4 Tangis dan Kepedihan Petani yang Musti Dipahami Pemuda Kota

4 Tangis dan Kepedihan Petani yang Musti Dipahami Pemuda Kota

Kalau tahu gimana pedihnya petani menyiapkan segala bahan makananmu, enggak mungkin tega kamu buang-buang makanan lagi, begitu kata Singgih Bekti, seorang petani muda dari Purwodadi, Jawa Tengah. Dia tak hanya bercerita betapa panjang sebuah makanan sampai ke meja makan kita. Lebih dari itu, dia bercerita tentang luka dan air mata petani.

Andai semua orang memahami apa yang petani-petani kita rasakan, niscaya selalu ada doa untuk mereka dalam setiap jepretan foto makanan terbaik kita. Mari mendengar dan memahami kepedihan mereka, supaya pahlawan pangan yang mereka sandang bukan jadi slogan penghibur belaka.

“Ya biar sesekali sebelum foto-foto makanan ingetlah ama petani,” kata Singgih.

1. Dipandang Sebelah Mata

Salah satu alasan anak-anak muda enggan menjadi petani adalah adanya stigma negatif dari masyarakat. Menjadi petani dianggap tidak keren, tidak punya masa depan yang cerah, dan kampungan.

Singgih mengalami itu. Apalagi dia bukan anak muda biasa, dia sedikit dari pemuda kampungnya yang lulus sarjana dari salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta. Prestasinya ketika menjadi mahasiswa juga bejibun, tapi dia malah memilih menjadi seorang petani ketika teman-teman kuliahnya berlomba-lomba untuk menjadi pegawai negeri, pekerja di perusahaan-perusahaan besar, atau apapun itu yang dianggap orang kebanyakan punya masa depan cerah.

Tapi Singgih memilih bersikap bodo amat atas semua stigma itu, sebab baginya tak ada yang salah menjadi seorang petani. “Tidak perlu disikapi dengan serius. Menikmati prosesnya sembari fokus pada produktivitas. Pengalaman semasa sekolah, kuliah, hingga sekarang, bertani bukan sebuah kesalahan,” ujarnya ketika dihubungi, Kamis (14/5).

2. Gagal Panen

Bayangkan, tenaga telah dicurahkan sepenuhnya untuk menggarap sawah. Lahan sudah dibajak, benih sudah disemai, padi sudah ditanam. Modal jutaan sudah dikeluarkan untuk beli benih, pupuk, dan pestisida, tapi tiba-tiba hujan badai tak henti-henti membuat sawah banjir. “Lahan satu setengah hektar tenggelam, banjir. Habis semua, harus keluar modal banyak, harus mulai dari nol lagi. Sedih banget,” kata Heppy Nia, seorang petani muda dari Palembang yang saya temui melalaui sebuah grup pertanian di Facebook.

Gagal panen bisa diakibatkan karena beberapa hal, bisa karena anomali cuaca seperti yang dialami Nia. Tapi bisa juga karena berbagai permasalahan lain, misalnya hama. “Ya bisa tikus, bisa uret, wereng, macem-macem lah. Itu juga kadang bikin mikir ulang, mau lanjut jadi petani apa enggak,” lanjutnya.

3. Harga Anjlok saat Panen

Bagat Triyoso, seorang petani di Tais, Bengkulu, susah payah menjaga sawahnya yang sebenarnya tak seberapa luas. Ketika air sudah tak jadi soal, giliran kawanan tikus menyerang sawahnya. “Sudah gitu giliran mau panen, harganya anjlok. Hancur rasanya,” ujarnya.

Persoalan ini tak hanya dirasakan oleh Triyoso. Fenomena anjloknya harga hasil pertanian ketika musim panen seolah sudah lazim. Padahal modal yang dikeluarkan dari mulai padi ditanam, dirawat, sampai siap panen, tidaklah sedikit.

Maka tak heran ketika ada petani yang mengamuk, misalnya belum lama ada video petani cabai yang merusak kebunnya sendiri karena harga jual anjlok. Atau petani buah naga yang menjadikan hasil panennya sebagai pakan kambing karena harganya terjun bebas.

“Gimana enggak sakit hari, kita mau panen pemerintah malah buka keran impor. Dalihnya stabilitas harga,” kata Triyoso.

4. Hanya Dianggap Saat Pemilu

Setiap pemilu, petani menjadi bahan kampanye paling laris. Semua calon akan mengaku berpihak pada petani, janji-janji manis ditebar, petani diiming-imingi kesejahteraan. Tapi ketika si calon sudah menjabat, petani dilupakan. Itulah yang dirasakan oleh Ropanen Simanullang, seorang petani muda dari Sumatera Utara.

Ketika musim pemilu disayang-sayang, ketika sudah menjabat ditendang. Saat harga hasil pertanian naik, pemerintah akan buat operasi pasar untuk menekan harga supaya tidak mahal. “Tapi saat harga pupuk dan obat-obatan tanaman naik, pemerintah tak pernah buat operasi pasar,” ujarnya.

Subsidi memang ada, tapi sangat terbatas. Tidak semua bisa menikmati, yang mendapat subsidi pun tak seberapa jumlahnya. “Puyeng mas, lahan ngontrak, rumah sepetak rela digadai ke bank. Apalagi kalau harga anjlok, gimana mau bayar, modal aja kagak balik. Kalau pas pemilu aja mereka (pejabat) nyariin,” kata Simanullang.

Yang Membuat Petani Tetap Menanam

Kembali ke Singgih, sarjana lulusan univeristas ternama Jogja yang bertani di Purwodadi, baginya semua hal yang disebutkan para petani tadi memang menyakitkan, terutama gagal panen, apapun itu sebabnya. Karena hidup berdampingan dengan alam, ketika alamnya tidak bisa diprediksi dan dikendalikan, maka gagal panenlah risikonya. “Yang horor lagi ketika harga naik, belum sempat puas dengan harga bagus, biasanya harga lalu turun lagi. Apalagi kalau ada demo turunkan harga,” kata Singgih.

Dengan semua kesedihannya, lantas apa sih yang membuat petani tetap menanam dan merawat tanamannya?.

Bagi Singgih, dengan latar belakang pendidikan dan keterampilannya di bidang teknologi, sebenarnya bukan perkara sulit untuk mendapatkan pekerjaan selain bertani. Ketika kebanyakan orang menganggap menjadi petani adalah pilihan terakhir karena tak diterima kerja di mana-mana, bagi Singgih menjadi seorang petani adalah pilihan yang prinsipil.

Banyak alasan dia masih bertahan menjadi seorang petani sampai sekarang, salah satunya adalah latar belakang lingkungan. Lahir dan besar di tengah lingkungan petani, membuat dia paham benar lika-liku kehidupan petani. “Usahanya, hasilnya, dan sebagainya. Dan bertani adalah salah satu cara untuk berbakti pada orang tua dan juga pada alam,” tagasnya.

Singgih melihat paradigma di tengah masyarakat, bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang mereka malah cenderung menjauhi dunia pertanian. Padahal dunia pertanian butuh sumber daya manusia yang berkualitas.

Di sisi lain, Singgih juga melihat jumlah petani di Indonesia yang kian menurun dari tahun ke tahun, yang tua sudah masuk usia yang seharusnya sudah masanya istirahat dan menikmati hari tua. Sementara yang muda enggan meneruskan mengolah lahannya.

“Kalau bukan yang muda, siapa yang mau mengolah? Developer perumahan? Aku rasa itu enggak cukup baik. Nanti kalau produksi turun gimana? Harga naik? Atau impor biar turun? Apa kata netizen nantinya?” lanjut Singgih.

Sebenarnya, petani bisa membuat strategi untuk meningkatkan penghasilannya, misalnya dengan pemilihan komoditas yang tepat sesuai musim tanam dan aspek pendukung lainnya. Terlebih bagi anak-anak muda yang didukung dengan fisik yang prima dan ide-ide yang lebih segar. “Omzet puluhan juta bukan hal yang mustahil kok, bahkan mungkin lebih acceptable dibanding bekerja di kota dengan biaya hidup yang juga tinggi,” kata Singgih.

Dia berharap, apa yang dia lakukan dapat menginspirasi anak-anak muda, terutama di kampungnya untuk tidak sekadar menempuh pendidikan setinggi mungkin. Tapi juga mengajak mereka yang sudah merasakan bangku kuliah untuk kembali ke kampung halaman, mengembangkan potensi yang dimiliki kampungnya.

Sejak duduk di bangku SMA, Singgih selalu mengingat pesan dari Bapak Republik, Tan Malaka, yang sampai sekarang menurut dia masih sangat relevan. “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”. (Widi Erha Pradana / YK-1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *