Bagaimana Pangeran Siahaan Membangun Startup Media?

Bagaimana Pangeran Siahaan Membangun Startup Media

“Ngapain bro bikin media, nggak ada duitnya bro,” kata Pangeran Siahaan menirukan respons para veteran media lain ketika mengetahui dia sedang membangun sebuah startup media bernama Asumsi.

Di era perkembangan Youtube yang sedang pesat-pesatnya, Pangeran Siahaan melihat tidak ada konten yang sifatnya informatif dan edukatif. Ketika mendirikan Asumsi pada 2015 silam, meski pengguna Youtube saat itu sangat besar, namun kontennya tidak jauh-jauh dari video kucing, unboxing barang-barang elektronik, serta duel kuat-kuatan makan mie korea pedas.

Berbekal kemampuan bicara dan hobi menulis, Pangeran bertekad menjadikan hobinya itu menjadi sebuah pekerjaan yang menguntungkan. Tekad ini tampaknya sama dengan keinginan semua anak-anak muda zaman sekarang, menjadikan hobi sebagai sumber penghasilan; siapa yang nggak pengin?

Yang jadi soal, Pangeran sama sekali tak punya latar belakang sebagai seorang pebisnis. Dia juga dihadapkan pada sebuah masalah yang hampir selalu dihadapi usaha-usaha rintisan: modal.

“Di situlah letak segala struggle itu di situ. Tiba-tiba kita harus mikirin soal, kita mau hire berapa orang ya? Bayarin gajinya gimana ya? Cash flow gimana ya kalau uang ternyata udah habis bulan ini, belum ada buat bulan depan? Bayar sewa kantornya gimana ya? Dan lain sebagainya,” kata Pangeran ketika menjadi pembicara dalam Creativepreneur Special Edition 2019 di The Alana Hotel Yogyakarta, Sabtu (16/11).

Anak Muda Nggak Suka Politik?

Dalam kondisi seperti itu, orang-orang di sekelilingnya semakin membuat semangatnya membangun media patah. Hingga pada suatu saat, pada 2018 menjelang musim pemilu, Pangeran menemukan konsep acara yang paling cocok dengan visinya, yaitu talk show dengan para politikus.

Apa bedanya dengan talk show-talk show di televisi? Apakah orangnya atau topiknya? Bukan semua, melainkan pendekatannya. Tekadnya kemudian, bagaimana orang-orang yang menonton acaranya di Youtube akan mendapatkan sesuatu setelah dia menontonnya.

“Bukan dapat sirkus-sirkus akrobat kata-kata manuver saling interupsi seperti di TV,” ujar Pangeran.

Rian Ernest dan Faldo Maldini adalah politikus pertama yang diundang dalam acara ‘Pangeran Mingguan’, nama talk show Pangeran. Hasilnya, hanya berselang satu jam setelah diunggah, videonya sudah ditonton sebanyak 100 ribu kali.

Akhirnya konsep itu dipakai untuk episode-episode selanjutnya. Dari sana Pangeran menarik sebuah kesimpulan, bahwa audiens di Indonesia sebenarnya mendambakan dan menginginkan konten-konten yang memberikan informasi dan edukasi dengan baik.

Dia juga mematahkan anggapan orang-orang di sekitarnya bahwa anak muda tak suka dengan pembahasan-pembahasan berat seperti politik. Pangeran mematahkan pendapat yang mengatakan acara-acara politik tidak akan ada yang menonton.

“Nggak! Ada yang nonton kok, selama ini nggak ada yang bikin aja emang. Selama ini langsung bisa dipatahkan, anak muda nggak suka dengan hal-hal yang terlalu berat, yang penuh dengan informasi dan edukasi,” kata Pangeran.

Untuk semakin mendekatkan diri pada kawula muda, Pangeran dan medianya juga membuat acara nonton bareng debat capres yang konsepnya seperti nonton bareng pertandingan bola. Ada nyanyi-nyanyinya, ada debatnya, ada ngobrolnya, juga ada bercanda-bercandanya. Nyatanya, hasilnya juga lumayan.

Itu artinya anak muda juga suka dengan acara-acara bertema politik, asal kemasannya juga dibuat lebih kekinian. Pangeran dan media rintisannya membuktikan itu. Benang merahnya menurut Pangeran, dalam bisnis apa pun pasti sangat banyak yang ingin mematahkan setiap impian apalagi jika usaha tersebut bergerak di bidang yang baru.

“Akan sangat gampang orang bilang, nggak usah lah, ngapain sih, nggak ada yang beli, nggak ada yang suka, terlalu berat, kayaknya yang lain aja deh,” kata dia.

Pangeran juga percaya bahwa supaya banyak pembaca, sebuah tulisan tak harus menggunakan judul-judul heboh atau clickbait. Menurutnya, media punya tanggung jawab lain selain memberikan informasi, yaitu mengedukasi.

“Jadi bagaimana mentrasmit informasi, pengetahuan, edukasi, ke orang-orang yang membutuhkannya tanpa terlalu banyak menggurui atau menceramahi,” ujar Pangeran.

Keseimbangan Kualitas dan Bisnis

Memilih membangun media yang mengedukasi membuat Pangeran harus memutar otak bagaimana agar medianya bisa memberikan benefit tanpa mengurangi kualitas isinya. Dia harus mencari titik ekuilibrium bagaimana sesuatu yang baik juga harus bisa dikembangkan sebagai bisnis.

Pangeran melihat bahwa informasi dan pengetahuan adalah sebuah kekuatan yang pasti menarik dan bisa dijual. Hanya saja, banyak orang yang terlalu cepat berhenti hanya karena ‘katanya’.

“Kalau ada yang mau memulai bisnis, mau jadi entrepreneur, di bidang apa pun, jangan pernah takut untuk memulai dan jangan kebanyakan dengerin orang. Karena orang itu nggak suka kalau kalian sukses,” kata Pangeran.

Menurutnya, seseorang harus bisa bersikap, kapan dia harus mendengarkan orang lain dan kapan dia bersikap menutup diri dari segala komentar orang lain. Di awal menjalankan bisnis medianya, Pangeran dan para founder lain mengumpulkan dana sendiri karena saat itu belum ada investor. Selain itu, talent yang digunakan semua juga dari para pendiri, sehingga dia tak perlu mengeluarkan biaya untuk membayar talent.

“Kemudian kita lepas sedikit sahamnya untuk jadi capital,” kata dia.

Untuk menggaet investor, karena menjadi media yang dia bangun masih sangat awal maka investor-investor yang menanamkan modalnya nyaris tak melihat apa produk dan perusahaannya, melainkan melihat sosok pendirinya dalam hal ini dia sendiri.

“Karena kalau belum sampai ke titik yang bener-bener bisa besar banget, yang dilihat adalah, ini founder-nya bisa nggak sih jalanin bisnis ini, bisa nggak sih kalau ada masa-masa sulit dia (tetap) survive? Bisa nggak sih kalau model bisnisnya nggak jalan dia bikin model yang baru?” lanjut Paneran.

Pangeran tidak percaya ada orang yang bisa menjadi Super Man, menguasai segala bidang tanpa terkecuali, begitu juga dengan dirinya. Menurutnya, modal penting untuk menjalankan sebuah bisnis adalah tahu kelemahannya apa kemudian mengelilingi dirinya dengan orang-orang yang bisa melengkapi kekurangannya. (Widi Erha Pradana / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *