Salah satu hal yang paling krusial dalam menangani virus korona adalah sebanyak-banyaknya melakukan tes, lacak, dan mengobati pasien yang sakit. Sayangnya, dari ketiga aspek tersebut mayoritas alat dan perlengkapan yang diperlukan musti didatangkan dari impor.
Pada Kamis (16/4) lalu Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan kekecewaannya karena industri kesehatan tanah air dikuasai oleh mafia impor. Tak hanya keterbatasan alat pelindung diri (APD) bagi dokter dan perawat atau obat dan ventilator, reagen sebagai alat baca paling akurat dari COVID-19, 100 persen juga masih impor. Padahal tanpa reagen, deteksi sebagai fondasi untuk melacak dan mengisolasi pasien, tidak bisa dilakukan. Rapid test, sampai hari ini belum bisa diandalkan.
Tapi Pak Erick mungkin musti mengerti gambar besarnya. Ini semua bukan hanya tentang jual beli alat kesehatan Pak Erick, ini karena secara mendasar negara tak peduli akan riset. Terutama cerita tentang reagen, yang 100 persen masih impor itu.
“Cerita tentang reagen itu cerita yang menyedihkan,” kata Direktur Research Centre for Biotechnology, UGM, Sity Subandiyah saat dihubungi kemarin.
“Indonesia terlalu lama meninggalkan dan tidak peduli dengan biologi molukuler. Sekarang kelabakan tidak bisa tes PCR agresif karena alat dan reagen impor semua, padahal diagnosa jadi salah satu kunci langkah melawan COVID-19,” sambung Diah, panggilang akrab Sity Sibandiyah.
Prof Diah membandingkan Tiongkok yang baru belakangan membuat bahan dan alat-alat yang meniru pabrikan negara maju seperti Amerika dan Eropa. Awalnya kualitasnya juga rendah, murah, sehingga sering tidak akurat dalam melakukan diagnose molekuler. Namun, mereka terus mampu meningkatkan kualitasnya sehingga peralatan dan reagen-reagen (alat baca molekuler) saat ini sudah bersaing dengan negara maju.
“Indonesia banyak ahlinya, sekolah ke luar negeri, pulang tidak diberi kesempatan karena terus saja impor,” katanya.

Diah mencontohkan penelitian bioteknologi awal 90-an di Indonesia yang sudah berusaha mengisolasi enzim Taq Polymerase yang dibutuhkan untuk Polymerase Chain Reaction (PCR) COVID-19 saat ini. Adalah Profesor Achmaloka yang pernah menjadi rektor ITB berusaha melakukan isolasi enzim tersebut dari bakteri yang beliau temukan dari kawah Tangkuban Perahu.
“Tapi ya gagal, tidak diberi kesempatan sehingga sampai sekarang reagen-reagen itu kita masih harus tetap impor. Dan sekarang saat sangat membutuhkan kita tidak bisa dapat karena semua negara membutuhkannya,” papar Sity Subandiyah.
Perkembangan teknologi biologi molekuler menurut Diah sangat cepat sekali dan semakin tidak segera mengejarnya semakin jauh pula Indonesia tertinggal dan akan makin mustahil untuk mengejar. China, berhasil mengejar ketertinggalan karena begitu fondasi ekonomi diletakkan mereka segera memanggil semua warga negara yang telah menjadi pakar biologi molekuler di AS dan Eropa untuk pulang dan membangun bioteknologi yang kuat.
“Kita kalau mau serius ya mulai saat ini. Pemerintah sepertinya sudah mengundang diaspora untuk pulang dan menangani COVID-19. Ini langkah penting dan harus terus dilanjutkan dengan kebijakan-kebijakan yang berkelanjutan,” papar Sity Subandiyah.(Eko S Putra / YK-1)