AntarRagam, Metode Teater Membaca Ulang Indonesia dari Luar Jawa

AntarRagam, Metode Teater Membaca Ulang Indonesia dari Luar Jawa

Sejak 2017 silam Teater Garasi menggarap proyek AntarRagam, ekspedisi ke sejumlah daerah di luar Jawa untuk mengeksplorasi tradisi dan budaya di daerah-daerah tersebut. Selama dua tahun mereka bertemu dengan para seniman dan anak-anak muda dari Madura, Singkawang, Sumbawa, Maumere, serta Flores Timur.

“Niatnya adalah kami ingin bagaimana membaca Indonesia, mempelajari perihal keindonesiaan dari sudut pandang non-Jawa,” ujar Direktur Utama Teater Garasi, Yudi Ahmad Tajudin, Senin (2/12) malam.

Teater Garasi sebagai suatu wadah kolektif seniman yang berbasis di Yogyakarta, menurut Yudi penting untuk mempelajari keindonesiaan dari sudut pandang luar Jawa. Sebab, selama ini menurut Yudi Indonesia hanya banyak didefinisikan oleh Jawa.

Diskusi yang berkembang tentang kebangsaan selama ini menurutnya lebih ditentukan oleh Jawa. Sedangkan, diskusi-diskusi dari luar Jawa tidak banyak terakomodir.

“Imajinasi kita tentang Indonesia kalau kita tinggal terus-menerus di Jawa, itu kan lebih dibentuk oleh kebudayaan Jawa, oleh kenyataan-kenyataan sosial politik Jawa juga. Seolah-olah apa yang terjadi di Jogja, di Jakarta itu dengan sendirinya merepresentasikan Indonesia,” lanjut Yudi.

ArsitaWardhani dari Teater Garasi yang juga ikut dalam program tersebut juga mengatakan demikian. Pada intinya mereka ingin jalan-jalan ke luar Jawa untuk menemui seniman-seniman dan seni budaya yang ada di luar Jawa.

“Jadi selama 26 tahun kami ada di Jogja, dan kami merasa sejak tahun 2017 itu penting untuk kemudian melihat keindonesiaan dari luar Jawa. Karena kita tahu, Jawa seperti berusaha disebar-sebarkan kejawaan itu ke seluruh Indonesia. Tapi apa sih yang sebenarnya terjadi di sana?” ujar Arsita.

Membangun Narasi Alternatif Atas Keindonesiaan

Di sejumlah daerah yang mereka singgahi, mereka saling berinteraksi dan berbagi perihal seni budaya dengan masyarakat setempat. Teater Garasi juga memfasilitasi serangkaian karya pertunjukan, workshop, dan festival seni di kota-kota yang mereka singgahi.

SilvesterPeteraHurit, seorang putra asli Flores Timur mengaku sangat terbantu atas hadirnya Teater Garasi ke tempatnya dalam rangka menghidupkan kembali seni budaya daerahnya yang sudah lama mati. Selama ini, sejak 2010 setelah menyelesaikan pendidikannya di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Silvester bisa dibilang bergerak sendiri.

“Waktu itu ada teman-teman Garasi datang, ada Mas Yudi dan lain-lain. Saya biasa berdiskusi dengan mereka. Saya cerita kegelisahan saya, apa yang bisa kami buat,” ujar Silvester.

Dalam perjalanannya, Yudi mengatakan bahwa Teater Garasi lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan katalisator dalam menyelenggarakan setiap kegiatan. Ada sangat banyak hal yang bisa dipelajari dari budaya dan tradisi di luar Jawa menurut Yudi. Salah satu yang paling relevan saat ini menurutnya adalah orang-orang di luar Jawa relatif lebih terbuka daripada orang Jawa. Dalam dialog dan komunikasi di kehidupan sehari-hari, mereka relatif lebih terbuka tanpa banyak unggah-ungguh.

“Dan aku kira, apalagi sekarang, buatku dialog yang terbuka dan langsung ini penting. Sehingga menghindarkan kita dari kultus individu,” kata Yudi.

Secara sejarah bagaimana mereka bertemu dengan budaya asing juga penting untuk dipelajari. Selama ini, orang berbicara sinkretisme hanya sebatas Jawa. Padahal seturut Yudi, pertemuan budaya Flores Timur dengan budaya Eropa itu juga sebanding.

“Kebudayaan mereka kali ini kan dibentuk oleh dialog mereka, pertemuan mereka dengan Eropa. Di Semarasanta misalnya, itu salah satu yang paling besar. Dan itu kaya banget sebagai suatu pantulan, proses pembacaan ulang atas Indonesia yang kaya banget. Dan itu baru dari satu tempat saja,” ujar Yudi.

Kami merasa sejak tahun 2017 itu penting untuk kemudian melihat keindonesiaan dari luar Jawa. Karena kita tahu, Jawa seperti berusaha disebar-sebarkan kejawaan itu ke seluruh Indonesia. – Arsita

Ketika Tunas-Tunas Itu Tumbuh

Salah satu hasil ekspedisi selama 3 tahun itu adalah sebuah film dokumenter bertajuk Ketika Tunas-Tunas Itu Tumbuh. Intinya, film dokumenter itu bercerita tentang bagaimana SilvesterPetaraHurit berjuang menghidupkan lagi budaya dan tradisi adat yang sudah lama mati karena masuknya otoritas gereja.

Yudi berharap film dokumenter tersebut dapat melahirkan dialog dan diskusi soal substansi film tersebut.

“Bagaimana dulu itu dialog kultural bisa keras dan ada efeknya. Dan bagaimana kemudian apa yang sebaiknya bisa dilakukan,” ujar Yudi.

Terlebih persoalan benturan antara budaya dan agama sebenarnya juga relevan dengan daerah-daerah lain, tak terkecuali Jawa. Film itu dinilai memiliki energi yang lebih kuat karena mengambil latar di luar Jawa. Akan berbeda jika latar yang diambil berasal dari Jawa, karena sudah terlalu banyak yang membahasnya, masyarakat menjadi kurang peka terhadap masalah itu.

Program AntarRagam secara resmi memang sudah selesai, namun sejumlah komunitas yang bermitra dengan Teater Garasi di tiap daerah banyak yang akan melanjutkan program-program di daerahnya masing-masing.

“Secara informal jejaring pertemanan juga akan terus berlanjut,” kata Yudi.

Harapannya, kegiatan-kegiatan itu bisa melahirkan pengetahuan baru dan narasi-narasi alternatif atas kenyataan-kenyataan perubahan dan keberagaman sosio-kultural di Indonesia dan Asia.

Selain pemutaran film, hasil ekspedisi Teater Garasi yang ditampilkan dalam acara “Pusaran Tukar AntarRagam” di Studio Teater Garasi Yogya sepanjang 2-4 Desember 2019, juga menyuguhkan pementasan teater dan peluncuran buku.

Pada 4 Desember 2019 ini juga bertepatan dengan 26 tahun kolektif Teater Garasi. Jadi, selamat ulang tahun Teater Garasi ! Slaman, slumun, slamet. Rahayu.

(Widi Erha Pradana / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *