Belajar dari Panah Yudhistira Mengalahkan Prabu Salya untuk Menaklukkan Corona

Belajar dari Panah Yudhistira Mengalahkan Prabu Salya untuk Menaklukkan Corona

Gugurnya Prabu Salya dalam perang Baratayudha di medan Kurusetra memberikan pelajaran untuk umat manusia di tengah pandemi virus corona. Dalam pertempuran melawan pasukan Pandawa, Salya menggunakan ajian pamungkasnya yakni Candrabirawa: raksasa kerdil yang mampu membelah diri terus menerus dan membunuh lawan tanpa ampun.

Menurut Kresna, yang bisa menyudahi ajian Prabu Salya hanya Yudhistira, kakak tertua pandawa yang terkenal sangat spiritualis. “Sebetulnya dia tidak sanggup hati untuk membunuh Salya, tetapi karena dharma tugas harus dijalankan, Yudhistira diberi senjata panah Cakra Baskara oleh Kresna,” kata Hangno Hartono, Direktur Lembaga Cahaya Nusantara (Yantra) Yogyakarta.

Ketika memanah Salya, Yudhistira tidak menatapnya langsung, panahnya justru diarahkan ke tanah. Namun yang terjadi anak panah Cakra Baskara yang dilepaskan Yudhistira justru melesat dengan sangat cepat dan tepat mengenai Salya. Prabu Salya gugur, dan raksasa kerdilnya hilang.

Menurut Hangno, dari kisah itu memperlihatkan kemiripan virus corona baru atau SARS-CoV-2 sangat mirip dengan senjata Prabu Salya, yakni Candrabirawa. Dan yang menarik adalah, untuk mengalahkan Salya, panah Yudhistira diarahkan ke tanah yang ternyata sangat efektif untuk menghancurkan Salya dan raksasa kerdilnya.

“Dari modus ini bisa dipelajari bahwa obat corona adalah unsur-unsur dari tanah, seperti tumbuhan baik dari polo kependhem maupun aneka tanaman herbal lainnya,” lanjut Hangno.

Dan dalam budaya jawa, masyarakat masih meyakini khasiat warisan ilmu pengobatan leluhur, bahkan dunia medis juga mengakuinya. Hangno meyakini, bahwa obat dari COVID-19 berasal dari unsur-unsur alam. “Tidak perlu vaksin, apa lagi vaksin tersebut juga virus. Virus dalam tradisi Jawa tidak perlu dilawan, tetapi cukup di emong dengan aneka herbal,” jelasnya.

Untuk bisa memahami sifat memomong ini, menurut Hangno hanya bisa dilakukan melalui pendekatan spiritual. Itu kenapa yang bisa mengalahkan Prabu Salya bukanlah Bima atau Arjuna yang ahli perang, namun justru Yudhistira yang terkenal santun, lemah lembut, dan spiritualis.

Bagi Hangno, pandemi ini sebetulnya tidak bisa disebut sebagai bencana, karena dampak untuk ekologi justru sangat positif. Pandemi ini ibarat goro-goro sebelum umat manusia memasuki zaman kolo sobo yang lebih baik. “Bagi dunia batin Jawa, ini adalah siklus menuju zaman lebih baik. Memang didahului pagebluk (wabah) seperti ini, seperti dalam suluknya dalang dalam goro-goro wayang kulit,” ujar Hangno.

Peringatan Agar Manusia Instropeksi Diri

sri tatna saktimulya kaprodi sastra nusantara fib ugm
Kaprodi Sastra Jawa FIB UGM, Sri Ratna Saktimulya saat menjadi pembicara dalam sebuah acara di Taman Siswa, Yogyakarta. Foto : Eko S Putra

Dihubungi terpisah, Kepala Program Studi (Kaprodi) Sastra Jawa FIB UGM, Sri Ratna Saktimulya mengatakan, dari perspektif budaya Jawa pandemi COVID-19 merupakan suatu peringatan dari Sang Pencipta agar manusia di bumi melakukan intropeksi diri. “Bagi yang merasa kuasa, pandai, hebat, paling benar, dan merasa mampu melakukan segala hal, diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengakui bahwa apa yang dimilikinya itu belum seberapa dibanding kuasa-Nya,” jelas Saktimulya ketika dihubungi, Kamis (30/4).

Dalam kepercayaan orang Jawa, menurut Saktimulya, pandemi ini merupakan bentuk Sang Pencipta sedang melakukan “peremajaan alam”. Hal ini bisa dilihat dari udara yang menjadi bersih karena hampir seluruh pabrik di dunia berhenti beroperasi karena COVID-19, air juga menjadi lebih bersih karena berkurangnya pencemaran limbah pabrik. Sementara bagi manusia, pandemi ini merupakan proses meningkatkan kualitas diri karena menjadi lebih dekat dengan Tuhan.

“Manusia jadi peduli dan berempati terhadap sesama, dan hubungan keluarga menjadi lebih dekat karena tumbuh kesadaran pentingnya menciptakan dan menjaga komunikasi sehat dalam keluarga,” jelasnya.

Dalam naskah-naskah kuno, kata Saktimulya, juga diceritakan pageblug atau wabah yang pernah terjadi di muka bumi ini. Misalnya ketika ada bencana penyakit pes dan kolera, bahkan disebutkan juga adanya bencana karena penyakit kusta. Di akhir kisah, dinarasikan oleh penulis bahwa wabah itu terjadi karena manusia tidak menjaga alam, manusia telah serakah, lupa kepada Sang Pencipta, tidak peduli terhadap sesama, bahkan merasa paling kuasa sehingga berbuat sewenang-wenang.

Kendati demikian, Saktimulya optimis bahwa setelah pandemi umat manusia akan menuju dunia yang lebih baik. Karena pandemi ini, manusia disadarkan atas kepongahan dan kelalaian dalam menjaga diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan bumi tempat manusia berpijak.

“Dengan demikian, manusia di seluruh dunia semakin menyadari bahwa Tuhan Maha Kuasa, Maha Pengasih, dan Maha Bijaksana,” jelas Saktimulya.

Gentong di Depan Rumah

Penghayat Kepercayaan Jawa yang tinggal di Yogyakarta, Ojak Suro Wijoyo mengatakan, dalam kacamata ilmu Jawa, ada distorsi korelasi antara warang Jawa atau manusia dengan alam semesta dan budi pekerti. Distorsi antara manusia dan alam semesta ini maksudnya ketika manusia semakin tinggi tingkat peradabannya dan kemajuan teknologinya, mereka kadang mengabaikan masalah spiritual serta adab dan budaya.

“Ketika ini tidak diimbangi dengan olah rasa, yakni pengendalian diri manusia, maka yang muncul adalah ego manusia,” kata Ojak Suro Wijoyo.

Pandemi ini lahir, menurut Ojak disebabkan karena manusia tidak mengamalkan ajaran jawa: eling lan waspada, yakni ingat dengan diri sendiri dan waspada terhadap lingkungan sekitar. Manusia gagal membaca, apa dampak yang bisa terjadi jika dia melakukan suatu hal.

Zaman dahulu, di setiap rumah, di depannya selalu disediakan gentong atau padasan air sebagai tempat mencuci tangan dan kaki. Hal itu merupakan salah satu bentuk kewaspadaan manusia terhadap kebersihan. “Yang mana tradisi itu kan hilang. Padahal dulu nenek moyang kita sudah melakukan hal itu,” kata Ojak Suro Wijoyo.

Setiap adat Jawa menurutnya selalu memiliki tujuan tertentu, hanya saja pemahaman orang awam kebanyakan tidak bisa menalar hal tersebut. Dari contoh gentong, kita bisa melihat bagaimana leluhur Jawa ternyata punya maksud yang sangat visioner. Jika sekarang orang-orang menggunakan sabun atau hand sanitizer untuk mencuci tangan, orang dulu menggunakan daun andong atau waru untuk membersihkan tangan.

Ketika ada wabah, kata Ojak, orang Jawa zaman dulu juga memiliki adat membakar garam, belerang, dan tembakau. “Itu untuk mengusir sawan kalau orang zaman dulu bilang. Ternyata saat ini terbukti, bahwa dengan membakar tembakau, belarang, dan garam itu mampu mengikat partikel nano dari virus itu,” lanjutnya.

Bawang merah juga menjadi senjata ampuh orang Jawa zaman dulu untuk mengusir wabah atau sawan. Bawang merah ditusuk seperti sate, kemudian dipasangkan di tiap sudut rumah. “Nah itu ketika diilmiahkan sekarang kan ternyata bawang merah mampu mengikat virus-virus flu itu,” kata dia.

Persoalannya adalah keadiluhungan leluhur Jawa ini tidak pernah diilmiahkan atau teruji secara teknis. Sebab penyampaiannya hanya dilakukan secara verbal dan tidak ada bukti catatan tertulisnya.

Untuk mengakhiri pandemi ini, kata Ojak, manusia harus bisa bersanding dengan alam semesta. Kita perlu memahami bahwa ini semua adalah upaya semesta untuk memperbaiki dirinya, dan tidak bisa kita melawan arus alam semesta ini. Yang bisa kita lakukan adalah mengharmoniskan kembali antara manusia dengan alam semesta.

“Karena alam itu akan memproses diri kita dan diri alam itu sendiri. Tanpa sinkronisasi manusia dengan alam semesta, yang terjadi kemudian tabrakan, benturan,” tegas Ojak Suro Wijoyo. (Widi Erha Pradana / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *