Apakah Tepat Menyebut Pelaku Klitih sebagai Pengecut ?

Apakah Tepat Menyebut Pelaku Klitih sebagai Pengecut ?

“Kalau hanya mau melukai dan melarikan diri tanpa alasan, tidak usah jadi klitih. Mantanku juga bisa,” tulis sebuah pengguna akun Twitter menggunakan bahasa Jawa campur Indonesia. Cuitan itu sempat ramai beberapa waktu lalu.

Bagi sebagian orang, unggahan itu adalah sebuah jokes receh, tapi sesungguhnya dalam unggahan itu tersirat ungkapan, betapa pengecutnya aksi kekerasan jalanan oleh remaja yang marak di Jogja akhir-akhir ini yang sering disebut dengan istilah klitih itu. Istilah apa yang bisa menggambarkan tindakan menyerang orang dengan senjata tajam, sedangkan si korban dalam keadaan tidak siap menerima serangan selain pengecut?

“Ketika dilihat dari habis melukai lari, memang bisa dibilang pengecut. Tapi kalau dilihat secara lebih mendalam, saya pikir mereka sudah tersakiti dulu,” ujar Sosiolog Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Bambang Kusumo Prihandono, Senin (10/2).

Menurutnya, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh remaja di jalan yang belakangan di Jogja marak lagi merupakan akibat dari situasi masyarakat yang tidak sehat. Pelaku klitih, menurutnya adalah orang-orang yang di tengah masyarakat selalu dipinggirkan dan tidak diakui keberadaannya.

Mereka terlampau sakit karena selalu dipandang sebagai anak-anak nakal, bodoh, urakan, dan tidak berguna, sehingga ingin menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat. Celakanya, mereka tidak tahu harus protes atau balas dendam kepada siapa, sebab yang telah menyakiti mereka adalah sistem. Akibatnya, mereka melampiaskan balas dendam atas sakitnya itu dengan melakukan aksi kekerasan di jalanan.

“Mungkin mereka sudah sampai pada tahap yang sangat putus asa, tidak tahu harus meluapkan rasa sakit, rasa kecewa, rasa putus asa itu. Sebenarnya masyarakat kita sendiri yang menciptakan klitih,” lanjutnya.

Sulitnya Mendefinisikan Kekerasan Acak di Malam Hari di Yogya

Apakah Tepat Menyebut Pelaku Klitih sebagai Pengecut ?
Ilustrasi kejahatan di malam hari yang dilakukan secara acak. Foto : Kumparan

Senada, sosiolog UGM, Suprapto, mengatakan bahwa aksi kejahatan jalanan yang sedang marak ini merupakan upaya para pelaku, anak-anak remaja yang terlempar dari tatanan sosial masyarakat, agar masyarakat luas merasakan keresahan yang sama dengan yang mereka rasakan. Mereka memang sengaja menciptakan teror, ketakutan, atau keresahan itu, bukan sekadar untuk membalas dendam, tapi juga agar orang-orang lain merasakan apa yang mereka rasakan.

“Dilihat dari bagaimana dan mengapa mereka melakukan kejahatan jalanan itu, tidak tepat disebut sebagai pengecut. Tapi apa yang tepat, saya juga belum nemu,” jelasnya.

Jika melihat dampak yang diakibatkan dari aksi kejahatan jalanan ini, masyarakat menjadi terteror, resah, dan takut ke luar rumah terutama malam hari, aksi itu menurut Bambang bisa dimaknai sebagai aksi terorisme. Namun istilah ini juga tidak semata-mata bisa dipakai, mengingat terorisme di dalam UU No 15 tahun 2003 dimaknai sebagai kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.

“Yang paling singkat ya AKJ, aksi kejahatan jalanan,” usulnya.

Sulit menurutnya menemukan istilah yang tepat untuk menyebut aksi kejahatan di jalanan oleh remaja ini. Sebab jika dikatakan aksi kriminal, aksi kejahatan tersebut tidak seperti aksi kriminal lain misalnya perampokan, pencurian, atau begal. Menyebutnya sebagai teroris pun kurang tepat, karena istilah itu sudah lebih dulu digunakan untuk tindak kejahatan lain.

“Tapi kalau (disebut) nakal, kok lebih dari sekadar nakal. Ini kan dia ada di tengah-tengah, serba nanggung. Pelakunya pun kebanyakan remaja di bawah umur,” ujar Bambang.

Suprapto juga tidak sepakat jika kejahatan di jalanan yang dilakukan oleh remaja itu disebut sebagai aksi klitih. Pasalnya, klitih dalam makna yang sebenarnya dalam bahasa Jawa berarti melakukan kegiatan positif di saat senggang. Misalnya menjahit, membaca, membersihkan perabot rumah, serta aktivitas-aktivitas positif lainnya.

“Jadi sangat tidak tepat jika klitih diartikan sebagai kejahatan jalanan. Jadi harus diganti,” tegas Suprapto, Sabtu (8/2).

Suprapto berjanji akan memikirkan kembali istilah apa yang paling tepat untuk menyebut kejahatan jalanan yang kian meresahkan masyarakat Jogja itu.

Tidak Ada Klitih di KUHP

Apakah Tepat Menyebut Pelaku Klitih sebagai Pengecut ?
Ilustrasi kekerasan. Foto : kumparan

Di dalam KUHP tidak ada istilah klitih. Dalam penyidikan, istilah klitih juga tidak pernah digunakan oleh kepolisian. Kabid Humas Polda DIY, AKBP Yulianto, menganakan istilah yang digunakan selama ini tetap mengacu pada KUHP.

Misalnya kasus pembacokan, maka dia akan dikenakan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Jika memukuli orang secara ramai-ramai, maka dia dikenakan pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, dan sebagainya tergantung bagaimana pelaku melakukan tindak kejahatannya.

“Di KUHP tidak ada istilah klitih. Kalau orang membacok orang sampai luka-luka itu namanya penganiayaan, mukulin orang kalau dilakukan sendiri itu juga namanya penganiayaan,” ujar AKBP Yulianto.

Sosiolog Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Bambang Kusumo Prihandono mengatakan, seiring semakin banyaknya fenomena yang terjadi, termasuk di dunia kejahatan, bisa saja klitih mengalami perkembangan atau perubahan definisi.

“Istilah ini kan konsensus bersama ya. Klitih ini juga bisa didefinisikan baru, bukan hanya orang ke sana-ke sini yang tidak pernah jelas. Tapi juga bisa menjadi tindakan kekerasan yang dalam tanda kutip tidak pernah jelas motif kekerasannya,” ujar Bambang. ( Widi Erha Pradana /YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *