Untuk mengimbangi kecepatan penularan coronavirus baru, belasan negara menggunakan sebuah software yang disediakan Palantir Technologies Inc. untuk membantu mereka dalam usaha pencegahan mereka. Perusahaan dari Silicon Valley tersebut mengatakan bahwa teknologi ini membantu pemangku kebijakan untuk memprediksi lokasi wabah dan menentukan lokasi di mana menerjunkan tenaga kesehatan dan logistik, memberikan efisiensi dalam penyusunan skema kerja.
Sejumlah pejabat dari AS dan UK menggunakan perangkat yang diciptakan Palantir ini untuk memerangi virus pada akhir Maret lalu, menurut seorang narasumber yang tidak ingin diidentifikasikan. Selain itu juga ada perusahaan dari Austria, Kanada,Yunani, dan Spanyol.
Palantir membuat versi baru dari perangkat produksi mereka juga, Foundry, yang tersedia secara cuma-cuma untuk pemerintah dan organisasi internasional yang terlibat dalam respons tanggap darurat Covid-19. Perusahaan yang dibesut oleh salah satunya Peter Thiel ini sudah berpengalaman dalam menghadapi krisis global, sebab Palantir terbangun paska serangan 9 September.
Term tiap kesepakatan bagi negara dan organisasi ini berbeda-beda, tetapi perusahaan ini mengatakan untuk menyediakan perangkat-perangkat ini selama dibutuhkan untuk melawan virus, yang secara optimis oleh salah seorang eksekutif Palantir katakan akan berlangsung selama enam bulan.
“Perusahaan kami secara keseluruhan berorientasi pada respons Covid, tidak hanya di AS, tetapi di seluruh dunia,” kata Shyam Sankar, Presiden perusahaan tersebut dalam statemen via email yang diterima Bloomberg.
Health and Human Services Department dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah pelanggan lama Palantir. CDC mengandalkannya untuk mempelajari dan mengurangi dampak krisis kesehatan, termasuk penyakit menular. Namun, Palantir lebih dikenal karena kerjasamanya dengan Departemen Pertahanan AS dan aparat penegak hukum di sana, yang menggunakan teknologi untuk pengawasan operasi. Hal-hal ini yang membuat kecurigaan semakin menguat pada pelanggaran privasi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pertanyaan tentang Privasi
Informasi pasien, terkait jenis kelamin, umur, status kesehatan dan kode pos dimasukkan, namun informasi detail personal tidak, dengan batasan berapa lama data bisa disimpan dan batasan-batasan privasi lainnya, kata Courtney Bowman, yang mengawasi tim teknik kerahasiaan dan kebebasan sipil Palantir, dalam wawancara telepon Bloomberg. “Kami bergerak cepat dan sangat berhati-hati,” kata dia. Bulan lalu, Palantir membantu memberi masukan bagi otoritas federal di AS dan ratusan rumah sakit serta klinik dalam kesepakatan pembagian data mereka.
Hari ini, di AS, CDC menggunakan informasi kesehatan masyarakat dan data perusahaan untuk melakukan analisis dalam software buatan Palantir ini, kata perusahaan tersebut. CDC mencari di zona merah, seperti Chicago dan New Orleans, untuk memperkirakan jumlah infeksi dan berapa sumber daya lokal yang dibutuhkan. Di New York, pejabat kesehatan menggunakan Palantir untuk melihat di rumah sakit mana kamar yang masih tersedia, ini masih lebih cepat dari pada harus menelepon rumah sakit satu persatu untuk menanyakan kamar yang tersedia bagi pasien dalam kondisi gawat darurat.
Perangkat ini digunakan untuk menjawab berbagai pertanyaan penting yang datang dari berbagai level krisis di tiap negara. Saat pengambil keputusan melihat laporan pertama orang-orang yang mengalami gejala penyakit, alat ini menyajikan studi kasus dari daerah yang terdampak. Seiring dengan semakin banyaknya pengujian dilakukan, fokus beralih pada hasil dari kasus terkonfirmasi. Beberapa negara yang sekarang terdampak parah di Eropa saat ini menggunakannya untuk menentukan daerah mana yang akan dikirimkan dokter, masker, ventilator dan alat-alat kesehatan lainnya, kata Palantir. Namun hal ini menantang kemampuan pemerintah menjaga keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan hak privasinya.
Uni Eropa sendiri adalah kawasan yang memiliki aturan ketat mengenai aturan pengumpulan dan penyimpanan data. Namun, beberapa pejabat negara anggota UE bersedia untuk setidaknya melonggarkan aturan-aturan perlindungan privasi individu atas nama perlawanan terhadap coronavirus. Beberapa negara UE berusaha untuk mengumpulkan tim data sehingga pejabat kesehatan dapat melacak penyebaran dan kemudian memetakan kebutuhan tiap daerah atau zona.
Otoritas dari Jerman dan Swiss juga tengah dalam pembicaraan untuk menyetujui program dari Palantir, seperti yang dilaporkan Bloomberg pada Selasa lalu. Sejumlah pemerintahan dari Asia dan Amerika Latin juga sudah menunjukkan ketertarikannya, orang-orang yang akrab dengan diskusi sekarang berkata, “Kami telah menyebarkan di lebih dari lusinan negara sejak krisis Covid-19 bermula, kami sedang dalam pembicaraan dengan beberapa negara lagi dan berbicara dengan siapa pun yang kami bisa,” kata Josh Harris, wakil presiden eksekutif Palantir.
Transparansi
Aktivis pembela hak privasi mengingatkan negara-negara ini untuk mempertimbangkan hak-hak pribadi warga mereka. Penggunaan aplikasi pelacakan di telepon pintar tengah menjadi isu hangat di Eropa. Mereka menakutkan pemerintah akan menyalahgunakan kesempatan ini untuk menjangkau tujuan-tujuan lain di luar penanganan virus dan bahwa aturan pengawasan akan tetap berlaku bahkan setelah krisis selesai.
Prancis sudah meluncurkan aplikasi pelacakan smartphone ‘StopCovid’ beberapa hari yang lalu. Sekretaris Negara untuk Eonomi Digital Cedric O, yang juga mengepalai proyek tersebut, mengatakan pada surat kabar Le Monde pada Rabu bahwa masyarakat secara bebas bisa memilih untuk menggunakan aplikasi tersebut atau tidak.
Komisi Eropa mengingatkan pemerintah untuk tetap menerapkan perlindungan yang tepat karena warga Uni Eropa tidak akan mempercayai aplikasi pelacakan kontak jika mereka tidak memperlakukan informasi pribadi dengan tepat.
Sementara itu, Apple dan Google juga sedang menjalin kerjasama dalam aplikasi yang berbasis teknologi pelacakan kontak untuk mendukung gerakan pencegahan penularan virus corona. Perangkat ini memungkinkan pengguna mengetahui apakah mereka berada dekat dengan orang-orang yang terinfeksi.
“Privasi, transparansi dan persetujuan adalah yang terpenting dalam upaya ini,” kata perusahaan tersebut dalam sebuah pernyataan bersama, berjanji untuk “memberikan informasi tentang kerja kami untuk pihak lainnya untuk dianalisa” dan bekerja bersama stakeholder yang tertarik untuk mengembangkan fungsi aplikasi. Sejarah kedua perusahaan dengan data konsumen membuat janji menjaga rahasia yang mereka ucapkan berkali-kali itu sulit untuk dipercayai, begitu pernyataan Komisi Eropa pada La Monde.
Sayangnya, data di Indonesia sesuatu yang kelewat sulit didapat. Jangankan data pasien, data kebutuhan rumah sakit akan APD, sulit untuk disinkronisasi dengan data ketersediaan di Dinas Kesehatan. Indonesia memerlukan gerak cepat mengurus data. (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)