Ada sekitar 900 juta orang di negara-negara miskin yang berisiko terinfeksi virus corona atau COVID-19. Sayangnya mereka tak memiliki sumber daya ekonomi dan infrastruktur yang memadai, seperti yang ada di negara maju.
Padahal, negara-negara maju dengan sumber daya ekonomi dan infrastruktur yang lebih mumpuni saja kewalahan menghadapi COVID-19. Sebut saja di Italia dan AS, dimana orang-orang terus berjatuhan dari hari ke hari karena corona.
Di Korea Selatan, dengan kekuatan ekonomi yang dia miliki, mampu melakukan respons terhadap pandemi ini secara cepat dan terkoordinasi. Itu saja ribuan kasus masih terjadi, dan lebih dari 100 warganya meninggal dunia.
Hal itu menggambarkan, betapa besar risiko yang membayangi negara-negara miskin. Sayangnya sebagian besar negara tak memiliki kekayaan dan infrastruktur seperti di negara-negara maju. Bagaimana nasib 50 negara, rumah hampir 900 juta orang miskin di seluruh dunia?
Atau katakanlah negara yang infrastruktur dan ekonominya tak sebaik Italia, AS, atau Korea Selatan, bagaimana nasib mereka? Atau tak usah jauh-jauh, bagaimana nasib Indonesia? Adakah pelajaran yang bisa kita ambil dari upaya para pemimpin di seluruh dunia dalam mengatasi pandemi ini, terutama yang bisa dilakukan oleh negara-negara yang tidak memiliki sumber daya ekonomi dan infrastruktur memadai?
Belajar dari Nepal
Nepal sebenarnya telah mengajarkan kita bagaimana merespons pandemi ini dengan sangat sigap. Pemerintah setempat telah mengambil langkah luar biasa untuk mencegah masuknya virus corona melalui perbatasannya.
Sejak awal, mereka merespons pandemi ini denga cara menutup sekolah, membatalkan berbagai macam event, serta menutup tempat-tempat pariwisata, termasuk yang paling terkenal dan menyumbang banyak pemasukan: Gunung Everest.
Kebijakan ini merupakan langkah yang berani, mengingat pariwisata adalah salah satu sumber utama pendapatan ekonomi mereka. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Ketika negara-negara di dunia mulai menutup akses internasional ke wilayahnya, Pemerintah Indonesia justru sibuk menggenjot sektor pariwisata melalui berbagai cara, dari diskon tiket pesawat sampai membayar influencer miliaran rupiah.
Dilansir oleh Weforum.org, Nepal dengan jumlah penduduk sekitar 28 juta jiwa kemungkinan hanya memiliki kurang dari 500 tempat tidur unit perawatan intensif di seluruh negara. Banyak juga rumah sakit di pedesaan tidak memiliki kapasitas rawat inap yang memadai.
Sementara pengujian diagnostik hanya tersedia di rumah sakit rujukan satu-satunya di ibu kotanya, Kathmandu. Itu mengapa pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah Nepal menjadi langkah yang sangat krusial mengingat sumber daya yang mereka miliki untuk menangani pandemi ini jauh dari kata siap.
Hasilnya, berdasarkan laporan Aljazeera, hingga 23 Maret Nepal baru mencatat 1 kasus COVID-19 di negaranya. Tak hanya itu, dari laporan Nepal Times, satu-satunya pasien COVID-19 di Nepal, saat ini sudah sembuh.
6 Jalan Selamat dari Corona
Sejumlah negara maju di seluruh dunia mulai mengumumkan bantuan ekonomi untuk negara-negara yang tidak punya sarana memadai. Hal ini harus disambut baik. Negara-negara yang telah berhasil mengendalikan COVID-19 di wilayahnya seperti Taiwan, China, Korea Selatan, Singapura, Jepang, dan Hong Kong, juga perlu didorong untuk ikut menyumbangkan keahlian dan sumber daya kepada negara-negara lain yang masih berjuang melawan corona, khususnya negara-negara kelas menengah ke bawah.
Weforum.org merilis ada enam cara untuk menyelamatkan negara-negara miskin dari pandemi COVID-19 ini. Pertama adalah pembatasan yang terkoordinasi sebagai upaya penting untuk mitigasi risiko.
Saat ini, sebagian besar respons yang dilakukan oleh negara-negara di dunia menangani pandemi ini adalah dengan langkah-langkah pembatasan fisik. Penutupan sekolah, berbagai acara, bisnis, bekerja dari rumah, pembatasan perjalanan, serta pembatasan pertemuan-pertemuan sosial merupakan langkah yang lazim dilakukan.
Langkah-langkah ini sangat penting untuk menekan penyebaran virus corona yang semakin luas. Komunitas global pun mendukung upaya ini dengan berbagai data, protokol, serta memastikan kohesi regional dalam kebijakan lintas batas seputar migrasi dan perdagangan.
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh negara-negara miskin dan berkembang adalah memperbanyak alat pelindung diri (APD) dan kapasitas pengujian. Namun mereka hanya mampu melakukan langkah ini dengan dukungan finansial dari negara lain. Negara-negara donor ini adalah negara-negara yang telah dilanda dan berhasil mengendalikan pandemi ini.
Mengingat COVID-19 menyebar ke setiap daerah secara cepat, maka pusat perawatan yang dinasionalisasi dapat menekan dampak pandemi yang semakin parah. Terlebih di negara kepulauan yang sangat luas seperti Indonesia, pembangunan fasilitas kesehatan yang memadai di setiap daerah merupakan keniscayaan.
Petugas layanan kesehatan yang bertugas di garis depan juga harus dilengkapi dengan teknologi, APD, dan protokol yang dibutuhkan. Dengan teknologi seluler sederhana misalnya, petugas kesehatan dapat ikut membantu membuat triase (proses penentuan atau seleksi pasien yang diprioritaskan untuk mendapat penanganan terlebih dahulu di ruang Instalasi gawat darurat) pasien dan merekomendasikan isolasi rumah bagi mereka yang memungkinkan.
Hal ini penting, supaya rumah sakit bisa fokus menangani pasien yang benar-benar harus cepat ditangani serta menghindari antrean panjang di rumah sakit. Banyak negara berkembang seperti Nepal telah memelopori penggunaan layanan pengiriman kesehatan berbasis masyarakat dan kegiatan promosi untuk memobilisasi infrastruktur ini. Dan yang perlu digaris bawahi, mereka membutuhkan pelatihan dan alat teknologi yang tepat agar cara ini berjalan efektif.
Cara kelima untuk menyelamatkan manusia dari pandemi COVID-19 ini adalah dengan memastikan pasokan obat-obatan penting tidak teputus. Seperti wabah Ebola, akan ada gangguan dalam layanan perawatan primer yang penting karena pandemi COVID-19 di negara berkembang dan miskin. Untuk memastikan pasokan obat-obatan penting tidak terputus di tengah jalan, sebuah negara perlu memiliki kerja sama yang proaktif dengan kementerian kesehatan di seluruh dunia.
Langkah terakhir yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan penduduk di negara-negara miskin dan berkembang di seluruh dunia adalah memastikan akses vaksin dan obat-obatan yang merata.
Pada gelombang pertama, respons terhadap pandemi mungkin masih banyak kekurangan, terutama alat biomedis yang terbatas. Namun segala persiapan harus disiapkan untuk memastikan akses yang adil atas vaksin dan antivirus nantinya. Sebagai informasi, vaksinasi dan antivirus influenza hampir tidak ada di negara-negara miskin dan berkambang. Akibatnya, 500.000 kematian global tahunan yang terjadi diperkirakan disebabkan oleh influenza tahunan.
COVID-19 mendesak bahwa semua negara harus terlibat dalam pertarungan bersama ini. Menemukan sumber daya untuk melawannya bukanlah permainan zero-sum.
Meninggalkan negara-negara yang paling miskin di dunia sekarang akan menyebabkan sejumlah besar kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Ketidakstabilan ekonomi global yang akan menimpa semua negara juga menjadi risiko lain yang dapat terjadi secara berkelanjutan. Karena itu, pertarungan yang benar-benar bersifat global adalah sebuah prioritas moral yang harus dilakukan saat ini. (Widi Erha Pradana/YK-1)