Saat kita menyelidiki respons pemerintah Amerika Serikat (dan juga seantero Eropa dan Indonesia) pada COVID-19, hasilnya akan menunjukkan bahwa tanda-tanda krisis akan terjadi di mana-mana.
Amerika Serikat, sejak tahun 2013-2017 sudah diperingatkan oleh komunitas intelijen AS dalam “penilaian ancaman global”tahunannya tentang bahaya besar sebuah pandemi influenza baru. Pejabat intelijen menerangkan bahwa ancaman ini tidak berdasar pada hipotesis, melainkan sejarah manusia yang penuh dengan kisah patogen yang menyapu populasi yang tidak memiliki kekebalan, mengakibatkan gejolak sosial, ekonomi dan politik.
Melihat kasus Amerika Serikat adalah contoh terbaik, atau salah satu yang terbaik dalam memandang bahwa pemerintahan sebuah negara dan otoritas publik dalam menangani pandemi coronavirus tidak pernah siap.
AS berada di urutan teratas dalam laporan Global Health Security Index 2019 yang dikeluarkan peneliti Nuclear Threat Initiative, John Hopkins University dan The Economist Inteligence Unit dari 195 negara.
Ironisnya, semua kekacauan menangani sejak dini persebaran corona juga terjadi di Amerika Serikat, sebuah negara yang selama beberapa dekade “telah menjadi pemimpin dalam kesiapsiagaan menghadapi pandemi,” kata Eric Toner, seorang peneliti di John Hopkins Center for Health Security seperti dikutip the atlantis. “Kami lebih siap daripada yang lain,” dia mengakui, “tapi tidak ada satupun, tidak ada negara, yang siap untuk apa yang sekarang kita lihat.”
Saat tulisan ini dibuat, jumlah kasus COVID-19 di AS mencapai 68 ribu kasus lebih dengan tingkat kematian 1036 orang, dengan Washington, New York dan California menjadi kawasan terparah.
Mirip Perang Dunia II
Pada 2018 dan juga 2019, Pusat Keamanan Kesehatan John Hopkins dalam kemitraan bersama World Economic Forum dan Bill and Melinda Gates Foundation, mengumpulkan pakar kesehatan masyarakat, pemimpin bisnis, dan pejabat pemerintah AS untuk simulasi dampak kemanusiaan, politik, sosial dan ekonomi dari sebuah novel coronavirus fiktif yang menyebabkan puluhan juta orang mati di seluruh dunia pada 2019.
Eric Toner, mengatakan bahwa bahwa fokus utama dari simulasi ini bukalah angka kematian, tetapi untuk menunjukkan dampak sosial dan ekonomi yang parah, tidak hanya dampak kesehatan. Simulasi ini juga diarahkan untuk menciptakan kerja sama internasional, dalam kasus bahwa pemerintah dan perusahaan swasta saja tidak mampu menangani pandemi secara memadai. Dua bulan kemudian, sebuah virus baru namun tidak se-mematikan virus yang ada dalam skenario simulasi benar-benar muncul di Wuhan.
Ketika virus pertama kali terdeteksi di China, Eric Toner mengatakan bahwa pemerintah AS yang lebih siap akan segera mulai bersiaga untuk “kedatangan penyakit yang tak terhindarkan” dengan memperkuat rumah sakit dan membantu pemerintah negara bagian dan lokal menerapkan social-distancing dan langkah-langkah mitigasi lainnya. “Akan jauh lebih mudah untuk melakukan hal-hal itu dengan lebih banyak waktu daripada yang kita miliki sekarang,” jelasnya. Tentu saja, karena itulah guna simulasi.
“Menanggapi sebuah bencana pandemi, yang saya pikir akan kita semua pelajari dalam beberapa minggu mendatang, benar-benar mengubah cara kita melakukan banyak hal. Itu mungkin lebih analog dengan apa yang kita lakukan selama Perang Dunia II daripada yang lain, “kata Eric Toner. “Itu membutuhkan respons semua anggota masyarakat, dan saya pikir sampai krisis terjadi, pembuat kebijakan tidak tahu bagaimana melakukan itu.”
Dana Kesiapsiagaan Pandemi yang Kecil
Dana untuk kesiapsiagaan dalam menghadapi pandemi di AS ketinggalan jika dibandingkan dengan prioritas keamanan dalam negeri lainnya. Pemerintah AS setidaknya menghabiskan setidaknya $ 100 miliar per tahun untuk kontraterorisme berbanding dengan $ 1 miliar untuk program pandemi dan penyakit menular yang muncul, menurut sebuah perhitungan pada 2016. Padahal coronavirus baru ini mengancam lebih banyak nyawa daripada yang teroris bisa lakukan.
Lisa Monaco, penasihat Keamanan Dalam Negeri era Barack Obama, mengatakan bahwa pemerintahan Trump dan para pendahulunya tidak mendanai infrastruktur kesehatan masyarakat Amerika dengan cukup, yang dalam beberapa minggu mendatang berisiko kewalahan oleh serangan kasus COVID-19.
“Saya tidak mengatakan bahwa memiliki struktur yang tepat berarti bahwa virus corona tidak akan terjadi atau tidak akan tiba di sini,” Monaco menjelaskan. “Tetapi pada bulan Desember, ketika kita pertama kali melihat [coronavirus muncul], siapa yang bertanya, ‘Apakah kita memiliki tes yang cukup?’ Siapa yang bertanya, ‘Apakah kita memiliki peralatan pelindung diri yang memadai jika ini sampai di sini dan tiba di sini dalam skala besar? Siapa yang bertanya,’ ‘Apa kapasitas kesehatan masyarakat kita, dan mari kita membuat model ini. Jika ini benar-benar menyebar, berapa banyak tempat tidur ICU yang akan kita butuhkan?’ ‘Siapa yang mengembangkan daftar pertanyaan itu dan menjawabnya? Itu harus terjadi di Gedung Putih untuk benar-benar membawa semua beban yang ditanggung pemerintah daerah.”
Kegagalan Sistemik
Kegagalan sistemik sebagian berasal dari rentetan keputusan dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah AS berturut-turut tidak memperlakukan kesiapsiagaan pandemi dengan tingkat keseriusan yang mereka berikan untuk mengatasi ancaman keamanan utama lainnya — seperti, terorisme atau negara-negara musuh. Pola itu terulang: presiden terburu-buru memprioritaskan keamanan kesehatan dan menghamburkan banyak uang setelah krisis melanda, lalu memperkecil sumber daya dan berpuas diri begitu krisis mereda.
Spanyol, Prancis, UK, Jerman, dan Swiss juga merupakan negara dengan indeks keamanan kesehatan yang tinggi, namun tidak kuasa menahan laju virus di rumah mereka. Dan Indonesia berada di urutan ke 30 di dalam daftar.
“Keamanan kesehatan nasional pada dasarnya lemah di seluruh dunia. Tidak ada negara yang sepenuhnya siap menghadapi epidemik atau pandemik, dan semua negara memiliki celah penting untuk ditangani,” menurut laporan tersebut.
Amerika kini mengucurkan bantuan senilai Rp. 32. 600 triliun pada warganya. Mereka kaya. Indonesia ? (Anasiyah Kiblatovski/YK-1)