jenis dan rasa.

“Yang dulu masyarakat resisten terhadap kopi karena pahit, sekarang anak-anak muda minum kopi sebagai lifestyle,” ujarnya.

Masihkah Fitofarmaka Jadi Isu Penting dalam Mengonsumsi Jamu?

Di Tengah Stigma Pahit, Jamu Mencari Jalan untuk Eksis
Ilustrasi bahan jamu. Foto : Pixabay

“Ada dua track, track pertama herbal sebagai obat yang kedua herbal sebagai life style,” kata Agung.

Ketika herbal sudah menjadi obat, maka obat harus memenuhi uji pra klinis dan uji klinis, inilah yang dikenal dengan fitofarmaka. Namun ternyata obat herbal yang telah berstatus sebagai fitofarmaka ternyata tak menjamin dia bisa lebih laku di pasar. Padahal, menurut Pakar Farmakologi, Zullies Ikawati, agar sebuah obat herbal bisa mendapat status fitofarmaka dibutuhkan biaya yang besar. Akibatnya, sampai sekarang baru sekitar 20 herbal yang sudah berstatus sebagai fitofarmaka.

“Jadi biasanya yang bisa seperti itu (berstatus fitofarmaka) hanya industri-industri besar,” ujar Zullies.

Akibat besarnya biaya untuk melakukan uji praklinis dan klinis, membuat harga fitofarmaka juga melonjak. Inilah faktor utama menurut Agung menyebabkan kenapa fitofarmaka jadi tidak populer di tengah masyarakat. Meski dalam dunia medis, fitofarmaka sudah teruji sebagai obat sehingga bisa menjadi resep dokter. Jika obat herbal belum berstatus fitofarmaka, maka dia akan sulit diterima oleh dokter.

“Namun kelemahannya adalah biayanya besar, prosesnya lama, sesudah itu kemudian sampai detik ini tidak banyak yang beredar,” ujar Agung.

Menurut Ronny, besarnya disparitas harga antara fitofarmaka dengan obat-obatan kimia disebabkan oleh panjangnya proses yang harus dilalui fitofarmaka. Dari mulai menanam bahan baku, merawat, menanam, sampai pascapanen, semua diperlukan tenaga manusia untuk mengerjakan.

“Kalau obat sintetik butuh satu atau dua orang untuk menjalankan satu mesin, selesai,” lanjut Ronny.

Hasilnya, jika harga fitofarmaka di pasar hampir mencapai Rp 70 ribu, obat-obat sintetis untuk efek yang sama bahkan bisa didapatkan dengan harga Rp 5 ribu. Zullies mengatakan, dalam dunia herbal, fitofarmaka saat ini tidak lagi menjadi isu penting bagi seseorang untuk mengonsumsi jamu. Terlebih jika jamu dipandang sebagai sebuah gaya hidup, maka tidak terlalu penting lagi apakah jamu sudah diuji klinis atau belum.

Sebab, perjalanan jamu sebenarnya sudah selesai. Manfaat jamu secara empiris sudah teruji melalui pengalaman para pendahulu sejak ratusan tahun yang lalu.

Mencari Jalan untuk Hidup Jamu

Di Tengah Stigma Pahit, Jamu Mencari Jalan untuk Eksis
Ilustrasi jamu. Foto : Pixabay

Setidaknya ada tiga jalan yang bisa ditempuh obat herbal, yakni sebagai obat formal atau fitofarmaka, sebagai suplemen atau obat herbal terstandarisasi (OHT), atau sebagai gaya hidup misal dengan membuat kafe jamu.

Menurut Agung, semua langkah itu harus berjalan semua. Perusahaan-perusahaan yang fokus pada pengembangan fitofarmaka harus diberi ruang seluas-luasnya. Jika ada industri jamu tradisional yang hanya mengembangkan produknya sebagai OHT, karena mungkin takut pasarnya justru berkurang jika menjadi fitofarmaka juga harus didukung. Begitupun dengan industri jamu tradisional yang ingin tetap mempertahankan ciri khasnya sebagai gaya hidup.

“Karena pasarnya juga berbeda-beda. Asal yang perlu kita waspadai adalah ada jamu yang dicampur dengan bahan kimia obat (BKO). Fenomena ini sempat menurunkan image jamu, sehingga masyarakat jadi takut minum jamu,” ujar Agung.

Jika ingin menjadikan jamu sebagai gaya hidup, menurut Agung diperlukan kontribusi dari semua pihak, pemerintah, lembaga pendidikan, juga masyarakat. Menurutnya, jamu merupakan bagian dari kearifan lokal yang harus dijaga keberadaannya. Misal seperti di Jepang, di mana ada budaya minum teh, di Jawa menurutnya bisa juga bisa diterapkan budaya minum jamu.

“Misalkan (ada tamu), selain menggunakan pakaian adat Jawa, suguhannya kemudian jamu, makanannya gudeg, lagu-lagunya gendhingan, kan seperti itu, kan menarik? Sehingga Jogja banget” ujar Agung.

Meski ide-ide itu terlihat sederhana, namun menurut Agung bisa mengangkat kearifan lokal yang dimiliki. Berkaca pada tren kopi belakangan ini, menurut Agung jamu memiliki potensi besar untuk menjadi gaya hidup.

“Manfaat jamu itu kan sebenarnya lebih bagus daripada kopi. Kopi kan mahal, hanya satu varian, sedangkan jamu banyak dan lebih enak. Korea itu sukses dengan ginseng, ginseng rasanya juga nggak enak kan? Tetapi bisa mendunia,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *