Akulturasi dan Toleransi dalam Sejarah Panjang Komik Gundala

Akulturasi dan Toleransi dalam Sejarah Panjang Komik Gundala

Komunitas Cina atau Tionghoa sudah mendarat di kepulauan Nusantara sejak berabad-abad silam, jauh sebelum kedatangan para kolonialis Eropa maupun para pengelana dari kawasan Arab, khususnya Yaman. Mereka juga ikut berkontribusi membentuk atau menciptakan tradisi dan kebudayaan lokal di Nusantara sehingga terbentuk semacam Sino-Indonesian Culture.

Salah satu Sino-Indonesian Culture itu bisa kita lihat dalam perkembangan seni pencak silat Indonesia. Raksasa peneliti Jawa Kuno, Denys Lombard dalam bukunya “Nusa Jawa: Jaringan Asia,” menuliskan dunia persilatan telah mengilhami karya sastra yang sangat melimpah, yang sebagian berupa terjemahan dari pelbagi roman silat Cina “wuxia xiaoshuo”. Karya itu menampilkan ideal-ideal yang khas Cina. Setelah penerjemahan pertama, karya-karya asli segera muncul dan ditulis langsung dalam Bahasa Melayu oleh para peranakan untuk memenuhi permintaan pasar. Sehingga hingga kini dikenal banyak cerita tentang pendekar Cina atau Kungfu Cina.

Pada mulanya komik silat Indonesia berasal dari kisah klasik pendekar Cina, kemudian bergeser dengan latar dan sejarah Nusantara.

Di Indonesia kontemporer, Gundala Putra Petir mendapat tempat khusus sebagai film superhero lokal yang disejajarkan dengan film-film superhero luar. Dan sesungguhnya, kenyataan ini bisa dibaca sebagai penghormatan semesta untuk sejarah panjang akulturasi dan toleransi Tionghoa-Jawa yang menubuh dalam kisah hidup Hasmi sebagai pesilat sekaligus penulis cerita silat.

Ya, selain dikenal dengan Maestro komik superhero Indonesia melalui Gundala Putera Petir, sesungguhnya Hasmi mengawali langkahnya di industri komik melalui komik silat. Hasmi terinspirasi dari cerita silat berlatar Jawa era kerajaan yang dikarang oleh penulis S.H. Mintardja. Dan Hasmi sebagai pribadi adalah seorang murid sabuk hitam perguruan silat BIMA (Budaya Indonesia Mataram).

Dan semuanya bisa dimulai dari kisah Si Garuda Emas dan Malaikat Berwajah Putih.

Garuda Emas dan Malaikat Berwajah Putih

Akulturasi dan Toleransi dalam Sejarah Panjang Komik Gundala
Salah satu bagian di komik gundala.

Louw Djing Tie dan Lo Ban Teng adalah dua sosok utama dan legenda dunia persilatan, baik di China maupun di Indonesia. Mereka berdualah yang diyakini sebagai dua sosok utama pembawa beladiri kungfu dari Tiongkok ke Indonesia. Di dunia persilatan, Louw Djing Tie mendapatkan julukan “Garuda Emas dari Siauw Liem Pay” dan Lo Ban Teng mempunyai julukan “Pek Bin Kim Kong” atau “Malaikat Berwajah Putih”.

Kedatangan pendekar-pendekat Kungfu tersebut ke Jawa disinyalir mulai abad 19 sampai awal abad 20. Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadi jujukan awal. Para pendekar yang datang sudah menjadi master kungfu, sehingga mereka menjadi guru atau shifu. Selain populer sebagai pendekar, para praktisi kungfu dari daratan Cina ini dikenal mahir dalam pengobatan, sehingga juga dikenal sebagai tabib. Dan Garuda Emas-Malaikat Berwajah Putih itulah legenda utamanya.

Dari Semarang Pindah ke Jogja

Kisah Louw Djing Tie pertama kali ditulis oleh Tjiu Khing Soei dengan judul Garuda Mas dari Cabang Siaouw Lim, terbitan Semarang, pada akhir 1920-an. Penulisnya adalah tetangga Djing Tie. Cerita itu ditulis ulang menjadi “Dua Jago Silat di Java” pada 1935 dan diterbitkan ulang oleh Gramedia dalam “Kesastraan Melayu Tionghoa Jilid 5”, April 2002.

Di usia tuanya Louw Djing Tie memiliki banyak murid yang menjadikan ilmu kungfu dipelajari oleh banyak orang. Salah satu murid Louw Djing Tie adalah Hoo Tik Tjaij dengan nama panggilan Suthur. Suthur jadi murid kesayangan dan diangkat anak oleh Louw Djing Tie, diberi nama Hoo Liep Poen.

Suthur mengajarkan ilmu yang didapat dari Louw Djing Tie ke dua anaknya, Hoo Kiong Nio dan Hoo Han Bien. Selain mengajarkan kepada kedua anaknya, Suthur juga mengajarkan ilmu Sang Garuda Mas itu kepada Yap Kie San yang mempunyai nama lain Yosokarso.

Sekitar tahun 1936, Yosokarso alias Yap Kie San memiliki istri dari Muntilan dan menetap di Kampung Notoyudan, Yogayakarta. Ia membuka warung kelontong dan menjual tembakau.

Setelah menetap di Jogja, Yap Kie San sebenarnya tidak ingin menerima murid, namun pada akhirnya berubah dan menerima Raden Brotosutarjo sebagai murid selama kurang lebih 2 tahun. R. Brotosutarjo sendiri sebelum belajar pada Yap Kie San telah belajar kepada dua pendekar silat Jawa yaitu Kyai Marzuki dan Ki Parto Sardjono.

Perkawinan Kungfu China dan Silat Jawa

Akulturasi dan Toleransi dalam Sejarah Panjang Komik Gundala
dok.istimewa

Dalam diri R. Brotosutarjo inilah toleransi dan akulturasi antar seni beladiri yang bersifat internasional mengejawantahkan diri. Toleransi adalah kesediaan Yap Kie San untuk mengajarkan ilmu kungfunya kepada orang Jawa yaitu R. Brotosutarjo. Toleransi juga terjadi ketika ilmu beladiri kungfu dibiarkan hidup di tanah Jawa dan bahkan dipelajari oleh R. Brotosutarjo yang seorang Jawa.

Brotosutarjo yang mendapatkan sistem pengolahan dari beragam ilmu Kunthau/Kungfu, silat dan pencak stroom, akhirnya mencoba mengolah sendiri dengan ijin para gurunya, termasuk menggunakan lambang kode etik/salam hormat dari aliran Siau Liem Sie.

Brotosutarjo memadukan dasar beladiri dari ketiga gurunya membuat formula gerak beladiri baru yang tertuang dalam gerak pencak silat BIMA (Budaya Indonesia Mataram) pada tahun 1953. Dengan demikian, meskipun pernah berguru kepada Yap Kie San, teknik silat BIMA adalah teknik beladiri yang murni diciptakan oleh R. Brotosutaryo.

Silat Bima di Komik Gundala

Akulturasi dan Toleransi dalam Sejarah Panjang Komik Gundala
dok.istimewa

Hasmi, komikus pencipta superhero Gundala, adalah seorang murid sabuk hitam perguruan silat BIMA. Bisa dikatakan teknik silat BIMA sangat mempengaruhi Hasmi dalam menciptakan ilustrasi atau gambar Gundala ketika sedang menunjukkan kemahirannya dalam bela-diri.

Misalnya, dalam serial Gundala yang berjudul “Gundala Cuci Nama,” dalam cover seri itu nampak Gundala sedang memperagakan sikap yang di perguruan silat Bima disebut sebagai sikap “Kuntul Mliwis”.

Dalam komik Gundala yang berjudul “Seribu Pendekar”, di cover depan terdapat gambar Gundala memperagakan sikap yang dikena di BIMA sebagai jurus “Harimau” dan di halaman awal serial itu terdapat gambar Gundala memperagakan sikap “Satria” BIMA.

Menurut pengakuan Hasmi yang dituliskan dengan jelas dalam seri itu, “Seribu Pendekar” disusun sebagai kenangan atas Guru Besar Perguruan Silat BIMA: R. Brotosutaryo.

Silat BIMA sampai hari ini terus hidup di Yogyakarta. Dan berbeda dengan banyak aliran silat lainnya yang bermetamorfosa menjadi cabang olahraga, Silat BIMA tetap berada di pinggiran : sebagai jalan hidup.

(Irsad Ade Irawan – penekun pencak silat, tinggal di Yogyakarta / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *