
Pandangan Jogja— Perubahan besar dalam dunia jurnalisme akibat perkembangan kecerdasan buatan (AI) mendorong Dewan Pers bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memperkuat kapasitas para jurnalis melalui forum Media Talks dan workshop bertema “Masa Depan Jurnalisme di Era Artificial Intelligence” di Hotel Harper Malioboro, Yogyakarta, Senin (6/10).
Kegiatan ini diikuti oleh 95 jurnalis dari media lokal Jogja, media komunitas, hingga pers mahasiswa. Plt Direktur Ekosistem Media Komdigi, Farida Dewi Maharani, mengatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, perkembangan AI telah mengubah cara kerja industri media secara signifikan.
“AI memangkas waktu produksi, membuat pekerjaan lebih cepat dan efisien. Tapi di sisi lain, ada tantangan besar yang harus kita hadapi, terutama dalam menjaga kredibilitas dan etika jurnalistik,” ujar Dewi, Senin (6/10).
Menurut Dewi, salah satu risiko terbesar dari penggunaan AI dalam jurnalisme adalah potensi bias informasi. Ia menegaskan, teknologi hanya alat bantu—kualitas produk jurnalistik tetap bergantung pada integritas dan kapasitas manusia di baliknya.
“Teknologi AI hanyalah tools. Bagus atau tidaknya hasil tergantung pada jurnalisnya. Karena itu peningkatan kapasitas SDM menjadi sangat penting,” tambahnya.
Senada dengan itu, Ketua Komisi Kemitraan dan Hubungan Antar Lembaga Dewan Pers, Rosarita Niken Widiastuti, menyebut era saat ini sebagai masa media morphosis—transformasi besar-besaran yang memaksa media beradaptasi atau tertinggal.
“AI itu seperti pisau bermata dua. Hanya yang bisa beradaptasi yang bisa bertahan. Tapi kita tetap harus mampu memilih dan memilah agar tidak kehilangan jati diri jurnalisme,” ujar Niken.
Niken menegaskan, AI tidak akan sepenuhnya menggantikan peran jurnalis karena sistem ini bergantung pada data dan informasi yang dimasukkan manusia.
“Semakin banyak jurnalis memasukkan informasi yang valid dan terverifikasi, maka AI juga akan memproduksi berita yang benar,” katanya.

Dari sisi akademik, Olivia Lewi Pramesti, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menyebut fenomena AI Hype perlu dihadapi secara kritis. Ia menjelaskan, meskipun 95 persen pelaku media di Indonesia sudah mengenal AI, hanya segelintir yang benar-benar menerapkannya di ruang redaksi.
“Dalam riset Asia Tenggara, hanya enam media di Indonesia yang mendeklarasikan penggunaan AI di redaksi mereka,” ungkap Olivia.
Menurut Olivia, banyak media di Indonesia langsung terobsesi pada alat (tools) tanpa memahami dampak sosial dan etika yang ditimbulkan.
“Sebelum bicara teknologi, hal pertama yang harus dipahami adalah human-centred mindset. Kalau tidak, kita akan belajar AI tanpa memahami sisi manusianya,” katanya.
Sebagai panduan, Dewan Pers telah menerbitkan Peraturan No. 1 Tahun 2025 tentang Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik. Regulasi ini menegaskan pentingnya menjaga martabat pers, etika, dan profesionalisme di tengah disrupsi AI.
