Migrasi burung adalah sebuah perjalanan tahunan yang meniadakan batas negara, menghubungkan dunia. Jika penyu dikenal sebagai duta besar lautan, maka burung migran adalah duta besar angkasa.
Begitu kata Muhammad Salamuddin Yusuf, dosen di Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan (STTL) Mataram, NTB yang juga menulis buku ‘Burung-burung di Batu Hijau’, Kamis (21/5).
Bayangkanlah karnaval jutaan, ratusan ribu; penyu dan burung di laut dan di angkasa raya kita, melenggang bebas mengepakkan sayap mereka meluncur melalui gelombang laut dan hembusan angin, tak urusan dengan batas-batas negara. Tak ada kata lain kecuali sebuah keajaiban.
Salamuddin Yusuf menjadi salah seorang pembicara dalam webinar yang diadakan oleh Frank Williams Museum Patung Burung, Universitas Udayana dalam rangka Hari Migrasi Burung Sedunia 2020 yang bertajuk ‘Birds Conect Our World’.
Dalam kesempatan ini, Salamuddin menjabarkan situasi migrasi burung di kawasan Nusa Tenggara Barat.
Migrasi raptor menjadi salah satu hal yang paling menarik di NTB. Karena migrasi raptor ini, para pecinta, pengamat, hingga peneliti burung berkumpul untuk melakukan pengamatan ribuan raptor migran di langit Nusa Tenggara.
Proses pengamatan ada yang sudah menggunakan teknologi satellite tracking, ada juga yang menggunakan metode ground observation terutama di pintu-pintu masuk raptor, yakni di Pemenang Lombok dan di Batu Hijau.
1. Sebanyak 12 Spesies Raptor Migran Tercatat Melewati Langit NTB
Sepanjang 2019, tercatat ada 12 spesies raptor migran yang melewati Nusa Tenggara. Sebagian besar spesies raptor migran itu adalah vagrant, dalam artian hanya sesekali saja terlihat kecuali pada periode migrasi besar-besaran.
Ke-12 spesies raptor yang tercatat melewati Nusa Tenggara di antaranya oriental-honey buzzard, black kite, eastern marsh-harrier, black eagle, chinese goshawk, japanese sparrow hawk, pacific baza, grey-faced buzzard, booted-eagle, nankeen kestrel, australian hobby, dan peregrine falcon.
Data terbaru yang dirilis Hachikuma Project pada 2012-2014, empat ekor oriental-honey buzzard yang dilepaskan di Jepang, ternyata dua di antaranya terpantau melewati Nusa Tenggara, dimana stasiun akhir migrasinya ada di Timor Leste dan Pulau Wetar. “Rata-rata memerlukan tiga sampai lima hari untuk melintasi Lombok dan Sumbawa,” kata Salamuddin Yusuf.
Sebagian besar raptor migran melewati vegetasi di kawasan gunung Rinjani. Dari data-data perjumpaan yang ada, raptor migran juga melewati daerah Batu Hijau dan daerah-daerah yang vegetasinya masih bagus. Dan yang menarik, di daerah bukit di dekat gunung Tambora menjadi titik temu berbagai raptor migran.
“Jadi daerah bukit di bawah gunung Tambora ini menjadi titik penting untuk pengamatan raptor migran ke depannya,” lanjutnya.
Sementara itu, Sape yang merupakan ujung Nusa Tenggara menjadi pintu keluar raptor migran yang melintasi kawasan Nusa Tenggara.
2. Kawasan Transit Tatar Sepang Terancam Pembukaan Lahan
Tatar Sepang menjadi salah satu tempat transit penting di Sumbawa bagi raptor migran karena memiliki vegetasi yang masih sangat baik. Beberapa tahun lalu, Tatar Sepang sempat diusulkan menjadi salah satu taman nasional namun sampai sekarang belum berhasil.
Beberapa kali, perjumpaan individu oriental-honey buzzard di Tatar Sepang tercatat hingga satu bulan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua burung migran sampai ke tempat tujuannya, ada juga yang singgah ke beberapa titik.
“Daerah-daerah tempat transit itu, atau tempat dia berada selama lebih dari seminggu itu menjadi penting untuk dipantau terus,” kata Salamuddin Yusuf.
Di kawasan ini, oriental-honey buzzard dalam kelompok kecil sekitar 5 atau 6 ekor selalu terlihat sepanjang tahun. Hal ini menjadi bukti bahwa ada beberapa individu yang tertinggal dan mungkin saja pada musim balik mereka akan kembali bersama yang lainnya. Namun sayangnya kawasan yang masih sangat baik vegetasinya ini terancam oleh pembukaan lahan terutama untuk pertanian jagung.
3. Burung Air di Lombok Didominasi Burung Migran
Sebagian besar burung air yang ada di NTB, khusunya di Lombok, ternyata didominasi oleh burung migran. Setidaknya ada 35 spesies burung migran yang merupakan jenis burung air di kawasan Nusa Tenggara. Ada beberapa titik yang sangat penting bagi burung pantai migran, salah satunya adalah danau Gili Meno yang merupakan danau air asin di daerah Lombok.
Spot utama adalah di Waduk Batujai, yang merupakan waduk buatan dengan luas yang cukup signifikan. “Untuk daerah Sumbawa, pesisir utara menjadi daerah-daerah yang cukup signifikan, tapi jangan dibandingkan dengan daerah Sumatera atau Aceh yang sangat luas daerah lumpurnya,” kata Salamuddin.
Sementara untuk daerah selatan, tempat transit burung air migran lebih banyak terdapat di muara-muara sungai karena daerah mangrove-nya terbatas, kecuali di daerah-daerah teluk yang luas.
Hotspot selanjutnya adalah danau Rawa Taliwang, yang merupakan salah satu daerah penting bagi burung migran yang ada di NTB. Sayangnya saat ini luasan danau ini kian menyusut dan terus mengalami pendangkalan.
4. Jumlah Burung Migran Jenis Bertengger Menurun Drastis
Selain raptor dan burung pantai, burung migran di kawasan Nusa Tenggara juga ada jenis burung bertengger. Burung migran jenis ini menurut Salamuddin Yusuf juga sangat penting, sayangnya jumlahnya terus menurun tiap tahun.
Pada satu dekade silam, Salamuddin mendata ada sekitar 50.000 individu burung migran bertengger di satu spot migrasi saja. Tapi saat ini jumlah yang bisa ditemukan pada satu spot hanya sekitar 10.000 saja. “Kendala apa kita masih belum bisa memastikan,” ujarnya.
5. Permasalahan Burung Migran di Nusa Tenggara
Persoalan migrasi burung di Nusa Tenggara menurut Salamuddin Yusuf tidak jauh berbeda dengan yang ada di daerah-daerah lain. Pertama adalah menurunya jumlah dan kualitas lokasi tujuan migrasi rutin burung pantai. Hal ini disebabkan banyaknya waduk dan kawasan mangrove yang mengalami kerusakan dan pendangkalan.
Luasan tambak yang meningkat di daerah utara pulau Sumbawa juga menjadi persoalan tersendiri. Dijumpai juga perburuan burung migran, baik untuk konsumsi, perdagangan, juga perburuan tanpa tujuan.
“Kemudian logging dan pembakaran hutan untuk kebun jagung, termasuk hutan mangrove, ini juga sangat masif di Pulau Sumbawa,” kata Salamuddin.
Persoalan lain yang ada di Nusa Tenggara di antaranya sedimentasi waduk atau danau serta penggunaan pupuk, pestisida, dan herbisida oleh dunia pertanian yang juga menjadi salah satu penyebab sedimentasi serta berpotensi meracuni burung. (Widi Erha Pradana / YK-1)